• Berita
  • Memberdayakan Ekonomi Rakyat dengan Minyak Jelantah, Mencegah Deforestasi

Memberdayakan Ekonomi Rakyat dengan Minyak Jelantah, Mencegah Deforestasi

Potensi volume minyak jelantah yang dihasilkan rumah tangga di Indonesia sebanyak 1,2 juta kilo liter per tahun. Bisa menjadi substitusi CPO.

Diskusi publik Untuk Ketahanan Pangan atau Untuk Bahan Bakar, dibawakan ala obrolan warung kopi di Kampus Jurusan Kebidanan Poltekkes Kemenkes Bandung, Sabtu, 2 Desember 2023. (Foto: Awla Rajul/BandungBergerak.id)

Penulis Awla Rajul5 Desember 2023


BandungBergerak.id – Minyak kelapa sawit mentah atau crude palm oil (CPO) merupakan bahan baku untuk pangan dan biodiesel, dikenal bahan bakar nabati (BBN). Sayangnya, saat CPO banyak dialokasikan untuk biodiesel kebutuhan untuk pangan menurun dan menyebabkan minyak goreng mahal. Minyak jelantah berpotensi menjadi penengah untuk kekurangan pada dua kebutuhan tersebut dan diyakini dapat mencegah deforestasi untuk pembukaan lahan kelapa sawit baru.

Peneliti Traction Energy Asia, Ahmad Juang Setiawan, menyebutkan dari riset yang dilakukan oleh pihaknya pada 2020 menunjukkan bahwa 70 persen masyarakat di lima kota besar Jawa dan Bali tidak mengetahui kalau minyak jelantah bisa dimanfaatkan. Padahal minyak jelantah (used cooking oil) ini bisa menjadi bahan alternatif atau diversifikasi biodiesel, untuk pembuatan sabun, dan lilin.

“Traction punya riset kalau biodiesel dari minyak jelantah itu karakteristiknya hampir sama, bisa digunakan di kendaraan. Cuma bedanya, saat ini minyak jelantah itu baru bisa digunakan di mesin statis dan mesin dengan tenaga rendah,” terang Juang usai diskusi “Untuk Ketahanan Pangan atau Untuk Bahan Bakar?” yang diselenggarakan oleh Koalisi Transisi Bersih, Safety, dan Poltekkes Kemenkes Bandung di Kampus Jurusan Kebidanan Poltekkes Kemenkes Bandung, Sabtu (2/12/2023).

Kegiatan diskusi tersebut diselenggarakan oleh Koalisi Transisi Bersih bekerja sama dengan Safety dan Poltekkes Kemenkes Bandung dalam rangka kampanye Food vs Fuel. Koalisi ini beranggotakan kelompok dan organisasi masyarakat sipil, di antaranya Traction Energy Asia, Greenpeace Indonesia, Trend Asia, Walhi, Satya Bumi, Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS), Sawit Watch, dan Katadata.

Koalisi ini memiliki visi bersama yaitu pada 2030 Indonesia mencapai pembangunan rendah emisi dan berkeadilan iklim. Tujuan tersebut dilakukan melalui optimalisasi sawit rakyat bebas deforestasi, menjaga kedaulatan pangan, dan gerakan percepatan transisi energi bersih.

Diskusi publik ini dikemas dengan gaya obrolan di warung kopi, dan pembawaan ringan. Selain Juang, yang menjadi pemateri adalah Sayyidatiihayyaa Afra Peneliti dari Satya Bumi, Refki Saputra, Juru Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia, dan Fuad Abdulgani Dosen FISIP Universitas Lampung yang menjadi bagian dari Safety.

Baca Juga: Kampus Membicarakan Ketidakberesan Minyak Goreng
Pemanfaatan Minyak Jelantah sebagai Bahan Bakar Alternatif di Indonesia
Unpas Memberi Pelatihan Pengolahan Jamur Tiram dan Limbah Minyak Jelantah pada Penyintas Gempa Cianjur

Minyak Jelantah Mencegah Deforestasi

CPO biasa dijadikan minyak goreng, bahan baku sabun, kosmetik, coklat dan bahan pangan lainnya. Secara bersamaan CPO juga digunakan untuk bauran energi biodiesel yang saat ini mencapai 35 persen (B35). Sementara minyak jelantah adalah limbah yang diperoleh dari CPO yang dimanfaatkan sebagai minyak goreng.

Juang menyebut bahwa pemanfaatan minyak jelantah yang dikumpulkan dari masyarakat bisa membantu menstabilkan harga CPO untuk pangan. Volume minyak jelantah memiliki potensi sebanyak 1,2 juta kilo liter per tahun. Potensi itu belum termasuk dari industri yang pola penggunaan dan pembelian minyak goreng berbeda dengan rumah tangga. Sayangnya, banyak masyarakat yang membuang minyak jelantah dan berdampak pada pencemaran lingkungan.

Juang juga menyebutkan kalau diskusi tersebut bertujuan untuk menyadarkan masyarakat agar minyak jelantah tidak dibuang sia-sia oleh masyarakat, namun dapat dikumpulkan dan dijadikan bauran biodiesel yang diproduksi dalam negeri. Ia mengungkapkan bahwa banyak minyak jelantah yang dikumpulkan justru di ekspor ke luar negeri karena permintaan dan harga yang tinggi di tingkat internasional.

Misalnya, Uni Eropa memiliki kebijakan carbon credit yang memberikan insentif kepada perusahaan yang menggunakan minyak jelantah untuk biodiesel. Jika minyak jelantah di ekspor, maka kebutuhan CPO dalam negeri meningkat dan mengancam deforestasi untuk pembukaan lahan kebun sawit baru. Selain itu, harga CPO untuk bahan pangan pun meningkat.

“Yang kita dorong adalah dikumpulkan dan diproduksi menjadi biodiesel di dalam negeri. Kita juga dorong pemerintah untuk stop ekspor (minyak jelantah),” tegas Juang.

Sayyidatiihayyaa Afra, peneliti dari Satya Bumi menyebutkan bahwa meningkatnya kebutuhan bauran BBN untuk biodiesel akan meningkatkan juga kebutuhan CPO yang artinya menambah lahan sawit baru. Ia memperkirakan jika bauran BBN memanfaatkan CPO sudah mencapai 50 persen atau B50 diprediksi membutuhkan sembilan juta hektar pembukaan lahan sawit baru. Sementara saat ini bauran BBN untuk biodiesel baru mencapai B35.

Di satu sisi, bauran CPO pada biodiesel diklaim pemerintah merupakan salah satu langkah untuk mengurangi dampak lingkungan dan ketergantungan penggunaan bahan bakar fosil. Bauran BBN juga dianggap sebagai upaya mewujudkan transisi energi bersih. Hayya menilai program ini justru menjadi ancaman terhadap upaya transisi energi bersih yang ramah lingkungan. Ia menilai upaya pemerintah itu tidak berkeadilan dan perlu dikritisi. Ia menawarkan solusi dengan mendorong minyak jelantah untuk bauran biodiesel.

“Karena dengan penggunaan minyak jelantah itu, nggak perlu membuka hutan lagi kan, tidak perlu deforestasi lagi. Kita bisa memanfaatkan minyak jelantah untuk bauran biofuel,” ungkap Hayya usai diskusi kepada BandungBergerak.id.

Manfaat dan kegunaan dari minyak jelantah ini sayangnya tidak dibarengi dengan kesadaran pemerintah dan absennya regulasi. Selain itu, Hayya menyebutkan kalau minyak jelantah dikumpulkan oleh dapat memberdayakan ekonomi masyarakat. Sebab dalam konteks industri kelapa sawit, masyarakat cenderung “dipasifkan” yang hanya menjadi konsumen saja.

“Nah, sekarang misalnya kita ngomongin minyak jelantah dia itu kan di tingkat konsumen. jadi konsumen itu kan aktif, bisa banget dia itu berbasis koperasi, berbasis kerakyatan,” terang wanita ini antusias.

Suasana diskusi publik dalam kegiatan Food vs Fuel di Kampus Jurusan Kebidanan Poltekkes Kemenkes Bandung, Sabtu, 2 Desember 2023. (Foto: Awla Rajul/BandungBergerak.id)
Suasana diskusi publik dalam kegiatan Food vs Fuel di Kampus Jurusan Kebidanan Poltekkes Kemenkes Bandung, Sabtu, 2 Desember 2023. (Foto: Awla Rajul/BandungBergerak.id)

Mencari Alternatif Bauran Biodiesel

Penggunaan minyak jelantah dapat menstabilkan harga CPO untuk bahan pangan dan kebutuhan untuk bauran biodiesel. Sebab, pemerintah belum ada alokasi khusus berapa persen kebutuhan untuk pangan dan biodiesel. Ketika harga CPO dihargai mahal di internasional, perusahaan berbondong-bondong menjual tanpa memedulikan alokasi nasional. Hayya mendorong pemerintah mengalokasikan kebutuhan CPO untuk pangan dan energi dan membukanya untuk publik.

“Satya Bumi kemarin bikin penelitian, ternyata dari bisnis as usual itu sekitar tiga juta ton per tahun CPO dihasilkan, hanya butuh 11 persen untuk pangan nasional. Jadi, sebenarnya kebutuhannya kecil sekali dibandingkan dengan kebutuhan ekspor atau kebutuhan lain,” ungkap Hayya.

Juru Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia Refki Saputra menyebutkan bahwa banyak pilihan lainnya yang bisa menjadi alternatif untuk bauran biodiesel, seperti mikroalga. Ia mendorong bioteknologi terus dikembangkan untuk menemukan alternatif yang paling tepat. Sebab biofuel dari kelapa sawit merupakan generasi pertama.

Sayangnya, meski banyak pilihan alternatif dan perlu terus didorong inovasi untuk bioteknologi, kelapa sawit masih primadona di Indonesia. Selain terdapat kepentingan pengusaha dan penguasa, secara ekonomi kelapa sawit yang paling efisien dan lebih menguntungkan. Ia juga menilai dengan pola seperti ini, pengadaan energi sebenarnya bukan untuk masyarakat, melainkan untuk kapital.

“Kalau caranya seperti itu kita nggak akan pernah cukup. Kebutuhannya akan semakin meningkat karena kebutuhan pasar,” terangnya pada sesi diskusi.

Makanya ia mendorong pengadaan energi perlu berbasis kerakyatan, alih-alih untuk memenuhi kebutuhan pasar yang akan terus meningkat yang dapat mengakibatkan deforestasi. Selain itu terdapat persoalan petani swadaya kelapa sawit yang menjadi pihak tidak diuntungkan.

“Petani swadaya cenderung menjadi pihak tidak mendapatkan keuntungan secara layak dan masih terjadi konflik antara petani termasuk masyarakat lokal atau masyarakat adat dengan perusahaan. Untuk aspek lingkungan berdampak pada deforestasi dan peningkatan emisi gas rumah kaca, keanekaragaman hayati, ketahanan pangan, dan polusi,” terang Refki. 

Selain diskusi, kegiatan ini juga menyediakan booth komunitas. Publik yang hadir dapat berinteraksi langsung dengan komunitas atau organisasi yang bergerak di isu-isu terkait lingkungan, kesehatan, dan hak asasi manusia (HAM).

*Kawan-kawan bisa membaca reportase-reportase lain dari Awla Rajul, atau tulisan-tulisan lain tentang ekonomi rakyat

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//