Kampus Membicarakan Ketidakberesan Minyak Goreng
Total luas konsesi lahan perkebunan kelapa sawit yang dikuasai pengusaha sekitar 2,5 juta hektar. Tetapi tak ada keterbukaan mengenai data Hak Guna Usaha.
Penulis Iman Herdiana17 April 2022
BandungBergerak.id - Krisis minyak goreng terus berlarut-larut tanpa jelas solusinya. Ironisnya, krisis ini terjadi di negeri yang kaya akan kelapa sawit, bahan mentah untuk memproduksi minyak goreng. Kampus di tanah air pun mencium ada yang tidak beres dengan tata kelola sawit dan minyak goreng.
IPB University, misanya, baru-baru ini menyoroti isu minyak goreng lewat acara Ngobrol Perkara Isu (Ngopi) Bareng. Diskusi yang digelar Forum Wacana IPB University ini berusaha menguak akar masalah di balik mahalnya minyak goreng di negeri kaya kelapa sawit.
Narasumber yang diundang yaitu Muhammad Said Didu (pengamat kebijakan publik), Muhammad Rizal Taufiqurrahman (Kepala Pusat Makroekonomi dan Finance INDEF/nstitute for Development of Economics and Finance) serta Mansuetus Darto, Sekretaris Jenderal SPKS (Serikat Petani Kelapa Sawit).
“Isu kenaikan harga minyak goreng sudah muncul sejak akhir tahun 2021, tetapi tidak kunjung selesai hingga memasuki April 2022. Harga minyak goreng justru naik sampai dua kali lipat. Ini merupakan kondisi anomaly. Sebuah negeri yang menjadi produsen terbesar sawit juga pengekspor terbesar crude palm oil (CPO) dunia, tetapi harga minyak goreng disini mahal,” ujar Said Didu, dikutip dari laman resmi IPB University, Minggu (17/4/2022).
Muhammad Said Didu mengatakan bahwa terjadi praktik oligarki dari hulu sampai hilir pada sektor minyak goreng. Kemungkinan besar mereka dekat dengan kekuasaan sehingga berpengaruh terhadap pembuatan kebijakan yang cenderung tidak pro rakyat.
“Sekarang ini bukan akal sehat berkuasa, tapi akal untuk mengakal-akali rakyat yang menderita,” kata Ketua Umum Himpunan Alumni IPB University 2008-2013 tersebut.
Menurutnya, ketika harga CPO naik, rakyat justru merasakan mahalnya minyak goreng. Jadi betapa tersiksanya rakyat Indonesia setiap terjadi kenaikan sumberdaya alam, keuntungan justru lebih banyak mengalir ke kantong korporasi dan pemilik modal.
“Aktor yang mendominasi sektor hulu terdiri dari sembilan korporasi besar. Mereka mempunyai kebun sawit sekaligus pabrik CPO. Total luas konsesi yang mereka miliki sekitar 2,5 juta hektar, tetapi tidak ada keterbukaan mengenai luas Hak Guna Usaha (HGU) yang dikelola,” imbuhnya.
Sementara itu, Sekretaris SPKS Nasional, Darto mengatakan, semestinya data HGU itu dibuka kepada publik. Tetapi ia mensinyalir ada pihak-pihak yang mencegah dibukanya data HGU. Ia juga menambahkan, bahwa sawit masa depan adalah sawit rakyat, bukan sawit pengusaha.
“Menurut saya, penting sebenarnya pemerintah berpihak pada masyarakat dengan melakukan penguatan sumberdaya manusia dan juga dengan kebijakan-kebijakan yang berpihak pada rakyat,” pungkas Darto.
Pakar Ekonomi INDEF, Taufikurahman menambahkah, ada kartel yang mempengaruhi kelangkaan dan ketidakstabilan harga minyak goreng.
“Kebijakan pemerintah melihat kondisi ini bukan lagi pro terhadap konsumen yaitu masyarakat, tapi justru pro pada produsen yaitu para pengusaha,” tambah dosen Universitas Trilogi tersebut.
Baca Juga: Ancaman Kematian karena Covid-19 pada Libur Lebaran masih Ada
Masjid Salman ITB, Masjid Kampus Pertama di Perguruan Tinggi Negeri
Bandung, dari Penggusuran ke Penggusuran
Kurangnya Pengawasan Distribusi Minyak Goreng
Peneliti dari Pusat Studi Ekonomi Kerakyatan (Pustek) UGM, Hempri Suyatna, mengatakan persoalan kelangkaan minyak goreng disebabkan oleh banyak faktor mulai dari meningkatnya harga CPO, gangguan distribusi hingga aksi penimbunan minyak goreng.
“Ada banyak faktor. Saya kira faktor pemicunya sudah muncul sejak tahun lalu, November 2021 dikarenakan kenaikan harga CPO (Crude Palm Oil) di pasar internasional. Naiknya harga CPO inilah yang kemudian memicu banyak pedagang minyak goreng menjual produknya ke luar negeri daripada ke dalam negeri,” kata Hempri.
Selain banyaknya produk yang dijual ke luar negeri, kelangkaan diperparah dengan banyaknya pedagang yang bermain dan mencari keuntungan di balik kelangkaan minyak goreng ini sehingga proses distribusinya pun menjadi tidak berjalan dengan lancar.
“Dalam banyak kasus sering kita temukan, terjadi banyak penimbunan minyak goreng sehingga mengakibatkan proses distribusi menjadi tidak lancar,” paparnya.
Mengatasi melonjaknya harga minyak goreng dan kelangkaan produk tersebut di pasaran, Hempri mengimbau pemerintah lebih gencar melakukan operasi pasar serta melakukan berbagai langkah inovatif misalnya dengan memotong jalur distributor sehingga bisa menekan harga minyak goreng.
”Melakukan pengawasan terhadap para pelaku usaha termasuk konsumen. Jangan sampai penimbunan juga terjadi di level kosumen,” ungkapnya.
Proses pengawasan distribusi itu ini perlu diperkuat kembali termasuk soal ekspor CPO hingga distribusi minyak goreng di dalam negeri. “Perlu perbarui proses pengawasan distribusi ini apalagi Indonesia dikenal penghasil minyak kelapa sawit terbesar di dunia,” katanya.