• Narasi
  • Nasib Penghayat Kepercayaan jadi Hantu di Negeri Sendiri

Nasib Penghayat Kepercayaan jadi Hantu di Negeri Sendiri

Nasib penghayat kepercayaan di Indonesia masih terbelenggu stigma negatif dari masyarakat.

Fathiya Oktavianti

Mahasiswa Jurnalistik Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Padjadjaran

Langit di Kampung Adat Cireundeu di Kelurahan Leuwigajah, Kota Cimahi. (Foto: Fathiya Oktavianti)

31 Desember 2023


BandungBergerak.id – Enam tahun sudah berlalu semenjak keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang mengizinkan kolom agama diganti kolom kepercayaan. Perubahan kolom kepercayaan ini bermula dari putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menganulir isi Pasal 61 ayat (1) dan ayat (3) Undang-undang Nomor 23 Tahun 2003 serta Pasal 64 ayat (1) dan ayat (5) Undang-undang Nomor 24 Tahun 2013 tentang Administrasi Kependudukan.

Kedua pasal ini mengatur bagaimana Kartu Tanda Penduduk Elektronik (E-KTP) dan Kartu Keluarga (KK) wajib mencantumkan kolom agama, sementara khusus untuk penghayat kepercayaan kolom agama tersebut harus dikosongkan. Dua pasal tersebut dinilai intoleran sehingga sejumlah warga penghayat kepercayaan melayangkan Judicial Review ke Mahkamah Konstitusi pada tahun 2016. Kelompok penghayat beranggapan keberadaan pasal 61 dan 64 ini menghalangi hak mereka sebagai warga negara untuk memperoleh E-KTP dan KK. Pengosongan kolom agama turut berdampak kehidupan sehari-hari mereka seperti sulitnya mendapatkan akses pendidikan, pekerjaan, dan jaminan sosial.

Adanya aturan yang memerintahkan pengosongan kolom agama bagi penghayat kepercayaan bertentangan dengan isi Undang-undang Dasar (UUD) 1945  yang seharusnya menjadi acuan dalam pembuatan hukum di Indonesia. Dalam pasal 28D ayat (1) UUD 1945 secara jelas diatur bahwa setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum. Ini artinya setiap warga negara Indonesia termasuk para penghayat kepercayaan memiliki hak yang sama dengan hak warga penganut agama lainnya, tanpa ada pembeda.

Kendati kini negara sudah berupaya mengakui penghayat kepercayaan melalui adanya surat keputusan MK Nomor 97/PUU-XIV/2016 yang mengizinkan perubahan kolom agama menjadi kolom kepercayaan, nyatanya usaha itu belum cukup untuk memberikan perlindungan penghayat kepercayaan dari cemoohan dan tuduhan masyarakat. Warga penghayat kepercayaan masih hidup di balik bayang-bayang teror diskriminasi.

Baca Juga: Cerita tentang Keberagaman bagi Para Penghayat Cilik
Laga Para Penghayat Muda
Himpunan Penghayat Kepercayaan Berharap Dibentuknya Kementerian Khusus Kepercayaan dan Agama Leluhur

Demonisasi Orde Baru

Salah satu kelompok kepercayaan yang dihantui bayang-bayang diskriminasi adalah penghayat kepercayaan di Kampung Adat Cireundeu di Kelurahan Leuwigajah, Kota Cimahi. Sudrajat atau biasa disapa Jajat, sekretaris Kampung Adat Cireundeu, menyebut sejak berdirinya orde baru, tekanan terhadap kelompok penghayat kepercayaan meningkat drastis. Bahkan pada masa itu, Kampung Adat Cireundeu sempat didatangi dan dijaga ketat oleh kelompok tentara. Mereka mendesak masyarakat adat yang mayoritas menganut kepercayaan Sunda Wiwitan untuk memilih setidaknya salah satu dari kelima agama resmi. Namun, paksaan itu tidak membuat masyarakat goyah.

“Tetapi tokoh adat kami tidak mau pindah dan jawabannya seperti ini, ‘Lamun kuring jeung warga kuring teu meunang hirup di ieu nagara, sok teangan tempat jeung kuring, mun perlu mah di langit digantung oge teu nanaon’ artinya kalau kami dan warga kami tidak boleh hidup di negara ini, carikan tempat untuk kami. Kalau perlu digantung di langit pun tidak apa-apa,” tegas Jajat.

Penolakan ini berdampak terhadap citra sosial warga Desa Cireundeu di mata masyarakat umum. Mereka kerap mendapat julukan komunis, primitif, dan orang tidak beragama. Label komunis yang disematkan pada kelompok penghayat juga mengundang kedatangan orang-orang kaum atau komunitas agama lain. Mereka berusaha mengajak para penghayat kepercayaan di Kampung Adat Cireundeu untuk masuk ke agama yang mereka yakini. Tokoh-tokoh agama ini memperlakukan warga penghayat kepercayaan layaknya suatu objek dakwah yang perlu diselamatkan dari kesesatan, tanpa menghargai kepercayaan yang sudah dipilih masyarakat setempat.

Sebagian besar penduduk yang tidak kuat menahan tudingan miring akhirnya memutuskan untuk masuk ajaran agama tertentu. Tidak berhenti sampai situ, pemaksaan agama kembali berlanjut pada tahun 1984 - 1985 melalui pembuatan KTP massal. Petugas kependudukan yang datang hanya menanyakan nama dan tanggal lahir, tanpa membicarakan agama penduduk. Begitu KTP selesai dibuat, tiba-tiba kolom agama di setiap KTP warga Kampung Adat Cireundeu yang awalnya kosong telah terisi agama Islam.

“Tetapi tetap strateginya itu, sesepuhnya tidak dapat (tekanan), warganya yang kena. Makanya dari dua kampung dulu yang (isinya) masyarakat penganut ajaran Sunda Wiwitan, sekarang yang tersisa tinggal 65 KK. Habis dengan cara itu,” sambung Jajat.

Praktik demonisasi penghayat kepercayaan yang dilakukan rezim Soeharto dibenarkan oleh Ira Indrawardana, dosen Antropologi Universitas Padjadjaran. Ia menjelaskan jika pada masa Orde Baru, agama digunakan untuk memolarisasi dan mengontrol masyarakat. Menurut Ira hal itu terbukti dengan terbitnya Undang-undang Nomor 1/PNPS/1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama. Peraturan ini muncul sebagai respons Orde Baru terhadap pertumbuhan sejumlah organisasi penghayat kepercayaan yang dinilai meresahkan masyarakat karena nilai-nilai yang disampaikan tidak serupa dengan ajaran agama konvensional. Pemerintah Orde Baru khawatir organisasi penghayat kepercayaan akan berkembang menjadi institusi yang memiliki ideologi berseberangan dengan pihak pemerintah.

Orde Baru memanfaatkan media seperti film dan buku untuk mengukuhkan stigma negatif penghayat kepercayaan yang lekat dengan atribut budaya adat. “Tokoh protagonis pasti bersimbolkan keagamaan. (Sementara) kalau tokoh antagonis pasti simbolnya kelokalan. Pakai iket (kepala), (baju) pangsi, batu akik. Kalau tokoh baik pasti pakai sorban dan baju putih,”  sambung Ira.

Belajar Menjadi Bunglon di antara Masyarakat

Meskipun masa kelam Orde Baru sudah terlewati, itu bukan berarti trauma dan perlakuan diskriminatif yang dirasakan penghayat kepercayaan menghilang begitu saja. Stigma negatif yang dikampanyekan oleh Orde Baru sudah terlanjur mengakar dalam sistem berpikir masyarakat. Orang-orang menjadi sulit menerima kelompok penghayat kepercayaan yang dianggap “menyeleweng” karena tidak terikat dengan konsep normatif. Akibatnya, penghayat kepercayaan menjadi sasaran bulan-bulanan masyarakat yang merasa praktik keagamaan kepercayaan merupakan bentuk penodaan agama.

Minimnya pengakuan dan perlindungan dari negara memaksa penghayat kepercayaan berkamuflase. Banyak dari penghayat kepercayaan yang tidak terbuka dengan keyakinannya. Tak jarang mereka memilih kepercayaan lain sebatas “status” demi diterima baik oleh masyarakat.

Hal ini dirasakan oleh Ira Indrawardana yang merupakan penghayat kepercayaan Sunda Wiwitan Kuningan. Ira bercerita jika dari bangku sekolah ia terbiasa mengikuti mata pelajaran agama yang sebenarnya tidak ia anut. Mengenyam bangku pendidikan di sekolah dasar Katolik membuat Ira otomatis mempelajari agama Katolik. Ira bahkan aktif mengikuti kegiatan gereja seperti berpartisipasi dalam teater dan memenangi lomba puisi natal. Lalu pada masa sekolah menengah pertama, Ira meminta izin ke ibunya untuk mendalami Islam. Alasannya sederhana, yakni agar bisa berbaur oleh lingkungan sekitar.

“Bu, saya mah nanti SMP mah mau belajar  agama Islam.  Kenapa? Karena nanti ke depan  kalau saya SMA atau kuliah pasti teman-teman  saya banyak yang Muslim.  Jadi biar saya kalau bergaul sama mereka ngerti,” jelas Ira.

Keadaan mulai berubah ketika Ira mulai beranjak dewasa. Ia mulai memberanikan diri untuk terbuka soal identitasnya sebagai penghayat kepercayaan Sunda Wiwitan. Kolom agama di KTP yang saat itu masih berupa kertas laminating, Ira isi dengan agama Sunda Wiwitan. Dirinya paham betul keputusan ini punya konsekuensi negatif, mengingat cap buruk yang melekat pada kelompok penghayat kepercayaan. Akan tetapi, bagi Ira identitas adalah barang mahal yang patut diperjuangkan dan tidak bisa direbut orang lain.

Pengalaman serupa juga dijumpai oleh Jajat yang menyebut masa kecil dan remajanya dipenuhi oleh proses pencarian jati diri. Dibesarkan di dalam keluarga yang menganut kepercayaan Sunda Wiwitan tidak membuat orang tuanya membatasi Jajat untuk mendalami ilmu berbagai agama. Jajat mengaku dulu dirinya kesulitan memahami konsep agama, apalagi ia tumbuh sebagai bagian dari kelompok minoritas yang kepercayaannya tidak dianggap serius oleh masyarakat.

Ketidaktahuan Jajat itu lalu dimanfaatkan seorang guru untuk mendorongnya pindah ke agama lain. Pada awalnya sang guru hanya meminta Jajat untuk mengerjakan tugas agama sambil sesekali memberikan sejumlah pertanyaan menyentil terkait keyakinan Sunda Wiwitan. Namun, seiring berjalannya waktu, perintah tugas menjelma menjadi perintah salat, mengaji, bahkan sunat. Padahal sunat jelas dilarang keras dalam ajaran Sunda Wiwitan.

Lambat laun, rasa bersalah dan gelisah mulai menggerogoti Jajat. Ia mulai mempertanyakan kembali soal keyakinan yang ia percayai. Jajat merasa selama ini alasan ia mempraktikkan ibadah agama lain adalah rasa takut semata. Terlebih lagi rata-rata teman sepermainannya ikut tunduk terhadap perintah guru tersebut. Tetapi Jajat sadar ia tidak bisa terus membohongi diri sendiri dengan menjalani kedua keyakinan sekaligus.

“Hidup manusia mah teu menang marahu dua. Belajar nu lain meunang jeung elmu tapi nepi dilakonan ritualna eta marahu dua. Jadi kaki kita jangan sampai menginjak dua ideologi,” tutur Jajat sambil mengenang nasihat bapaknya.

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//