• Opini
  • MAHASISWA BERSUARA: Tantangan Media bagi Komunitas Disabilitas

MAHASISWA BERSUARA: Tantangan Media bagi Komunitas Disabilitas

Gambaran disabilitas masih pada stereotip atau penceritaan yang tidak akurat. Penting bagi media mengubah paradigma pemberitaan disablitas menjadi inklusi aktif.

Maryam Shiddiqah

Mahasiswa Jurnalistik Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Padjadjaran (Unpad)

Penyandang disabilitas saat mengikuti acara peringatan Hari Kursi Roda Internasional, Selasa (1/3/2022). Tidak dilibatkannya difabel dalam perencanaan, membuat banyak trotoar ataupun fasilitas publik lainnya di Kota Bandung tak ramah difabel. (Foto: Prima Mulia/BandungBergerak.id)

3 Januari 2024


BandungBergerak.id – Dalam beberapa bulan terakhir ini, pemberitaan di berbagai media elektronik mengenai Putri Ariani menjadi topik utama melalui prestasinya sebagai seorang penyandang difabel (tunanetra) asal Indonesia yang berhasil melaju mulai dari perolehan Golden Buzzer hingga masuk ke  tahap final dalam ajang America Got Talent (AGT) tahun 2023. Umumnya pemberitaan tersebut membangun opini yang positif bahwa Putri Ariani adalah sebagai seorang penyanyi berbakat, bukan sebagai orang yang lemah, dan sebagai difabel yang diakui di tengah masyarakat di tingkat lokal, nasional, maupun global. Tentu hal ini menimbulkan kebanggaan bagi masyarakat Indonesia dan dari sisi jurnalistik sangat baik karena tidak memberikan justifikasi atau stigma/asumsi negatif terhadap pemberitaan mengenai difabel.

Namun, dalam berbagai referensi terkait pemberitaan media untuk isu difabel, termasuk berita tentang Putri Ariani di atas ini, media lebih melihat prestasi yang diraih oleh seorang difabel dari pada melihat difabel sebagai sosok yang patut mendapatkan perhatian, yang memuat unsur belas kasih. Adapun gambaran tentang disabilitasnya sangat terbatas. Bisa jadi, pola yang sama terjadi pula untuk pemberitaan difabel lainnya yang punya prestasi. Padahal, setiap informasi yang ditampilkan atau ditulis di media mengenai difabel akan membawa perubahan mengenai cara pandang masyarakat terhadap difabel. Dalam banyak aspek, isu mengenai difabel sering kali tidak mendapatkan perhatian, bahkan terkadang mengandung agenda politik, termasuk dalam pemberitaan tentang Putri Ariani ini misalnya yang kadang mengandung unsur politik. Terdapat terdapat 3 berita Putri Ariani di Detik.com yang berkaitan dengan politik (Purba, 2023).

Pemberitaan media terkait isu disabilitas di atas masuk ke dalam Jurnalisme Inklusif, yang terus berkembang di Indonesia sejalan dengan beragam pilihan platform media. Konsep jurnalisme inklusif ini untuk menyeimbangkan keragaman dan mengutamakan kesetaraan. Jurnalisme Inklusif meliput kelompok masyarakat yang tidak atau kurang diperhatikan dalam pemberitaan seperti kelompok disabilitas ini. (Purba, 2023). Di tengah kemajuan teknologi informasi di masyarakat modern yang berbasis digital ini, kepedulian terhadap komunitas disabilitas sering kali masih terpinggirkan sehingga dapat membawa dampak serius pada kualitas kemandirian hidup dan integrasi sosial para anggota komunitas disabilitas.

Isu disabilitas sebenarnya telah menjadi hype media di Indonesia setelah peraturan tersebut disahkan oleh DPR RI pada tahun  2016 (Ramadhan, 2021). Konvensi Hak-Hak Penyandang Disabilitas di tingkat global (PBB) yang berlaku mulai tahun 2008, merupakan perjanjian multilateral yang melindungi hak dan martabat para penyandang disabilitas, mengharuskan Negara untuk meningkatkan kesadaran dan melawan stereotip terkait penyandang disabilitas, termasuk dengan mendorong semua media untuk menggambarkan penyandang disabilitas dengan cara yang konsisten dengan penghormatan terhadap hak asasi manusia.

Namun, hanya sedikit media yang mau mempublikasikan berita disabilitas, sehingga pembaca tidak terbiasa dengan isu disabilitas ini karena dianggap tidak popular seperti berita politik atau ekonomi. Bahkan, pengaruh media terhadap masyarakat tidak selalu digunakan untuk kepentingan masyarakat, khususnya yang berkaitan dengan disabilitas, sehingga media justru menambah diskriminasi terhadap penyandang disabilitas (Sharma & Singh, 2017). Artikel ini berupaya untuk memberikan gambaran peran media untuk menghadapi dua tantang berikut yang sering kali muncul dalam pemberitaan untuk penyandang disabilitas.

Baca Juga: Pemahaman-pemahaman Keliru tentang Para Penyandang Disabilitas
Indeks Kebebasan Pers 2023 Turun: Kesejahteraan Jurnalis Bermasalah, Media Belum Ramah Disabilitas
MAHASISWA BERSUARA: Kepasifan Pemerintah Menghancurkan Relasi Seni dan Disabilitas di Bandung

Tantangan 1: Stereotip dan Diskriminasi

Difabel adalah kelompok yang rentan terhadap stereotip dan diskriminasi. Inilah salah satu tantangan utama media dalam merepresentasikan  penyandang disabilitas di media. Sering kali, karakter dengan disabilitas digambarkan dalam konteks dramatis atau sebagai objek simpati, sehingga meninggalkan kekurangan representasi yang positif dan realistis. Ini menciptakan pemahaman yang keliru dan merugikan tentang kemampuan kemandirian dan kehidupan sehari-hari penyandang disabilitas. Sebaliknya juga bisa terjadi cerita  difabel yang meraih prestasi oleh karena kemampuan yang dimiliki kemudian dilebih-lebihkan untuk menarik perhatian dari pembaca. 

Media dapat berperan untuk menjadi instrumen penting dalam meningkatkan kesadaran, melawan stigma dan misinformasi, sehingga dapat menjadi kekuatan yang kuat untuk mengubah kesalahpahaman masyarakat dan menampilkan penyandang disabilitas sebagai individu yang merupakan bagian dari keberagaman umat manusia. Dengan meningkatkan kesadaran dan pemahaman masyarakat melalui media mengenai isu-isu disabilitas dan keragaman penyandang disabilitas serta situasi mereka, media dapat secara aktif berkontribusi terhadap integrasi penyandang disabilitas yang efektif dan berhasil dalam semua aspek kehidupan masyarakat.

Sering kita temui, difabel yang meraih prestasi oleh karena kemampuan yang dimiliki. Namun, cerita tentang prestasi kerap kali dilebih-lebihkan untuk menarik perhatian dari pembaca. Informasi yang benar tentang difabel dalam peliputan harus berangkat dari pemahaman yang benar tentang difabel. Pilihan kata yang tepat sambil menghargai privasi difabel akan menciptakan gambaran yang positif tentang difabel. Hal yang penting juga, penulis yang kompeten akan membuat berita lebih bermakna dan data informasi yang diberikan akan sesuai dengan kondisi sebenarnya.

Tantangan 2: Persepsi Masyarakat terhadap Isu Disabilitas

Perhatian harus diberikan pada gambaran disabilitas di media dengan tujuan untuk memberikan gambaran yang akurat dan seimbang tentang disabilitas sebagai bagian dari kehidupan sehari-hari. Media dapat memainkan peran penting dalam menyajikan isu-isu disabilitas dengan cara yang dapat menghilangkan stereotip negatif dan meningkatkan hak dan martabat penyandang disabilitas. Selain itu, pilihan-pilihan harus dikembangkan mengenai bagaimana menampilkan penyandang disabilitas di berbagai media dan pentingnya untuk membangun masyarakat yang damai dan inklusif untuk semua.

Penting bagi media untuk mengubah paradigma dari pandangan belas kasihan menjadi inklusi aktif. Para penyandang disabilitas bukanlah obyek simpati, tetapi individu yang memiliki hak yang sama untuk hidup bermartabat. Media perlu memberikan infromasi lengkap terkait keterlibatan mereka dalam kehidupan sehari-hari, mengakui potensi yang dimiliki, dan memberikan dukungan yang diperlukan untuk memastikan keterlibatan penuh dalam berbagai aspek kehidupan. Media kurang dalam melakukan kampanye yang bisa menimbulkan kesadaran kolektif dan aktivitas digital tentang pentingnya memahami kompleksitas kebutuhan dan potensi disabilitas.

Rendahnya representasi para penyandang disabilitas di media dan kegiatan umum menyebabkan kurangnya pemahaman dan empati dari masyarakat. Ketika gambaran disabilitas terbatas pada stereotip atau penceritaan yang tidak akurat, sulit bagi masyarakat untuk membentuk persepsi yang benar tentang kehidupan dan tantangan yang dihadapi oleh mereka yang memiliki disabilitas. Para difabel dapat diberikan ruang yang adil di media. Para difabel kurang terperhatikan karena miskinnya gambaran pemahaman terhadap mereka melalui media dalam masyarakat luas.

Perhatian media masih cenderung merujuk pada ketidaksempurnaan fisik bukan pada keseluruhan pribadi, di mana difabel masih termarginalisasi dalam media sebagai individu yang tidak lengkap. Kadang-kadang pula, media mendramatisasi konten, menonjolkan penderitaan sehingga perlu dikasihani. Adapun aspek heroik dan positif jarang sekali diliput. Untuk itu, dibutuhkan lebih banyak lagi media dalam memberikan pemahaman yang komprehensif terkait isu-isu difabel untuk mengenal difabel secara lebih baik dan positif  serta mengurangi charity mindset di masyarakat.

Peran kebijakan redaksi media dan praktik liputan yang mengedepankan keberagaman ke depannya perlu ditingkatkan karena jurnalisme inklusi mendorong masyarakat untuk lebih bijak dan cerdas dalam melihat difabel melalui penempatan bahasa dan diksi yang tepat, memuat foto dan video yang pantas, serta tidak memberikan sanjungan yang berlebihan, serta tidak mengekspos penderitaan dan tidak menyudutkan.

Salah satu solusi adalah membangun media komunitas disabilitas secara online oleh kelompok disabilitas untuk  dapat memberikan ruang bagi kelompok disabilitas untuk membentuk pesan mereka sendiri. Melalui media komunitas online (misalnya Kartunet.com), pembentukan identitas kelompok disabilitas ini ternyata merupakan proses bertahap dari identitas personal, identitas komunitas, dan identitas kelompok disabilitas yang juga melibatkan berbagai faktor internal maupun eksternal komunitas dan identitas yang terbangun sifatnya dinamis (Nastiti, 2013).

Penutup

Media di Indonesia belum memprioritaskan penyandang disabilitas sebagai isu utama, sehingga isu disabilitas masih minim, sehingga masyarakat pun minim informasi. Peran media terhadap isu disabilitas penting ditingkatkan karena media adalah saluran yang mampu menggambarkan secara akurat dan seimbang bahwa disabilitas merupakan bagian dari kehidupan sehari-hari, dan harus hidup berdampingan secara harmonis. Media komunitas disabilitas dapat memainkan peran dalam membentuk identitas kelompok disabilitas, menghilangkan stereotip negatif dan mempromosikan hak dan martabat penyandang disabilitas, demikian pula media lainnya dapat berperan untuk mengedepankan hak setiap orang dalam bermedia termasuk kaum difabel.

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//