• Opini
  • MAHASISWA BERSUARA: Kepasifan Pemerintah Menghancurkan Relasi Seni dan Disabilitas di Bandung

MAHASISWA BERSUARA: Kepasifan Pemerintah Menghancurkan Relasi Seni dan Disabilitas di Bandung

Ketidakmampuan pemerintah memberikan tempat yang tepat untuk menampung kreativitas difabel menjadi catatan merah bagi Kota Bandung sebagai Kota Ramah Disabilitas.

Azelia Shula Z.

Mahasiswa Jurnalistik Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Padjadjaran (Unpad)

Penulis dengan rekan-rekan disabilitas dan Ketua Pelaksanaan Operasional House of Hope (HoH) Bandung, Noel saat kunjungan pada 28 November 2023. (Foto: Azelia Shula Z.)

2 Januari 2024


BandungBergerak.id – Pernahkah kalian mendengar kalimat “seni tidak akan memberimu makan” atau “ngapain kuliah ambil kesenian, nanti kerjanya apa?”, kurang lebih itu lah persepsi kesenian di masyarakat Indonesia. Tapi bagaimana kalau kesenian adalah salah satu alat penggerak kehidupan, kegiatan sosial, dan aktualisasi diri untuk kawan difabel? Bukankah dengan begitu, seni seharusnya tidak sebatas relasi antara uang dan profesi saja?

Seni di ruang sosial masyarakat Indonesia masih menjadi aspek yang kurang diapresiasi. Dimulai dari seni rupa, tidak jarang masyarakat mematok harga rendah untuk komisi atau mengagungkan lukisan artificial intelligence, dan merendahkan pekerja seni tradisional.

Dari data Badan Pusat Statistika, selama 2019 terdapat 19,2 juta orang atau 15,21% pekerja kreatif dari total tenaga kerja nasional. Dengan pembagian sub-sektor secara berurutan didominasi oleh kuliner (49,54%), fesyen (23%), dan kriya (20,85%).

Pekerja kreatif berkomitmen tinggi pada pekerjaannya, walaupun sebesar 51,6% pekerja mengatakan tidak pernah mendapatkan kompensasi lembur. Upah kerja yang diterima juga rata-rata lebih kecil dari profesi sektor lain dan 70% pekerja mengatakan tidak jarang menerima gaji dengan telat.

Dengan kondisi seperti ini, peminat industri kreatif seharusnya sepi jika  hanya bergantung pada relasi uang dan profesi. Namun, dari data Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf) peminat industri kreatif meningkat dari tahun 2021 yang berjumlah 21,9 juta orang menjadi 23,98 juta orang di tahun berikutnya.

Lebih dari sekedar uang, ruang kreatif memberikan wadah untuk peminatnya mengekspresikan diri, berkumpul, bersosialisasi, dan menemukan sisi baru dirinya dengan berkreasi. Hal ini juga terjadi dengan kelompok disabilitas.

Di House of Hope (HOH) Bandung, sebuah tempat pengembangan dan pemberdayaan untuk anak berkebutuhan khusus (ABK) yang didirikan oleh Irene Ridjab. Di tempat ini penulis bertemu dengan difabel yang menyukai dan menggemari seni.

Tempat yang berdiri pada 1 April 2023, bertepatan dengan Hari Peduli Autisme Sedunia memberikan pelatihan seni dan kolaborasi desain produk untuk mengembangkan kemampuan sosialisasi dan aktualisasi difabel. Melalui seni kawan-kawan disabilitas di HOH belajar mengelola emosi, memahami nilai dan norma sosial, serta menggali potensi mereka. Seni di HOH lebih dari pajangan atau produk, seni menjadi proses perkembangan diri dan identitas dari teman-teman autisme, cerebral palsy, dan down syndrome.

Baca Juga: Mendekatkan Kawan Difabel dan Thalasemia dengan Alam
Sentuhan Anak-anak Difabel di Batik Dama Kara
Penyandang Difabel Harus Dilibatkan Penuh dan Bermakna dalam Pembangunan

Seni dan Disabilitas

Sebenarnya gerakan seni dan disabilitas telah lama digalakkan. Hal ini dimulai dari Disability Arts Movement, gerakan yang dilakukan oleh aktivis dan difabel di Inggris untuk menyuarakan kelompok disabilitas yang termarginalisasikan, akibat aktivitas ini juga Disability Discrimination Act 1995 dilegalkan pemerintah Inggris.

British Council sebagai lembaga dari negara gerakan ini berasal, berupaya menggalakkan gerakan ini di Indonesia. Dimulai dari penelitian di Jakarta pada tahun 2016 yang dilakukan oleh Center for Disability Studies and Services (CDSS) Universitas Brawijaya. Penelitian ini mengobservasi kondisi lapangan antara disabilitas, seni, dan pemerintah serta kebijakannya. Secara umum, didapatkan pemerintah masih berupaya untuk memberikan fasilitas yang memadai untuk kaum disabilitas sehingga untuk membahas, mewadahi, dan mengapresiasi kesenian disabilitas masih sangat kurang.

Hal ini juga terjadi di Bandung, di dalam Peraturan Daerah (Perda) Kota Bandung Nomor 15 Tahun 2019 tentang Pelindungan dan Pemenuhan Hak Penyandang Disabilitas dituliskan di Pasal 6 Ayat (1) bahwa “Pemerintah Daerah Kota bertanggung jawab terhadap pelaksanaan Penghormatan, Pelindungan dan Pemenuhan hak Penyandang Disabilitas.”. Secara detail dijelaskan dalam pasal yang sama ayat (3) bahwa “Pelaksanaan Penghormatan, Pelindungan Dan Pemenuhan hak Penyandang Disabilitas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi bidang: keadilan dan perlindungan hukum,  pendidikan pekerjaan, kewirausahaan dan koperasi,  kesehatan, politik, keagamaan, keolahragaan, kebudayaan dan pariwisata, kesejahteraan sosial, infrastruktur, pelayanan publik, pelindungan dari bencana, habilitasi dan rehabilitasi, konsesi, pendataan,  berkomunikasi dan memperoleh informasi, dan perempuan dan anak.”

Namun nyatanya, kondisi lapangan tidak sejalan dengan hukum. HOH sebagai ruang untuk disabilitas berkembang lingkup seni mengalami kesulitan  saat menyusun kurikulum karena tidak ada bimbingan dan panduan yang mendukung. Pendamping ABK HOH dan Relawan Disabilitas Tahun 2017-2020 di Kota Bandung, Krisna mengatakan tidak pernah melihat partisipasi pemerintah selama dirinya membimbing difabel dalam masa relawannya.

Ketidakmampuan pemerintah memberikan tempat yang tepat untuk menampung kreativitas difabel menjadi catatan merah bagi Kota Bandung yang mengaspirasikan daerahnya sebagai Kota Ramah Disabilitas. Kepasifan Pemerintah Kota Bandung untuk turun ke lapangan atau mengadvokasikan isu dan ragam kegiatan kelompok disabilitas membuat masyarakat daerahnya minim pemahaman dan literasi tentang kelompok marginal ini. Sehingga stigma, stereotip, dan diskriminasi yang seharusnya tidak terjadi menjadi wajar terjadi.

“Mereka (masyarakat) tuh masih banyak yang pandangannya berbeda sampai di bully gitu, aduh kasian banget, bully-bully ABK tuh kayaknya gak perlu banget” ucap Ketua Pelaksana Operasional HOH Immanuel Ko.

Salah seorang teman disabilitas yang mengikuti pelatihan menggambar di HoH  pada Selasa, 28 November 2023. (Foto: Azelia Shula Z.)
Salah seorang teman disabilitas yang mengikuti pelatihan menggambar di HoH pada Selasa, 28 November 2023. (Foto: Azelia Shula Z.)

Perundungan dan Ableism

Menurut penulis, perundungan ini  terjadi karena perbedaan kemampuan atau visual dari difabel. Perbedaan ini membuat sekelompok orang merasa dirinya superior sehingga berani melakukan perundungan. Menariknya, jika difabel dinilai inferior oleh para perundung seharusnya kelompok superior ini dapat hidup lebih tenang, tetapi karena kebutuhan ego untuk merasa berkuasa dan kuat, perundung ini akhirnya menargetkan orang-orang yang memiliki kelemahan untuk melawan mereka, baik secara fisik atau mental.

Dalam artikel yang dipublikasikan oleh Regain, perundungan terjadi karena orang memiliki rasa rendah diri, ketidakmampuan orang untuk merasakan empati, trauma masa kecil, menjadi korban perundungan juga, atau kondisi mental tertentu. Perundungan dilakukan untuk mendapatkan perhatian agar dirinya merasa dihargai dan dicintai.

Kasus diskriminasi difabel juga dialami oleh Faisal Rusdi, seorang seniman cerebral palsy yang berusaha mengambil pelatihan seni di sanggar kesenian umum di Bandung. Faisal harus beradaptasi walau tanpa akses pelatihan yang ramah disabilitas, hingga dirinya memutuskan untuk keluar sanggar karena sering diperlakukan berbeda akibat guru-guru di sana takut dirinya tidak bisa mengikuti pelajaran.

Sikap seperti ini sejujurnya sering terjadi di masyarakat disadari atau tidak. Perilaku seperti ini disebut sebagai ableism, di mana sikap, perkataan, atau penilaian yang mendiskriminasi orang-orang disabilitas.

Ableism yang paling sering dilakukan oleh masyarakat adalah berasumsi bahwa difabel tidak dapat beraktivitas secara normal dan gagal memahami keragaman disabilitas yang dialami difabel. Walau ableism tidak semuanya bermula dari niat buruk, tapi kebiasaan ini tetap memberikan efek major kepada difabel.

Ableism harus diberantas dengan literasi, pelatihan, penyuluhan, dan aktif partisipasi difabel di lingkup umum. Pemerintah Kota Bandung memiliki kemampuan dan peran penting untuk mewujudkan kegiatan berkala mengenai disabilitas yang diadakan secara merata di kota.

Kegiatan bisa menjadi upaya pemerintah untuk meningkatkan partisipasinya, sebagaimana partisipasi masyarakat untuk merangkul kelompok difabel masih lebih besar.

Ableism terjadi karena ketakutan pada difabel, kurangnya pengetahuan, kebiasan sosial, kepercayaan moral atau agama, kecanggungan berperilaku di sekitar difabel, dan eugenics (gerakan yang memercayai bahwa hanya manusia “ideal” yang pantas memiliki garis keturunan dan kehidupan).

Ableism yang bersifat agresif atau tidak jangan sampai dinormalisasi, atau kita akan gagal mewujudkan ruang inklusif dan gagasan “Bhinneka Tunggal Ika”.

Jika upaya ini berhasil dilakukan, masyarakat disabilitas akan lebih mudah beradaptasi dan berfungsi sebagai makhluk sosial. Seperti yang terjadi pada tahun 2017 di acara  Unspoken Talent Night Festival, sebuah seni pertunjukan teater dengan aktor disabilitas.

Berbagai aktor dari daerah Kota Bandung dengan ragam latar belakang seperti, diasingkan keluarga akibat cerebral palsy atau menjadi tulang punggung keluarga dengan disabilitas fisik, berpartisipasi untuk mendapatkan aktualisasi diri dan penghasilan dari donatur acara.

Dengan begini seharusnya perspektif seni di masyarakat umum tidak terbatas pada uang dan profesi, tapi juga perjuangan dan suara kelompok marginal, simbol kesetaraan dan perubahan sosial, serta identitas diri seperti yang dipahami oleh kawan disabilitas.

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//