• Cerita
  • Menggugat Ruang Ramah Difabel di Kota Bandung

Menggugat Ruang Ramah Difabel di Kota Bandung

Masalah yang dihadapi penyandang disabilitas di Kota Bandung masih berkutat pada stigma dan minimnya aksesibilitas di ruang publik.

Farhan Helmy, Presiden Pergerak Disabilitas dan Lanjut Usia (DILANS) memaparkan materi terkait disabilitas di Indonesia pada gelaran dengar pendapat “Seni di Mata Kami”, di Bale Tonggoh, Selasar Sunaryo Art Space, Rabu, (8/3/2023). (Foto: Reza Khoerul Iman/BandungBergerak.id)

Penulis Reza Khoerul Iman13 Maret 2023


BandungBergerak.id – Menciptakan ruang publik yang ramah difabel di Kota Bandung rasanya makin jauh panggang dari api. Curhatan sejumlah kawan difabel dalam menguarkan pesimisme tersebut dalam diskusi sekaligus acara dengar pendapat “Seni di Mata Kami”. Diskusi tersebut dimaksudkan untuk menggali perspektif kawan difabel tentang seni dan ruang publik di Kota Bandung.   

Diskusi yang digelar di Bale Tonggoh, Selasar Sunaryo Art Space, pada Rabu (8/3/2023) lalu menghadirkan perwakilan aktivis difabel, komunitas kreatif dan seniman difabel sebagai narasumber. Di antaranya dihadiri Pendiri Bandung Independent Living Center (BILiC) sekaligus pegiat Asosiasi Seniman Lukis Mulut dan Kaki atau Association of Mouth and Foot Painting Artists (AMFPA) Faisal Rusdi, Presiden Pergerakan Disabilitas dan Lanjut Usia (DILANS) Farhan Helmy, serta Pendiri Pulas Katumbiri (PUKA) Dessy Nur Anisa Rahma.

Faisal Rusdi seorang penyandang Cerebral Palsy. Ia menuturkan kisah perjalanannya yang tak mudah sebagai seniman yang menggeluti seni lukis dengan menggunakan mulut dan kaki. Selepas keluar dari SLB, ia masuk ke salah satu sanggar seni di Kota Bandung untuk terus mengasah dan mengembangkan minatnya dalam melukis.

Bukan hal yang mudah bagi Faisal untuk beradaptasi di lingkungan yang sama sekali berbeda dengan SLB. Sejumlah ruang-ruang berkegiatan di sanggar tersebut masih belum memiliki akses yang ramah difabel. Ia pun mesti beradaptasi cukup lama di sanggar tersebut.

“Saya keringetan dan tangan saya sampai tremor. Bahkan ketika pulpen atau alat lukis saya jatuh, itu kagetnya minta ampun,” ujar Faisal.

Dua tahun belajar di sanggar itu, Faisal mulai bosan dan jenuh. Ia merasa dirinya tidak berkembang. Kemudian ia memutuskan keluar dari sanggar dan melanjutkan belajar dengan asisten yang pernah membantunya di sanggar tersebut.

“Saya bertanya pada asisten yang membantu saya di sanggar itu tentang kenapa saya seperti dibedakan dengan murid-murid yang lainnya dalam sistem pembelajaran? Ternyata menurut penuturannya, guru-guru di sana khawatir kalau saya tidak bisa mengikuti sistem pembelajaran yang normal,” ujar Faisal

Fasal menyesalkan perlakuan yang berbeda yang diterima dirinya yang berasal dari asumsi stigma pada difabel. Justru stigma yang menganggap difabel memiliki batasan yang tidak bisa bisa dicapai seperti manusia normal bisa memberi dampak buruk pada difabel yang menginginkan berkembang.

Ia menegaskan bahwa para difabel mesti diberikan kesempatan yang sama. Jika bukan karena kegigihan Faisal dalam menuntut hak yang setara, maka menurutnya ia tidak akan bisa melukis dan memahat.

Faisal kini aktif di berbagai lembaga. Aktivitasnya sebagai aktivis bertujuan untuk memperjuangkan hak kesetaraan. Ia dan lembaganya mendorong pembangunan infrastruktur raung publik yang ramah difabel.

Diskusi dengar pendapat “Seni di Mata Kami - Kesenian dalam Perspektif Disabilitas” di Bale Tonggoh, Selasar Sunaryo Art Space, Rabu, (8/3/2023). (Foto: Reza Khoerul Iman/BandungBergerak.id)
Diskusi dengar pendapat “Seni di Mata Kami - Kesenian dalam Perspektif Disabilitas” di Bale Tonggoh, Selasar Sunaryo Art Space, Rabu, (8/3/2023). (Foto: Reza Khoerul Iman/BandungBergerak.id)

Baca Juga: Menyusuri Lorong Waktu Perjalanan Gedung Merdeka dan Diplomasi KAA 1955
Pertunjukan Kecil dari Rumah Petik yang Menginspirasi
Membakar Semangat Clara Zetkin di Bandung #1: Api Kartini Menyuarakan Perlawanan Perempuan
Kisah Eva, ODHA yang Melawan Stigma

Ruang Publik yang Ramah bagi Difabel

Lain lagi kisah Farhan Helmy. Ia seorang penyandang tuna daksa menggunakan kursi roda untuk membantu aktivitasnya sehari-hari. Ia tahu persis repotnya menggunakan kursi roda untuk menyusuri trotoar-trotoar di Kota Bandung yang tidak ramah pada difabel.

Tak perlu jauh-jauh, sejumlah jalan di dekat tempat tinggalnya memiliki trotoar yang tidak ramah disabilitas. Beberapa kali Farhan mesti membawa kursi rodanya turun menyusuri jalan raya yang sebetulnya membahayakan dirinya karena tidak bisa melintasi trotoar. Di beberapa tempat bahkan ia sempat terguling dari kursi roda karena medan jalan yang curam.  

“Seberapa pun mahalnya kursi roda, kalau permukaan jalannya itu bergelombang ya percuma saja. Saya kalau ke mana-mana selalu pakai helm (sepeda) untuk mengantisipasi kalau terjadi apa-apa. Sudah empat kali saya terguling dari kursi roda,” ujar Farhan.

Selain trotar, masih banyak area publik lainnya yang minim aksesibilitas bagi difabel. Salah satunya kantor pemerintahan.

Beberapa waktu lalu Farhan pernah melakukan walking tour bersama Bandoeng Waktu Itoe ke kawasan Gedung Sate. Saat berkeliling di kantor gubernur Jawa Barat tersebut ia dan beberapa kawan difabel bahkan mesti digendong untuk melewati beberapa tempat karena jalannya berundak. Untuk menuju kawasan Museum Gedung Sate pun sulit di akses bagi difabel seperti dirinya.

Farhan menginginkan difabel seperti dirinya benar-benar dilibatkan dalam membangun lingkungan yang ramah bagi difabel. Selama ini ia mendapat kesan penciptaan lingkungan yang ramah difabel hanya bersifat insidental dan berkutat pada pembangunan yang sifatnya fisik semata.

“Saya dan kawan-kawan disabilitas lainnya menunggu keberpihakan yang sebenar-benarnya dari akademisi dan pihak-pihak lainnya, bukan keberpihakan semu yang muncul karena ada pesanan dari luar,” ujar Farhan.

 

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//