• Berita
  • Penyandang Difabel Harus Dilibatkan Penuh dan Bermakna dalam Pembangunan

Penyandang Difabel Harus Dilibatkan Penuh dan Bermakna dalam Pembangunan

Penyandang disabilitas diposisikan sebagai penerima manfaat, menjadi objek suatu program. Tidak ada keterlibatan partisipasi bermakna kelompok difabel sedari awal.

Kawan difabel dan warga memilih tidak menggunakan trotoar di Jalan Padjadjaran, Bandung, Kamis (20/7/2023).

Penulis Awla Rajul28 Desember 2023


BandungBergerak.id – Pemerintah perlu melibatkan partisipasi bermakna penyandang difabel dalam pembangunan. Penyandang difabel dilibatkan bukan hanya sebagai objek dan dilibatkan di tengah jalan, melainkan sejak perencanaan, penganggaran, hingga monitoring dan evaluasi. Hal itu perlu dilakukan agar penyandang disabilitas terlibat dalam pembangunan, mandiri dengan fasilitas yang mendukung, dan mewujudkan pembangunan yang ideal.

Direktur Eksekutif Cahaya Inklusif Indonesia (CAI), Kustini menegaskan bahwa keterlibatan penyandang difabel dalam pembangunan memang harus dari awal hingga akhir jika memang program maupun pembangunan tersebut menyasar kelompok terebut. Meski, ia mengakui, penyandang difabel tak pernah dilibatkan sejak proses awal, yaitu perencanaan dan penganggaran. Penyandang difabel dilibatkan baru mulai pada proses pertengahan.

Hal tersebut berdampak buruk. Misal dapat dilihat dari banyaknya infrastruktur yang tidak bisa dimanfaatkan secara maksimal oleh penyandang difabel. Seperti pembangunan gedung yang sudah menyediakan ramp, handrail, toilet disabilitas, namun tidak sesuai dengan standar yang ditetapkan.

“Karena memang tidak ada keterlibatan dari teman-teman disabilitas, akhirnya pembuatannya pun yang tujuannya untuk kemandirian teman-teman disabilitas, akhirnya tidak bisa dimanfaatkan dengan baik,” terang Kustini kepada BandungBergerak.id melalui sambungan telepon, Jumat, 22 Desember 2023.

Ia juga menyebut, perwakilan organisasi diundang pada agenda Musyawarah Rencana Pembangunan (Musrenbang). Namun apakah organisasi yang diundang sudah representatif mewakili seluruh ragam difabel. Sebab ada pula organisasi yang berisi non-difabel tapi bekerja untuk menyuarakan hak difabel.

Kustini sebagai penyandang difabel tak berani mengutarakan perspektif difabel sensorik, misalnya. Harus penyandang difabel sensorik sendiri yang berbicara, mengutarakan pendapat, menyampaikan kebutuhan dan memonitoring suatu pembangunan maupun program.

“Misalnya organisasi non-disabilitas tapi mereka bekerja untuk disabilitas. Kan berbeda ketika kita berbicaranya itu dari disabilitas sendiri. Kami sih belum melihat secara utuh ya, karena faktanya kita tidak pernah dilibatkan dari mulai proses perencanaan” kata Kustini.

Kustini juga menambahkan perihal Dinas Tenaga Kerja yang saban tahun membuat pelatihan untuk penyandang difabel. Sayangnya, penyandang difabel tak dilibatkan dalam proses perencanaan, penganggaran, hingga implementasi. Akibatnya adalah output dan outcome yang tidak sesuai dengan harapan.

“Jadi kalau kami liat selama ini bahwa belum ada partisipasi bermakna dari penyandang disabilitas. Jadi hanya sebagai penerima manfaat, menjadi objek suatu program. Karena itu memang tidak keterlibatan disabilitas dari awal,” tambah Kustini.

Kustini menyebutkan, pemerintah memang sudah seharusnya melibatkan partisipasi yang bermakna penyandang difabel sejak proses awal hingga akhir. Dalam implementasi sasaran strategis Rencana Aksi Daerah Penyandang Disabilitas (RADPD) pun, pemerintah perlu menggandeng penyandang difabel. Hal tersebut agar pembangunan maupun program yang dibuat untuk menyasar penyandang difabel, benar-benar berdampak baik.

“Mereka hanya program untuk disabilitas, apakah kemudian program itu yang memang dibutuhkan oleh disabilitas kemudian juga yang berdampak untuk disabilitas itu kita gak pernah tau,” lanjut Kustini.

Baca Juga: Data Partisipasi Warga Difabel pada Pilwalkot Bandung 2018: Tingkat Partisipasi Capai 85 Persen
Mendekatkan Kawan Difabel dan Thalasemia dengan Alam
Kawan-kawan Difabel Berharap Mendapat Ruang Pemberitaan yang Adil di Media Massa

Upaya Raperda Penyandang Difabel Anyar

Kustini menyebut bahwa pemerintah sering kali menyatakan komitmennya kepada penyandang difabel, meski yang terjadi belum sepenuhnya demikian dan masih sedikit sekali perubahan. Hal itu pun memang menjadi kewajiban pemerintah sebab telah diatur oleh Undang-undang No. 18 tahun 2016 maupun peraturan daerah di Tingkat provinsi hingga Kabupaten/Kota.

Punten kalau kami mengatakan ini masih sekedar lip service aja gitu. Sebenarnya regulasi itu ada dan hanya sebagian kecil yang benar-benar melaksanakan dari regulasi yang ada itu,” kata Kustini.

Selama dua hingga tiga tahun belakangan, Kustini mengaku bahwa CAI aktif mendorong eksekutif di Jawa Barat untuk menyusun peraturan daerah tentang Penyandang Difabel yang teranyar. Sebab, undang-undang di skala nasional saja diputuskan pada tahun 2016, sedangkan Perda Jabar tentang Penyandang Difabel terbit tahun 2013. Belum lagi peraturan di kabupaten/kota di Jabar yang lebih anyar sehingga menginduk kepada undang-undang.

Ia menyebut sulit sekali mendapatkan realisasi dengan mendorong pihak eksekutif. Makanya pihaknya mengubah strategi dengan mendorong legislatif, dalam hal ini Komisi 5 DPRD Jabar yang pada Agustus lalu menerima rancangan peraturan daerah (Raperda) tentang penyandang difabel. Ia juga menyebut bahwa Raperda ini masuk sebagai prioritas di tahun 2024 dan masih dalam pembahasan.

“Kalau gak ada pergerakan dari temen-temen disabilitas dari organisasi disabilitas itu gak ada perubahan gitu. Makanya harus dari kami sendiri, saling kolaborasi dan sinergi untuk menguatkan apa yang menjadi tujuan kita adalah pemenuhan hak,” tambah Kustini.

Dari peraturan yang baru ini, ia berharap penyandang difabel bisa mendapatkan pemenuhan hak dan setara. Ia juga berharap agar RADPD menjadi pintu masuk di mana tujuh sasaran strateginya, dimulai dari penghimpunan masalah yang ada di lapangan.

Tujuh persoalan itu lalu didiskusikan antara SKPD, penyandang difabel dan organisasinya. Hal itu bertujuan agar apa yang dilakukan pemerintah, baik program maupun pembangunan infrastruktur berdampak baik pada penyandang difabel dan memberi kemandirian.

“Pentingnya perda disabilitas di provinsi agar sesuai dengan yang kita harapkan,” pungkas Kustini.

Memprioritaskan Penyandang Difabel

Pemerintah provinsi Jawa Barat mengaku berkomitmen untuk meningkatkan peran dan partisipasi penyandang disabilitas dalam berbagai aspek pembangunan dan kehidupan sosial, budaya dan ekonomi.

Penjabat Sekretaris Daerah Provinsi Jabar, Taufiq Budi Santoso menyebutkan bahwa pihaknya selalu berupaya mewujudkan inklusifitas dan membuka kesempatan yang luas bagi setiap warga, termasuk penyandang difabel. Ia mengungkapkan, penyandang difabel dapat berpartisipasi aktif dalam pembangunan di Jawa Barat.

“Pemerintah Provinsi Jawa Barat selalu mendukung dan memprioritaskan dalam pembangunan daerahnya untuk melibatkan, memberikan bantuan, memfasilitasi serta mengajak untuk saling bersinergi penyandang disabilitas,” kata Taufiq saat menghadiri peringatan Hari Disabilitas Internasional Tingkat Provinsi Jawa Barat Tahun 2023 di halaman depan Gedung Sate, Kota Bandung, Sabtu, 16 Desember 2023, dikutip dari siaran pers.

Ia juga mengaku, pihaknya berupaya mendukung perlindungan dan partisipasi aktif penyandang difabel di segala sektor. Pemprov Jabar bersama DPRD Jabar pun selalu memprioritaskan penyandang disabilitas dari sisi perencanaan pembangunan maupun anggaran. Salah satunya yang menjadi komitmen pemerintah adalah dengan akan dibahas khusus tentang peraturan daerah untuk penyandang difabel 2024 mendatang.

“Bahkan sudah disetujui bahwa tahun depan (2024) akan dibahas khusus tentang peraturan daerah untuk penyandang disabilitas. Ini merupakan upaya kami terus mendorong hak-hak penyandang disabilitas,” ujarnya.

*Kawan-kawan yang baik bisa membaca tulisan-tulisan lain dari Awla Rajul atau artikel lain tentang difabel.

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//