Kawan-kawan Difabel Berharap Mendapat Ruang Pemberitaan yang Adil di Media Massa
Media diharapkan memberi dampak positif pada kawan-kawan difabel. Menjadi ruang inklusif bagi kelompok dengan fisik dan mental berbeda.
Penulis Awla Rajul22 Desember 2023
BandungBergerak.id - Penyandang difabel di Kota Bandung masih perlu berjuang untuk mendapatkan kesetaraan dan keadilan. Perjuangan ini juga berlaku di ranah media massa di mana mereka diposisikan secara tidak ideal yang berujung berdampak negatif terhadap kehidupan mereka.
Persoalan yang dihadapi kaum difabel di lingkup pemberitaan menjadi jalan terjal yang harus segera diselesaikan di tengah-tengah persoalan stigma, persepsi, dan diskriminasi yang masih kerap mereka alami.
Masalah yang dihadapi kaum difabel mengemuka pada kegiatan Asesmen Isu Kelompok Ragam Difabel se-Kota Bandung yang dilakukan oleh Jaringan Kerja Antarumat Beragama (Jakatarub), di Kantor Sinode Gereka Kristen Pasundan (GKP), Bandung, Sabtu, 21 Oktober 2023.
Asesmen isu ini bagian dari rangkaian Festival Bandung Lautan Damai (BALAD) 2023. Fokus asesmen ditujukan untuk menampung isu yang dialami dan dirasakan oleh kawan-kawan difabel untuk Kolaborasi Liputan Media Inklusi Sosial BALAD 2023 yang bekerja sama dengan BandungBergerak.id.
Asesmen dihadiri perwakilan organisasi maupun komunitas penyandang difabel, di antaranya Sarah Kumala dari Bumi Difabel Istimewa, Isti Chalifati dan Daniel Fery dari Rumah Kita, Dadial dari Gerakan Kesejahteraan Tunarungu Indonesia (Gerkatin) Jabar, Alifa Aulia dari Himpunan Wanita Difabel Indonesia (HWDI), Dudi N. Rahimi dan Dinda Sabila dari Cahaya Inklusi Indonesia (CAI), dan Fanny dari Sekolah Damai Indonesia (Sekodi) Bandung.
Daniel Fery menyebutkan, sejumlah media tidak adil dalam melakukan pemberitaan tentang penyandang difabel mental. Ia mencontohkan salah satu media yang memberitakan kasus bunuh diri yang menyebutkan nama korban secara jelas dan mencantumkan foto tanpa disensor (blur). Ia juga menilai media cenderung seksis dan klikbait untuk mendulang klik pada pemberitaan.
“Jadi secara kesimpulan saya menyatakan atau menganalisis bahwa clickbait penting. Headline yang bombastis, orang akan klik, dan ujung-ujungnya stigma di dalam berita tersebut. Misalnya, dosen cantik ditemukan gantung diri di Gateway residence, misalkan. Kalau tidak cantik apakah tidak diupload? Itu kan seksis sekali,” terangnya.
Untuk kasus bunuh diri, ia berharap untuk menyamarkan nama pelaku bunuh diri di pemberitaannya. Keluarga korban sudah cukup berduka dengan kehilangan, bahkan beberapa cenderung triggering untuk melakukan hal yang sama.
Daniel mengingatkan, pemberitaan memang penting, tapi kalau tidak diiringi dengan kebijaksanaan maka akan berdampak buruk. Ia memberi catatan agar pada kasus bunuh diri maupun difabel mental, namanya disamarkan, fotonya diblur, tidak menyebutkan lokasi atau alamat, dan tidak membahas caranya bunuh diri.
Tanpa kebijaksanaan tersebut dikhawatirkan akan memicu orang lain untuk melakukan hal sama. Daniel pun menegaskan agar media tak perlu mendayu-dayu dalam menuliskan berita tentang difabel.
Baca Juga: Data Partisipasi Warga Difabel pada Pilwalkot Bandung 2018: Tingkat Partisipasi Capai 85 Persen
Kawan-kawan Difabel dalam Pelukan Komunitas Seni
Menonton Bioskop Bersama Teman Difabel Bandung, Berharap Fasilitas Publik yang Ramah Disabilitas
Ruang untuk Difabel
Sarah Kumala dari Bumi Difabel Istimewa berharap ada ruang di media massa bagi Anak Berkebutuhan Khusus (ABK). Namun di dalam ruang pemberitaan itu ABK bukan ingin dikasihani, melainkan edukasi dan menunjukkan keberdayaan.
“Justru pengin disorot muka ABK itu. Kan ABK itu banyak jenisnya dan punya wajah khas masing-masing. Bukan apa-apa, buat mengenalkan ke masyarakat juga, mengedukasi tentang jenis-jenis difabel. Terus juga difotonya jangan pas lagi melas semua, biasa aja gitu,” terang Lala, demikian ia biasa disapa.
Lala juga mengkritik cara media menyebut ABK atau kawan-kawan difabel harus dilandasi sikap menghormati atau kesetaraan. Banyak sekali jenis-jenis ABK yang berbeda dan perlu diketahui oleh masyarakat yang hidup berdampingan dalam keberagaman.
Selain itu, ia menyayangkan media-media jarang meliput inisiatif baik yang dilakukan organisasi maupun komunitas penyandang difabel. Alih-alih lebih memberi perhatian kepada agenda pemerintah.
“Nah itu gak pernah diliput. Giliran punteun ya, yang dibagiin sembako sama pak camat, gubernur diliput. Jadi kan tampangnya (ABK) melas banget itu,” bebernya.
Media Inklusif dan Liputan yang Konsensual
Kawan-kawan difabel membutuhkan akses informasi, sama seperti masyarakat lainnya. Makanya media perlu membuat platform yang inklusif. Persoalan media yang belum inklusif ini dikeluhkan oleh Alifa Aulia, difabel penglihatan dari Himpunan Wanita Difabel Indonesia (HWDI).
Alifa mengatakan, sebagai penerima informasi, ia merasa kesulitan dengan aksesibilitas platform media online yang belum inklusif. Beberapa media cenderung tidak mencatumkan alt text untuk gambar, sehingga ia tak tahu apa gambar di dalam platform, apa makna dan relevansinya dengan artikel.
Karena persoalan ini, ia pun lebih banyak mencari informasi melalui YouTube atau televisi. Sayangnya, ia juga merasa butuh keberagaman informasi dari platform-platform media online yang menyiarkan pemberitaan yang berbeda-beda. Ia juga menyebutkan ada beberapa situasi yang membuat sulit mengakses YouTube dan televisi, sehingga ingin mengakses media online. Sayangnya media online belum sepenuhnya inklusif.
Alifa juga berharap penyebutan terhadap penyandang difabel menggunakan diksi yang tepat. Penyebutan diksi bisa mengacu UU tentang Penyandang Disabilitas atau penyebutan yang lebih disenangi oleh kawan difabel sendiri.
Namun Alifa merasa bersyukur sebab belakangan sudah jarang yang menyebutnya buta, melainkan menyebutnya dengan difabel atau difabel netra. Penyebutan ini menurutnya lebih nyaman dan lebih terhormat.
“Kalau ingin memberitakan tentang difabel, mohon untuk menggunakan diksi-diksi yang tepat. Jadi diksi-diksi kata yang memang tepat dirasakan untuk menyebutkan individu ini (narasumber panyang difabel) itu tolong digali lagi,” ungkap Alifa.
Dadial penyandang Tuli dari Gerkatin menuturkan pengalaman diwawancara oleh seorang jurnalis yang dibantu oleh Juru Bahasa Isyarat (JBI). Sayangnya, pemberitaan yang dihasilkan tak sesuai apa yang ia sampaikan. Ia juga tidak mendapat kabar tentang kapan penayangan beritanya. Akibatnya, ia meminta pemberitaan tersebut untuk direvisi sesuai dengan apa yang sudah ia sampaikan.
“Saya juga minta, kalau nanti ada lagi penulisan tentang difabel, jangan langsung disebar, harus tanya dulu ke orangnya (narasumber penyadang difabel), sudah pas apa belum. Nanti kalau menurut difabel sudah pas silakan untuk disebar,” ungkap Dadial menggunakan bahasa isyarat yang dibantu interpretasinya oleh JBI.
Dadial juga menegaskan agar pemberitaan terkait penyandang difabel jangan selalu berkutat perihal kesulitan yang mereka hadapi. Media-media perlu memberika ruang pemberitaan tentang penyandang difabel yang berdaya dan prestasinya.
Pemberitaan terkait sosok difabel pun bukan hanya untuk bagi penyandang difabel yang sudah terkenal luas. Tapi juga difabel-difabel lainnya, difabel yang belum terkenal, “yang biasa” yang suaranya dan pendapatnya perlu, sekaligus penting untuk didengarkan.
“Difabel itu masih seringkali dipandang sebagai rasa kasihan, bukan menunjukkan kemampuan dari difabel, prestasinya. Tapi lebih ke rasa kasihan, selalu itu yang ditunjukkan,” terangnya.
Dudi N. Rahimi dari Cahaya Inklusif Indonesia (CAI) menyebutkan persoalan media yang lebih senang memberitakan pada koridor “bad news is a good news”. Padahal Dudi berpendapat, pers merupakan salah satu pilar demokrasi untuk membangun peradaban.
Seharusnya media membangun perabadan ke arah yang lebih baik. Ia menerangkan salah satu caranya dengan memberitakan penyadang difabel sesuai koridornya dan memberi dampak baik untuk penyandang difabel. Bukan sebaliknya, membawa dampak buruk dan mempertebal stigma dan diskriminasi di tengah-tengah masyarakat.
“Jadi (media) harus punya iktikad baik untuk membuat peradaban yang lebih baik, sebagai salah satu pilar demokrasi,” pesannya.
*Kawan-kawan yang baik bisa membaca tulisan-tulisan lain dari Awla Rajul atau artikel lain tentang Kawan-kawan Difabel