• Liputan Khusus
  • BERSAUDARA DALAM PERBEDAAN: Kawan-kawan Difabel dalam Pelukan Komunitas Seni

BERSAUDARA DALAM PERBEDAAN: Kawan-kawan Difabel dalam Pelukan Komunitas Seni

Jalan terjal menanti seniman difabel dalam berkarya. Akses dan fasilitas dari pemerintah kurang. Dirangkul komunitas.

Refina Nuraini Utari (kiri) dan Muhammad Fiqri Hakim (kanan) dari Kelompok Seni Tuli, Bandung, Selasa, 14 November 2023. (Foto: Virliya Putricantika/BandungBergerak.id)

Penulis Awla Rajul29 November 2023


BandungBergerak.id - Adryan Adinugraha (27 tahun) berkutat di depan laptop sambil duduk lesehan. Di layar terpampang sosok seseorang yang mengenakan kemeja merah muda dan celana biru yang sedang duduk melukis di depan kanvas. Itu adalah karya Adryan yang sedang diwarnai menggunakan aplikasi grafis. Adryan tak sendiri, ia ditemani oleh fasilitator seni yang duduk di sebelah kirinya.

Adryan adalah seniman dengan gangguan ADD (attention deficit disorder) yang aktif di Tab Space, sebuah studio grafis di Bandung untuk seniman difabel. Menurut Tim Medis Klikdokter, orang dengan ADD sulit mengontrol tindakannya dan/atau mengalami kesulitan untuk fokus pada sesuatu atau sulit memperhatikan suatu kondisi atau wacana.

Adryan belajar menggambar sejak usia delapan tahun. Selain hobi, menggambar kini profesi yang ia jalani. Pria ini berpenghasilan dan hidup dari karya-karyanya.

“Ya sebagai hobi gitu, kesenangan. Senang (kalau menggambar). Iya, alhamdulillah (berpenghasilan dari karya). Kadang dipake buat membantu ibu saya dan buat beli keperluan sehari-hari juga,” ungkap Adryan ketika ditemui di Tab Space, Fragment Project, Rabu 8, November 2023.

Selain menggambar sejak kecil, Adryan juga mempelajari desain grafis saat melanjutkan pendidikan di Art Therapy Centre (ATC) Widyatama. Keuletannya di bidang seni membuka jalan untuk berpameran. Yang terbaru Adryan berpameran secara kolektif mewakili Tab Space pada pameran Lengan Terkembang di Selasar Sunaryo beberapa bulan lalu.

“Sebelumnya juga udah pernah pameran waktu kuliah. Dulu pamerannya di Jakarta di Galeri Nasional,” ungkap Adryan, bangga.

Saat BandungBergerak.id mengunjungi Tab Space siang itu, ada seniman lainnya yang juga sedang berkarya di studio, yaitu Claudia. Secara bergantian keduanya berkarya didampingi oleh fasilitator seni.

Seni bisa berarti banyak hal bagi kaum difabel. Misalnya, seni sebagai terapi alternatif, hobi, atau bahkan profesi. Hal itulah yang ditekuni seniman-seniman di Tab Space atau yang juga ditekuni oleh Faisal Rusdi, seorang seniman lukis difabel yang terlahir dengan Cerebral Palsy, kondisi gangguan saraf (neurologis) yang berimbas buruk pada kualitas hidup penderitanya.

Faisal mengenal menggambar saat usianya masih belia. Dulu ayahnya menjual alat tulis kantor (ATK). Kertas, pulpen, hingga pensil dagangan ayahnya digunakan untuk corat-coret. Genap usianya 16 tahun, Faisal memilih menekuni seni lukis dan memutuskan belajar serius di Sanggar Rangga Gempol.

Jalan Faisal mempelajari seni memang tak mudah. Ia sempat mengalami diskriminasi dan asumsi dari pengajarnya. Atau saat semangatnya tengah menyala-nyala untuk memperkaya referensi di pameran-pameran seni, Faisal harus menghadapi persoalan aksesibilitas yang belum ramah dan tak inklusif. Faisal mengungkapkan bahwa seniman difabel memang ada dan sudah seharusnya diakomodir.

“Dunia seni ini saya jadikan juga untuk advokasi aksesibilitas di ruang seni. Misalnya saya mau menampilkan karya tidak lupa juga ruang-ruang seni yang saya pilih aksesibel supaya jadi contoh juga ke pemerintah,” ungkapnya kepada BandungBergerak.id ketika ditemui di salah satu kafe di kawasan Kiaracondong, Sabtu, 4 November 2023.

Faisal Rusdi, seniman yang menggunakan mulutnya untuk melukis, Badung, Sabtu, 4 November 2023. (Foto: Virliya Putricantika/BandungBergerak.id)
Faisal Rusdi, seniman yang menggunakan mulutnya untuk melukis, Badung, Sabtu, 4 November 2023. (Foto: Virliya Putricantika/BandungBergerak.id)

Sebuah Studio Kreatif bagi Difabel

Banyak jalan terjal yang harus dihadapi oleh kawan-kawan difabel dalam berkarya. Belum lagi persoalan pemenuhan hak, kesetaraan, maupun aksesibilitas yang belum paripurna diwujudkan. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas telah mengatur bahwa disabilitas memiliki kesamaan kesempatan, hak yang sama, dan setara.

Terkait seni, secara spesifik Pasal 16 menyebutkan bahwa penyandang disabilitas memiliki hak kebudayaan dan pariwisata, di antaranya memperoleh kesamaan dan kesempatan untuk berpartisipasi secara aktif dalam kegiatan seni dan budaya. Regulasi ini secara tegas juga mengatur bahwa pemerintah wajib menjamin aksesibilitas bagi difabel untuk mendapatkan layanan kebudayaan dan pariwisata.

Pemerintah wajib mengembangkan potensi dan kemampuan seni budaya kawan-kawan difabel. Regulasi ini juga mendefinisikan ragam difabel meliputi fisik, intelektual, mental, dan atau sensorik.

Menurut opendata.jabarprov.go.id, jumlah penduduk dengan difabel di Kota Bandung pada tahun 2022 sebanyak 9.020 jiwa. Dari total itu, 1.917 jiwa merupakan difabel fisik, 702 jiwa difabel penglihatan, 1.155 jiwa difabel rungu/wicara, 2.831 jiwa difabel mental/jiwa, 650 jiwa difabel fisik dan mental, dan 1.765 jiwa difabel lainnya.

Memang tak akan ada habisnya jika membahas persoalan demi persoalan. Sebab di saat bersamaan, lahir dan tumbuh inisiatif-inisiatif dan praktik baik untuk mendukung dan mengakomodir seniman difabe untuk berkarya, seperti yang dilakukan Tab Space, Karya Seni Tuli (KST), dan Selasar Sunaryo Art Space (SSAS).

Tab Space merupakan sebuah studio grafis bagi kawan-kawan difabel yang berdiri 2022. Ada 12 seniman difabel dari usia 10 hingga 40 tahun.“With the right support system, disabled artists can become professional practitioners (Dengan sistem pendukung yang tepat, seniman difabel bisa menjadi praktisi profesional),” demikian semangat yang diusung Tab Space yang tertera di laman resminya.

Pendiri Tab Space, Imaniar Rizki menyampaikan bahwa Tab Space berdiri karena ada dorongan dari seniman difabel yang ingin konsisten berkarya, didukung orang tua mereka, dan rasa penasaran Imaniar dan dua pendiri lainnya, Rizka R. Safitri dan Nurul Lathifah. Imaniar dulunya merupakan fasilitator seni untuk difabel di sebuah akademi.

“Saya pribadi melihat gambar mereka itu memang powerful, as it is. Jadi saya memang suka banget sama gambarnya. Jadi terlepas dari adanya isu sosial, itu ternyata malah yang mengikut. Ternyata dengan kita bikin begini teman-teman ini bisa punya role dalam ekosistem,” ungkap Imaniar di studio Tab Space, 8 November 2023.

Bagi sebagian artis, seni dijadikan sebagai aktivitas terapi. Makanya studio Tab Space didesain dan ditata senyaman mungkin bagi teman-teman neurodivergent. Imaniar mengungkapkan, Tab Space memfasilitasi seniman untuk berkarya dan membukakan akses. Sebab beberapa seniman konsisten berkarya dengan satu media karena belum kenal dengan media lain.

Alih-alih mengajar, Tab Space menjelma jembatan atau pembuka akses bagi para seniman untuk mencoba alat, media, maupun referensi baru. Itulah mengapa sangat penting kehadiran fasilitator seni yang mendampingi para seniman dalam proses berkarya. Kehadiran fasilitator seni adalah upaya Tab Space untuk memberikan pendamping dan pengembangan diri mereka lebih jauh. 

“Jadi keep learning itu menjadi motivasi ya kalau di Tab Space. Kita gak mau artis ini gak belajar. Jadi dia harus juga tetap improving, itu hak mereka untuk improve,” ungkap lulusan ITB ini.

Imaniar menyebutkan bahwa Kota Bandung sangat potensial untuk menumbuhkan ekosistem yang inklusif. Ada tiga pilar untuk menumbuhkan ekosistem ini, yaitu seniman konsisten berkarya dan tetap belajar, inisiatif dan eksperimen, dan kolaborasi.

“Nah, Bandung itu punya kelebihan di poin ketiga, kolaborasi. Kita itu cari kolaborator di Bandung gak sulit, ngontak casual aja dapat. Jadi itu privilege sebenarnya untuk orang Bandung,” ungkap Dosen DKV Binus University ini.

Tab Space mendorong poin pertama dan fokus menjalani poin kedua. Karya-karya seniman difabe dibawa ke pasaran dalam berbagai bentuk dan medium yang berbeda-beda. Misalnya gambar naga karya Adryan yang dijadikan enamel pin dan augmented reality. “Eksperimental adalah bensin supaya ngebul dan maju terus,” kata Imaniar.

Pada usianya yang belum genap dua tahun, Tab Space telah melakukan kolaborasi dengan berbagai organisasi maupun brand-brand ternama. Karya-karya seniman Tab Space dihargai dan dilirik oleh masyarakat yang lebih luas. Dari sini pulalah para seniman mendapatkan penghasilan, di antaranya dari konsinyasi penjualan merchandise dan atau insentif dari proyek.

Imaniar menyebut bahwa Tab Space dulunya diniatkan sebagai studio kecil yang mengakomodir seniman difabel agar konsisten berkarya. Namun, ia merasa pekerjaan rumahnya semakin besar. Tab Space harus membuka pintu-pintu baru baik bagi seniman difabel maupun organisasi yang berkepentingan.

Ia juga merasa perlu untuk memulai menjajaki pada persoalan kebijakan untuk manfaat yang lebih besar. Meski tak perlu terburu-buru. Sebab Tab Space berdiri atas dasar penghargaan terhadap karya lalu memasukkan karyanya ke pasar.

Imaniar menyebut bahwa yang dilakukan oleh Tab Space seharusnya menjadi standar minimum untuk memanusiakan manusia. Upaya setiap orang memiliki ruang berkarya yang nyaman dan aman harus selalu didukung. Tab Space mengambil peran bekerja sama dengan seniman difabel.

“Itu menurut saya adalah hal yang harusnya dirasakan oleh lebih banyak orang. Itu PR besar. Makanya kalau Tab Space ditanya goal-nya apa, ya kami penginnya dalam lima tahun ke depan gak pikir-pikir untuk menerima artis dengan background apa pun untuk bekerja di ruang Tab Space secara nyaman,” tutur Imaniar.

Tiga elemen yang disebutkan Imaniar perlu dikuatkan. Para seniman harus bergerak dan diberikan ruang untuk konsisten berkarya. Eksperimen perlu dilakukan untuk menciptakan hal-hal baru dan karya seniman diterima oleh pasar. Para kolaborator juga harus aktif untuk terus-terusan bergerak bersama. Ekosistem ini harus berjalan untuk mewujudkan seni yang inklusif.

Foto bersama di kegiatan Nongkrong Bisindo di Ruang Komunitas, Bandung, Jumat, 17 November 2023. (Foto: Virliya Putricantika/BandungBergerak.id)
Foto bersama di kegiatan Nongkrong Bisindo di Ruang Komunitas, Bandung, Jumat, 17 November 2023. (Foto: Virliya Putricantika/BandungBergerak.id)

Komunitas Produktif dan Komitmen Ruang Seni

Seni tak pernah memberi batas pada kondisi penciptanya. Maka selain menjadi hobi dan advokasi, seni merupakan ruang bertemu dan apresiasi. Demikianlah sebuah niat berdirinya komunitas Karya Seni Tuli (KST). Meski bermula dan berbasis di kampus Universitas Pendidikan Indonesia (UPI), komunitas ini terbuka untuk siapa saja, Tuli maupun Dengar. Tanpa batas.

Refina Nuraini Ultari (25), pendiri KST menyebutkan bahwa seni adalah bagian dari hidup dan apresiasi bagi penyandang difabel untuk mewujudkan mimpi. Teman-teman difabel punya hak yang sama dalam dunia seni. Komunitas ini tak hanya fokus dan terbatas pada seni lukis atau gambar. Melainkan terbuka untuk mendalami multidisiplin seni.

“Seni rupa itu visual, saya bisa melihat bentuk, gambar, grafis, jadi saya lebih nyaman untuk menggeluti bidang seni rupa. Saya lebih ke apresiasi hidup di seni rupa, merupakan seni yang mandiri dan apresiasi untuk diri saya sendiri,” ungkap Refina menggunakan bahasa isyarat Indonesia (Bisindo) yang diinterpretasi oleh juru bahasa isyarat (JBI) Adam Ferdiansyah, pendamping mahasiswa Tuli UPI, Selasa, 14 November 2023.

Refina mendirikan komunitas ini karena sebelumnya belum ada komunitas produktif teman-teman Tuli dan Dengar. KST mewadahi teman-teman Tuli dan Dengar untuk berseni, belajar bahasa isyarat, dan wadah berkomunikasi. Beberapa kegiatan rutin komunitas ini adalah nongkrong produktif sambil berseni dan belajar bahasa isyarat, serta pameran.

Mahasiswi Pendidikan Seni Rupa UPI ini membeberkan, saat ini KST sedang mempersiapkan pameran yang akan dilaksanakan 2024 mendatang bertepatan pada peringatan Hari Tuli Nasional. Tema pamerannya adalah “Merayakan Kesunyian”. Pameran ini hendak memberikan kesempatan bagi teman-teman Tuli untuk berani memamerkan karya.

Refina mengakui pihaknya kesulitan mencari lokasi ruang seni yang aksesibel untuk semua penyandang difabel. Beberapa ruang seni sudah aksesibel bagi teman-teman tuli dengan adanya poster informasi, misalnya. Sayangnya belum sepenuhnya aksesibel. JBI, braille, informasi suara, ramp, guiding blok, dan lainnya absen.

“Beberapa ruang seni sudah aksesibel bagi teman-teman Tuli dan juga disabilitas lain agar pameran ramah disabilitas dengan aksesibilitas dan adanya poster informasi. Namun di beberapa pameran telah menyediakan Juru Bahasa Isyarat (JBI), sekarang jadi kami terus-terusan advokasi kepada teman-teman Dengar untuk membuat ruang seni yang inklusif,” ungkap Refina yang juga aktif di Bisindo UPI, saat ditemui di Taman Baretty UPI.

Salah satu ruang seni di Bandung, Selasar Sunaryo berkomitmen untuk menjelma inklusif dan aksesibel. Selasar Sunaryo memulainya dengan program Open Arms yang dijalankan mulai Oktober 2022. Ide tersebut muncul bersamaan dengan penambahan fasilitas-fasilitas namun belum menyentuh kepentingan publik yang penting yaitu aksesibilitas.

Program Manager Open Arms Agung Hujatnika menyebutkan, program panjang ini dimulai dari riset. Kegiatan riset lapangan dilakukan di beberapa kota untuk melihat ruang seni, mewawancarai pengelola, lalu melihat sejauh mana mereka punya kesadaran pada persoalan aksesibilitas dan membangun fasilitas yang inklusif.

Hasil riset ini menjadi bekal untuk kegiatan diskusi kelompok terpumpun mempertemukan pihak ruang seni, pemerintah, pengelola festival, organisasi penyandang difabel, dan seniman difabel. Diskusi terpumpun itu bertujuan untuk mendengar langsung apa yang dibutuhkan dan dikeluhkan oleh para seniman disabilitas.

“Dari situ kemudian kami bikin rancangan modul yang bisa dipakai bersama oleh ruang seni di Indonesia gimana supaya minimal mulai atau merintis program, fasilitas yang inklusif lalu fasilitas yang bisa diupayakan dengan biaya yang rendah,” ungkap Agung saat ditemui pada pembukaan Seperempat Abad Selasar Sunaryo, Jumat, 10 November 2023.

Program ini lalu mengadakan beberapa workshop dengan target jangka panjang yang beragam. Ada pelatihan tentang penciptaan seni untuk seniman difabel dan fasilitator, workshop manajemen seni terkait seni rupa yang bisa dijalani sebagai karir bagi seniman difabel, materi soal ruang-ruang seni di Indonesia sebagai informasi pemberian akses, dan workshop untuk edukator.

Lalu ada pelatihan terkait bagaimana memberikan tour guide pada pameran seni menggunakan bahasa isyarat dan materi tentang etika memberikan informasi kepada beragam kawan-kawan difabel. Keseluruhan dari pelatihan dan program ini ditujukan agar adanya peningkatan persetanse pengunjung difabel ke Selasar Sunaryo, baik kuantitas maupun kualitas.

“Kalau kita bicara sasaran jangka panjangnya, idealnya mereka memang bisa berpartisipasi sebagai pekerja seni, pekerja di kegiatan seni,” lanjut Agung.

Usai pelatihan pun mereka langsung melakukan praktiek sesuai dengan materinya. Seperti pelatihan penciptaan seni yang berujung dengan pameran Lengan Terkembang atau materi edukasi langsung merupa praktik memberikan tour guide pada pameran tersebut.

Agung menegaskan, ruangan Bale Tonggoh merupakan ruang yang sudah bisa dipastikan seterusnya aksesibel dan selalu inklusif. Sisanya Selasar Sunaryo terus berbenah untuk memenuhi sarana dan prasarana yang aksesibel dan inklusif. Meskipun ia mengaku ada beberapa fasilitas yang belum bisa dipenuhi segera, seperti lift karena kebutuhan biaya yang besar.

Program Open Arms ini memang sudah usai. Namun beberapa fasilitas perlahan akan terus dibenahi. Agung juga mengaku ada keinginan untuk membawa karya-karya para seniman untuk dipamerkan ke kota-kota lain. Hal itu sebagai upaya advokasi mewujudkan ruang seni yang aksesibel dan inklusif di Indonesia.

Selain itu, Agung juga melihat perlu adanya perubahan mindset. Seniman difabel memang seharusnya diberikan kesempatan terbuka, tapi secara bersamaan juga harus fair. Artinya, untuk berpameran perlu ada proses usaha dan kurasi, alih-alih memberikan tiket emas karena kondisinya atau yang dikenal dikenal tokenism. Dalam jangka panjang tokenism akan merugikan seniman-seniman difabel. Meski untuk mewujudkan ini juga perlu waktu dan tahapan-tahapannya.

“Tapi yang harus didorong juga gimana pameran-pameran yang justru kita tidak lagi melihat perbedaan itu. Betul, pameran ya pameran aja karena karya mereka bagus bukan karena mereka misalnya difabel,” ungkap Agung.

Agung juga menekankan untuk mewujudkan ruang seni yang aksesibel dan inklusif dibutuhkan pula jejaring dan kolaborasi antarinstitusi dan antar ruang seni. Mewujudkan aksesibilitas dan inklusivitas tak bisa dijalani sendiri. Agung mendorong agar seniman-seniman “mapan” di Bandung pun turut membukakan pintu kepan teman-teman difabel untuk bekerja bersama, berkarya, dan berkolaborasi.

Baca Juga: BERSAUDARA DALAM PERBEDAAN: Kiprah Orang-orang Muda Melestarikan Seni Reak dari Bandung Timur
Niat Karla Bionics Menghapus Sebutan Difabel, Dimulai dari Pengembangan Lengan Prostesis
Mendekatkan Kawan Difabel dan Thalasemia dengan Alam

Universal Design untuk Semua Orang

Faisal Rusdi ikut memamerkan karya-karyanya di pameran Lengan Terkembang. Ia membuat tiga karya, satu lukisan, satu puisi braille, dan satu instalasi seni. Instalasinya berisi beragam alat bantu bagi difabel yang diwarnai emas, seperti kertas braille, tongkat, alat bantu dengar, kursi roda, hingga cangkang obat. Pada instalasi itu juga terdapat bola bulat, seperti yang sering ditemui di trotoar-trotoar Kota Bandung.

Faisal melambangkan warna emas pada alat bantu itu sebagai simbol bahwa alat bantu bagi difabel sangat berharga. Nilainya melebihi emas. Sedangkan bola bulat merupakan simbol penghalang mobilitas penyandang difabel. Seperti di ketahui, sejumlah trotoar di Bandung dihiasi bola-bola batu sebagai hiasan. Namun alih-alih meningkatkan aksesibilitas, bola-bola jumbo tersebut malah menyulitkan kawan-kawan difabel saat menggunakan trotoar.

Faisal Rusdi merupakan seniman sekaligus aktivis. Ia sering menyuarakan persoalan aksesibilitas dan inklusivitas di ruang publik, tak terkecuali di bidang seni. Faisal menyebut ada empat hambatan besar bagi penyandang disabilitas, yaitu asumsi, stigma, stereotip, dan diskriminasi. Kawan-kawan difabel yang menggeluti seni juga dihantui empat hambatan ini.

Namun Faisal memilih keluar, hadir ke ruang-ruang seni untuk mengadvokasi agar adanya perubahan aksesibilitas yang inklusif. Ia yang merupakan anggota AMFPA (Association of Mouth and Foot Panting Artist) pernah mengadakan pameran bersama sembilan anggota lainnya di sebuah hotel di Jakarta. Hotel dipilih karena aksesibilitasnya memadai dibandingkan ruang-ruang seni lain.

“Nah permasalahan di Indonesia itu dalam pembangunan itu kalau buruknya berjamaah, jadi seragam, gak ada yang belajar,” ungkap Faisal.

Pada pameran itu ada beberapa lukisan yang dilelang. Hasilnya lalu disumbangkan ke salah satu ruang publik untuk membenahi aksesibilitas agar ramah difabel. Faisal juga menyampaikan bahwa organisasi internasional AMFPA mendorong para seniman untuk berkarya. Penilaiannya pun dilakukan atas dasar kualitas dan kuantitas karya, bukan mengasihani.

“Saya tidak suka ketika saya pameran lalu ada yang membeli itu karena faktor kasihan. Tapi saya ingin karya-karya saya dibeli itu karena memang bagus, memang mereka suka, senang secara kualitasnya juga,” ungkap seniman yang pernah pameran tunggal 22 lukisan di Australia pada 2017.

Faisal tegas mengatakan bahwa perlu ada upaya menghindari kawan-kawan difabel “menjual” kedifabelannya. Kalaupun ada deskripsi maupun cerita singkat, tak perlu dibuat termehek-mehek atau berlebihan. Sehingga, sebisa mungkin ketika orang melihat suatu karya bukan karena kondisi senimannya, tapi memang melihat karyanya.

Sang seniman menyebut partisipasi difabel di dunia seni penting. Ruang seni seharusnya mengekspos beragam kreativitas termasuk karya seniman difabel. Faisal pun mengaku bahwa beberapa tahun ke belakangan, ruang-ruang seni di Bandung sudah terbuka dan memberi kesempatan untuk seniman difabel.

“Kalau buat saya sih ruang seni itu tempat seharusnya kita bisa secara inklusif berkolaborasi, tempat orang berkumpul membuat karya atau kegiatan yang kreatif dengan kemudahan-kemudahan yang ada di ruang seni itu, aksesibilitas,” pungkas Faisal.

Direktur Bandung Independent Living Center (Bilic), Zulhamka Julianto menerangkan bahwa seni merupakan salah satu bidang yang banyak dipilih oleh difabel. Sebab merupakan ranah terbuka dan tidak membatasi diri pada difabel untuk berkarya. Memilih menekuni seni merupakan satu langkah kawan-kawan difabel mendalami minat dan potensi yang akan membawanya pada kemandirian.

Julianto menegaskan bahwa aksesibilitas di ruang publik, termasuk di ruang seni seharusnya memenuhi konsep universal design. Dengan menerapkan universal design, tidak ada satu orang pun yang terlewatkan. Konsep ini membawa teman-teman difabel pada konsep kesamaan hak.

Dalam suatu acara maupun ruang seni, aksesibilitas bagi difabel harus disiapkan mulai dari awal masuk hingga keluar. Di ruangan seni perlu ada petunjuk informasi dengan simbol, poster, deskripsi tulisan dan huruf braille, hingga suara. Jika ada tangga, perlu pula disediakan ramp dengan kemiringan 7-8 derajat atau tidak terlalu curam agar memudahkan pengguna kursi roda. Selain itu juga perlu disediakan guiding blok, juru bahasa isyarat dan asisten kemandirian atau penata pendamping.

“Jadi diharapkan setiap pameran seni perlu adanya informasi dan sarana yang aksesibel dan ramah untuk disabilitas dari mulai hingga keluar,” ungkap Julianto ketika dihubungi melalui sambungan telepon, Kamis, 16 November 2023.

Julianto menegaskan, kawan-kawan difabel adalah bagian dari keberagaman manusia yang memiliki kesamaan hak untuk menjalani kehidupan sehari-hari. Penerapan universal design mendorong semua orang bisa mencapai tujuan yang sama. Sebaliknya, ketika difabel tidak terpenuhi haknya, maka produktivitas dan semangat yang menyala akan terpatahkan.

“Ketika menjalankan konsep universal design semua bisa merasakan hal yang sama untuk menikmati semuanya bersama-sama,” pungkasnya.

*Reportase ini terbit sebagai bagian dari kerja sama Bandungbergerak.id dan Jakatarub dalam kampanye Bandung Lautan Damai 2023

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//