BERSAUDARA DALAM PERBEDAAN: Kiprah Orang-orang Muda Melestarikan Seni Reak dari Bandung Timur
Sanggar Seni Reak Tibelat dan Juarta Putra mendekatkan seni tradisi dan kearifan lokal ke generasi muda. Menghadapi stigma, meski disambut antusias di luar negeri.
Penulis Muhammad Akmal Firmansyah21 November 2023
BandungBergerak.id – Harum dupa menyeruak mengitari Sekolah Lawang Seni Reak Tibelat, Kecamatan Cibiru, Kota Bandung. Irma duduk bersila sambil memangku kecapi. Tangannya menari di atas dawai-dawai alat musik petik tradisional itu sambil melantunkan kawih Sunda Mekar, sebuah nomor tembang buhun cianjuran yang barangkali asing bagi generasi muda saat ini.
Di dalam sanggar, anak-anak duduk melingkar. Mereka terhanyut bersama lirik-lirik merdu tembang berbahasa Sunda arkaik tersebut. Mereka memegang alat-alat musik tradisional seperti calung dan karinding.
Karishma Cahayati, demikian nama lengkap perempuan muda berkacamata tersebut, menginisiasi terbentuknya Sekolah Lawang Seni Reak Tibelat. Setiap akhir pekan, gadis 23 tahun ini mengajarkan anak-anak seni tradisi.
“Cacandran para leluhur, ciri bumi dayeuh panca tengah, lemah duhurna, lemah lengkobna, lemah padataranna, nagara mukti wibawa, perlambangna congkrang kujang papasangan,” demikian lirik “Sunda Mekar” yang dilantunkan Irma, suaranya merdu khas musik cianjuran, membawa pendengar ke masa lalu.
Tetapi peristiwa di sanggar itu terjadi di masa kini, di pinggiran Bandung timur yang mulai padat dengan permukiman kaum urban. Karisma pun mengenakan pakaian kekinian dengan sentuhan tradisi, memakai kain bercorak batik dan kaos hitam diikatkannya pada badan, pakaian berwarna hitam dengan tulisan bahasa Sunda buhun.
Setelah berkawih, Kharisma mengenalkan anak-anak pada alat-alat musik tradisional. Ia bercerita dan mengajak murid-muridnya berdiskusi. Selanjutnya mereka meluap dalam pelajaran kreatif bebas. Disebut bebas, karena Kharisma mempersilakan anak-anak didiknya untuk berkreasi masing-masing.
Yuda (9 tahun), salah seorang bocah yang semangat mengikut Sekolah Lawang yang diasuh Karisma, sibuk membuat kerajinan (crafting). Pelajaran ini sengaja diberikan untuk melatih motorik anak-anak dan berkarya. Yuda sendiri membuat pistol-pistolan. “Ini membuat pistol,” sahut Yuda, lugu, saat ditemui BandungBergerak.id, Minggu, 22 Oktober 2023.
Yuda berasal dari Cinunuk, Kabupaten Bandung. Anak yang memakai ikat kepala batik khas Sunda ini sengaja datang untuk belajar bersama paman-pamannya dari Kelompok Seni Reak Sukma Pusaka Cinunuk. Mereka bermaksud mendalami seni reak kepada Abah Enjoem, seniman reak sekaligus pendiri Sanggar Seni Reak Tibelat. Sekolah Lawang sendiri bagian dari Sanggar Seni Reak Tibelat.
Yuda kecil besar dari lingkungan yang di mana kesenian reak ini lestari. “Sering ikut lihat seperti ke Juarta Putra, kalau di Cinunuk,” cerita Yuda, merujuk pada kelompok seni reak Juarta Putra yang juga berasal dari Bandung timur.
Menurut Kharisma, setiap pelajaran di sekolah Lawang diasuh oleh fasilitator. Setiap fasilitator bertugas menularkan pengetahuan sesuai dengan kemampuan mereka. Kharisma, misalnya, mengajarkan kawih Sunda dan permainan kecapi.
Pelajaran yang diberikan pada anak-anak di Sekolah Lawang terbilang unik. Selain musik tradisi, ada pelajaran nabeuh (memainkan alat musik secara bersama-sama atau kelompok), pelajaran membuat makanan tradisional seperti ranginang (rengginang), hingga pengolahan sampah organik.
“Kalau nabeuh (memainkan alat musik Seni Reak) itu sama Abah (Abah Enjoem). Terus membuat ranginang biasanya sama ibu-ibu, pengelolaan sampah organik juga sama ibu-ibu (fasilitatornya),” terang Kharisma.
Melalui pelajaran-pelajaran tersebut, anak-anak Sekolah Lawang mengenal kesenian dan kebudayaan lokal. Dari situ diharapkan tertanam nilai-nilai yang membentutk karakter mereka. Mereka mengenal alat musik tradisional sekaligus tahu makanan tradisional dan cara mengolah sampah makanan. Semuanya menjadi lingkaran kehidupan.
Menanamkan Nilai-nilai Kebudayaan dan Kesenian
Pada awalnya, Sekolah Lawang bernama Sekolah Santun yang didirikan pada 2019. Kharisma menuturkan, sekolah ini dibentuk atas dorongan Abah Enjoem yang tidak lain ayahnya. Tujuannya Sekolah Lawang untuk mengabdi kepada masyarakat.
Tinggal di wilayah urban yang amat terpengaruh perkembangan teknologi membuat Karisma resah. Mahasiswa Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Bandung ini melihat anak-anak sekarang sangat tergantung pada gawai. Kecanduan gawai membuat mereka kurang produktif.
“Abah selalu dorong aku untuk menebarkan ilmu ke masyarakat, mengabdi ke masyarakat. Kemudian mencari masalahnya, melihat dulu anak-anak kegiatannya itu seneng ngapain. Banyaknya anak-anak yang main gadget, main game, peningkatan belajarnya juga jadi turun,” tutur Kharisma.
Tak berhenti di sana, dia juga khawatir tersingkirnya kesenian tradisional, termasuk seni reak, di tengah perkembangan zaman. Reak adalah kesenian tradisional yang berkembang di Bandung timur. Seni tradisional ini terdiri dari dogdog, kuda lumping, dan bangbarongan atau topeng barong.
Beberapa masyarakat ada yang memandang reak sebagai seni urakan. Mungkin karena kesenian ini banyak dimainkan di jalan dan para pemainnya kerap kesurupan atau trans. Kharisma cemas padangan miring masyarakat pada seni reak akan membuat kesenian ini terasing.
Kharisma lantas berusaha mengenalkan seni reak pada anak-anak dengan cara memadukan pelajaran-pelajaran di Sekolah Lawang dengan pelajaran-pelajaran di sekolah formal. Dengan demikian diharapkan terjadi pengenalan dan regenerasi, juga penanaman nilai-nilai kearifan lokal.
“Mengembalikan nama baik seni reak menanamkan nilai-nilai dan karakter karena kita butuh regenerasi dari seni reak ini,” ungkap Karmila.
Metode yang dipakai Sekolah Lawang pun menyenangkan karena mengadopsi konsep permainan. Permainan-permainan dari budaya Sunda beheula yang disebut kaulinan diperkenalkan kembali. Kharisma ingat betul dulu relawan di sekolah Lawang tak begitu banyak, hanya dirinya, dibantu Abah Enzoem, dan adiknya, Karmila (20 tahun).
Berbagai fasilitas seperti papan tulis pun dulu belum ada. Mereka memanfaatkan barang-barang seadanya untuk dijadikan alat pembelajaran.
“Kaulinan zaman dulu yang mulai ditinggalkan seperti oray-orayan kita kenalkan kembali. Metodenya adalah bermain, hakikatnya adalah bermain. Dikemas menjadi permainan kaulinan barudak,” ujar Kharisma.
Kharisma yang saat ini berprofesi guru di sekolah dasar, membawa kurikulum merdeka pada pembelajaran di Sekolah Lawang. Baginya, anak harus selamat dan bahagia. Alat pembelajaran pun mengikuti pemikiran anak-anak yang bebas. Mereka misalnya menggunakan kardus bekas sebagai bahan kerajinan.
“Kurikulum merdeka itu mengajari anak-anak untuk bahagia, apa pun bisa dijadikan oleh anak-anak menjadi karya seperti membuat crafting,” jelasnya.
Tak hanya itu, Kharisma menjadikan tradisi sasajen (sesaji) sebagai bagian dari pembelajaran. Ada nilai-nilai kebajikan di balik praktik sasajen yang kini nyaris punah. Mengajari anak-anak mengenai sasajen tentunya bukan mengajari mereka agar menjadi dukun seperti yang distigmakan sebagian masyarakat.
“Sebenarnya kita mengambil nilai-nilai lama yang hilang dari masyarakat,” beber Kharisma.
Di dalam sasajen terdapat berbagai jenis hasil alam, mulai dari pisang, kelapa, kumpulan bunga, kembang setaman, umbi-umbian, telur ayam kampung, air kopi, air teh, serta air putih. Kelapa, kata Kharisma, memiliki banyak manfaat, mulai dari buahnya, ranting, dahan, hingga akarnya. Kelapa menyimbolkan kehidupan manusia yang merupakan bagian dari alam, setiap unsurnya memiliki nilai-nilai kebaikan.
Begitu pun dengan seni reak yang menjadi pelantara anak-anak untuk mengenal kebaikan dan sopan santun. Di dalam seni reak pemainnya sering teriak-teriak sebagai respons dari setiap nada dan irama yang keluar dari alat-alat musik yang dimainkan oleh.
“Dari reak, kenapa suka teriak-teriak, sopan gak kalau orang-orang teriak, engga. Bagaimana memanggil yang baik, bagaimana mengobrol dengan orang tua yang baik, dikontekstualkan dengan kehidupan,” ceritanya.
Baca Juga: Festival Balad 2023: Ngaler, Ngidul, Ngulon, Ngetan
Hari Toleransi Internasional, Refleksi Bandung Lautan Damai
Mengurangi Konflik Keberagaman di Bandung dengan Dialog dan Mendengarkan
Saat ini, murid Sekolah Lawang berjumlah 20 anak terdiri dari anak sekolah dasar, sekolah menengah pertama, dan sekolah menengah atas. Pembagian pelajaran disesuaikan dengan usia. Anak yang lebih tua ditugaskan sebagai fasilitator bagi adik-adik kelasnya.
Penunjukan fasilitator dilakukan berdasarkan kriteria bahwa mereka sudah bisa mengembang tugas tersebut. “Karena penanaman nilai baik dan salah mereka sudah tahu masing-masing, makannya kita jadikan mereka sebagai fasilitator,” ucap Kharisma.
Di luar Sekolah Lawang, Kharisma juga mengibarkan seni reak. Ia menjadikan seni reak sebagai objek penelitian tugas akhir untuk memperoleh gelar sarjana di UPI. Selain untuk mengenalkan seni reak, ia ingin menghapus stigma yang melekat pada seni reak.
“Hariwang, kalau reak terus diginiin, masyarakat memandang dan menstigma seni reak sebagai seni yang ga jelas dan urak-urakan nanti akhirnya banyak kalangan yang menutup akses seni reak, entah alasan apa pun. Terus nanti, anak-anak kita gak akan tahu, generasi kita gak tahu. Padahal reak mengajarkan kebaikan,” kata Kharisma.
Salah satu nilai kebaikan dari seni reak adalalah kerja sama. Antarsatu pemain dengan pemain lainnya memiliki peran masing-masing agar bisa memainkan seni reak. Sebagai contoh, pemain kecrek. Walau alat musik yang di pegang terbilang sederhana, yakni kecrek, tetapi tetap memiliki peran penting dalam permainan seni reak. “Kalau gak ada kecrek-an pasti gak akan enak mainnya,” kata Karisma.
Persoalan sampah juga menjadi pendekatan untuk mengenalkan nili-nilai yang ada pada seni reak. Seni reak merupakan seni yang berasal dari alam sehinga keberlangsungannya harus selaras dengan alam. Kesenian ini lahir dari masyarakat agraris sebagai bagian dari ritual memindahkan pare atau padi.
Di saat yang sama, Bandung menghadapi darurat sampah. Dalam kondisi ini, Sekolah Lawang menjadikan pengolahan sampah sebagai bagian dari mata pelajaran bagi siswanya. Dengan demikian, minimal pemain reak atau murid sendiri paham tentang cara pemilahan sampah.
Kehadiran Sekolah Lawang tak bisa dipisahkan dari Sanggar Reak Tibelat Padepokan Bumi Ageung Saketi yang didirikan Abah Enjoem. Padepokan ini menjadi induk dari tempat pewarisan seni reak pada generasi muda, sekolah pendidikan karakter melalui Sekolah Lawang, ritus, dan pusat penelitian pengembangan seni reak.
Dalam hal ini, Padepokan Bumi Ageung Saketi bekerja sama dengan Universitas Katolik Parahyangan (Unpar), Bandung. “Nah, dugi ka ayeuna, anu kolaborasi konsisten yaitu Unpar. Di tahun 2019 sampai sekarang,” kata Abah Enjoem.
Bentuk kolaborasi tersebut mengenai kajian hubungan Pancasila dengan seni reak, literasi Pancasila di dalam kesenian reak, pendidikan karakter anak-anak melalui permainan board game dengan narasi seni reak, dan lain-lain.
Dari Bandung Timur ke Eropa
Seni reak sering dipentaskan di wilayah Bandung timur mulai dari Ujung Berung, Cinunuk, Cileunyi, dan sekitarnya. Kesenian ini biasa tampil di acara hajatan seperti pernikahan dan khitanan, arak-arakan hiburan desa, dan sebagainya.
Warga yang menyaksikan kesenian ini akan dihadapkan pada ketukan kendang, kecrik, terompet, yang mengiringi kawih-kawih Sunda yang mewarnai seni reak. Para pemainnya menari, berteriak, dan tertawa sampai ada yang kasurupan. Semua itu bagian dari ekspesi yang muncul dari seni reak.
Di Cinunuk, komunitas yang konsisten membawakan seni reak adalah Kelompok Seni Reak Juarta Putra. Jumat, 27 Oktober 2023, para pemain Juarta Putra sedang berlatih di halaman rumah Anggi Nugraha, orang muda yang aktif mengenalkan seni reak hingga ke mancanegara. Suara trumpet terdengar nyaring mengiringi ketukan gendang dan dogdog.
Rupanya mereka sedang latihan nabeuh. Puluhan anak-anak dan orang tua melihat mereka latihan. Di antara para pemain terdapat Luigi (31 tahun), orang Italia yang sedang menuntaskan pendidikan S2 mengenai etnografi musik di salah satu universitas di Bandung.
Luigi antusias ikutan nabeuh. Ia ikut berteriak sambil memainkan alat musik kecrek yang sudah ia kuasai. Ia menikmati perannya bekerja sama dengan para pemain alat musik lainnya seperti terompet dan dogdog.
“Tos lami abi tara kadieu. Biasana rajin,” kata pria berperawakan tinggi itu dalam bahasa Sunda dengan aksen Italia.
Kehadiran Luigi dalam latihan Juarta Putra tentu menarik perhatian warga sekitar. Warga juga sudah biasa dengan keriuhan seni reak di rumah Anggi Nugraha. Bagi warga, lantunan musik tradisi ini menghangatkan suasana kampung.
“Henteu ka ganggu mah. Malah sepi kalau gak ada yang latihan itu,” kata Esa (60 tahun), seorang ibu yang menjadi tetangga Anggi Nugraha.
“Iya, ini baru sekarang latihan lagi, udah lama. Haneuteun justru kalau ada yang latihan tuh, di sini mah udah biasa,” sahut ibu yang lain, Epon (63 tahun).
Warga semakin antusias menyaksikan hiburan gratis tersebut. Beberapa penonton masih bersaudara dengan pemain. Suara dogdog semakin kencang temponya, diimbangi dengan tiupan terompet melengking-lengking.
“Engga reak, gak gaul sekarang mah,” ucap Anggi Nugraha, setengah berseloroh, kepada BandungBergerak.id.
Lelaki 24 tahun tersebut merupakan pentolan kelompok reak Juarta Putra. Anggi merupakan bagian dari kelompok seni reak yang pernah tampil di Eropa, tepatnya di Roskilde Festival, Denmark, 2 Juli 2022.
Dia pemuda yang konsisten mengenalkan seni reak melalui pertunjukan dan edukasi. “Gak reak, gak gaul,” merupakan ungkapan yang dipakai Anggi untuk mengenalkan seni rea pada orang muda khususnya di wilayah Bandung timur. Dengan begitu orang muda antusians melestarikan dan merawat kesenian reak.
“Sekarang anak muda sedang hangat-hangatnya berkesenian reak, hits. Walaupun masih terus harus diarahkan,” ungkap Anggi.
Anggi sebagaimana pemuda Bandung timur lainnya besar di lingkungan kesenian, mulai dari reak, benjang, hingga sandiwara. Faktor lingkunganlah yang menjadi alasan mengapa ia konsisten berkesenian.
“Faktor lingkungan dari SD sampai SMP hingga sekarang apa pun tren musik yang sedang ramai, saya gak gengsi di kesenian reak,” tutur Anggi.
Reak merupakan warisan leluhur. Kesenian ini sebagai ritual setiap musim panen pare di wilayah Manglayang, sebagai wujud syukur ke Nyimas Sri Dewi Pohaci.
“Di Manglayang dulu kan Ujung Berung itu tak hanya itu, tapi luas. Nah reak ini sebagai wujud syukur, biasanya pas panen raya,” terang Anggi.
Abah Juarta merupakan tokoh legendaris reak Bandung Timur. Dia disebut-sebut sebagai pendiri kesenian reak di Ujung Berung. Pada 1982, Abah Juarta memiliki kelompok seni reak bernama Juarta Putra. Anggi merupakan pewaris yang kesekian.
“Hingga sekarang berarti 40 tahunan (kelompoknya) ada,” beber Anggi.
Anggi teguh ngiggelan dan ngegelan zaman. Ia mengenalkan reak menggunakan metode-metode kekinian. Misalnya, pemain nabeuh di Juarta Putra memakai pakaian seperti yang biasa dikenakan anggota klub motor. Ia mengenalkan reak bukan hanya di acara-acara hajatan melainkan di café-cafe dan mal yang ia sebut reak invasion.
Anggi yakin reak bisa dikolaborasikan dengan apa saja. Reak invasion merupakan pengenalan seni reak ke masyarakat luas. Melalui program ini, masyarakat mendapatkan edukasi tentang sejarah reak, sharing session, nonton film, dan lain-lain.
“Pada intinya, reak ini bukan sekadar pertunjukan tapi juga ada unsur seni lainnya seperti musik, tari, dan teatrikal,” jelas Anggi.
Anggi menjelaskan kasurupan versi Reak Invasion. Menurutnya, tak semua orang bisa kasurupan. Di sisi lain, orang tidak bisa semena-mena mengharamkan atau memusyrikan kasurupan.
“Tidak semuanya bisa kasurupan. Yang terjadi itu ekspresi urang, di urang (seni reak) dikontrol, hawa nafsu dicepeng. Karena meluapkan amarahnya itu di situ, keluar itu teh, dan biasanya nanti ada maalim itu pawangnya (kasurupan),” jelas Anggi.
Setiap malam Jumat, Anggi melakukan ritual nyungguh pada elemen-elemen reak seperti bangbarongan dan komponen lainnya. Ritual ini dilakukan di antaranya untuk menjaga alat-alat musik dari kesenian reak itu sendiri.
“Anu disungguh teh alatna, barong juga sama, disugguh di sana ada sasajen. Sasajen itu kan artinya sastra jendra, ilmu anu memang orang menilainya jelek karena tidak bisa membacanya. Di sana ada menyan, maksudnya kan alat-alat tersebut rentan hama karena terbuat juga dari kayu makannya dikasih menyan,” paparnya.
Anggi membawa kesenian reak dari pinggiran Bandung timur ke Denmark. Di benua biru mereka mendapat sambutan dan antusiasme luar biasa.
“Ceritanya panjang. Kami tampil mulai menginjak bandara di sana sampai di pertunjukan panggung megah disambut dengan meriah,” cerita Anggi.
Baginya, seni reak bisa dinikmati oleh siapa saja. Ia bahkan menjadi media relaksasi bagi siapa saja yang menikmatinya.
“Najan musikna gandrung, tapi bikin orang enjoy. Reak bukan musik setan tapi bisa membuat kita menjadi obat,” ucap Anggi.
Hal itu ia lihat dengan mata kepalanya sendiri. Ia merasakan bagaimana orang-orang bule di negeri orang menikmati musik reak. Namun begitu ia kembali ke tanah air, tak ada sambutan yang meriah, tak ada aspresiasi dari pejabat daerah.
“Yang menyambut itu keluarga kami. Kami juga sendiri yang menggelarkan syukuran,” jelas Anggi.
*Reportase ini terbit sebagai bagian dari kerja sama BB dan Jakatarub dalam kampanye Bandung Lautan Damai 2023