• Nusantara
  • Survei LSI tentang Toleransi Jawa Barat: Pemprov Perlu Memperhatikan Potensi Kekerasan

Survei LSI tentang Toleransi Jawa Barat: Pemprov Perlu Memperhatikan Potensi Kekerasan

Mayoritas warga Jawa Barat menolak kekerasan ekstrem atas nama agama. Survei LSI menemukan masih ada kelompok masyarakat yang mendukung kekerasan.

Ratusan murid perwakilan dari 70 SMP di Kota Bandung menghadiri Ikrar Toleransi Pelajar Pancasila di Taman Dewi Sartika, Selasa (31/1/2023). (Foto: Prima Mulia/BandungBergerak.id)

Penulis Iman Herdiana9 Juni 2023


BandungBergerak.idSecara umum mayoritas warga Jawa Barat menolak kekerasan ekstrem oleh kelompok-kelompok tertentu. Meski demikian, ditemukan masih ada kelompok masyarakat yang mendukung kekerasan ekstrem, seperti ingin ikut berperang atas nama agama ke negara-negara konflik.

Demikian temuan Ketua Peneliti Lembaga Survei Indonesia (LSI) Rizka Halida dalam Diseminasi Hasil Survei Nasional LSI: Kekerasan Ekstrem, Toleransi dalam Kehidupan Beragama di Jawa Barat. Suvei dilakukan 16 - 29 Mei 2022.

"Mayoritas masyarakat Jabar menolak kekerasan ekstrem, namun juga masih ada kelompok masyarakat yang mendukung kekerasan ekstrem, seperti ingin ikut berperang atas nama agama ke negara-negara konflik," kata Rizka di Kota Bandung, dikutip dalam siaran pers, Kamis (8/6/2023).

Rizka juga menyebutkan, dari hasil survei berdasarkan kelompok umur, kebanyakan responden yang setuju kekerasan ekstrem dengan alasan membela agama dari kalangan kelompok umur remaja. Sedangkan kelompok umur dewasa dan lebih tua lagi tidak setuju.

"Data dari kalangan remaja yang setuju kekerasan ekstrem atas nama agama bisa mencapai 45 persen, makanya perlu dijadikan catatan penting dan perhatian terutama dari pemerintah, bahwa potensinya ada," ujar Rizka.

Tahun Politik

Menyinggung tahun politik, Rizka menjelaskan bahwa pada 2019 tingkat intoleransi meningkat, tetapi di tahun 2022 menurun. Namun perlu diwaspadai dengan potensi tersebut di tahun 2024 bisa naik kembali.

"Bisa naik kembali, tapi dengan catatan, jika tidak ada langkah-langkah yang dibuat oleh pemerintah maupun masyarakat untuk mencegah timbulnya intolrensi," terangnya.

Dalam kesempatan yang sama, Kepala Badan Kesatuan Bangsa dan Politik (Kesbangpol) Jabar Iip Hidajat, optimis di tahun politik 2024, pemilu di Jabar akan berjalan aman dan lancar.

"Dari pengalaman pemilu sebelumnya yang tidak ada konflik, lalu semakin bertambahnya kecerdasan dan pemahaman masyarakat di Jawa Barat tentang politik dan keragaman, maka saya optimis pemilu akan berjalan aman dan lancar," ujar Iip.

Pihaknya juga selama ini rutin melakukan kegiatan-kegiatan untuk mencegah terjadinya intoleransi atas nama agama dan kesukuan, di antaranya dengan menggelar dialog para pemuda dari berbagai agama dan suku.

"Setiap tahun kita lakukan, di antaranya dengan menggelar kemah kebangsaan, yang di dalamnya diisi dengan dialog, game motivation building , dan lain-lain. Hal itu dilakukan agar kondisi nyata keberagaman di Jawa Barat ini bisa dipahami secara komprehansif dan disikapi dengan bijak," pungkas Iip.

Baca Juga: Memperkuat Narasi dan Praktik Toleransi dengan Karya Seni
Memupuk Toleransi Antar Umat Beragama dengan Konfirmasi dan Verifikasi Prasangka
Merawat Asa Toleransi Bersama Pendeta di Jamika

Refleksi Pancasila

Isu toleransi juga menjadi refleksi di Hari Pancasila kemarin. Direktur Eksekutif Setara Institute Halili Hasan melalui pernyataan resminya menyatakan, kita mesti merefleksikan secara sangat serius bahwa Pancasila sering dikalahkan, dalam berbagai kasus intoleransi dan secara umum pelanggaran kebebasan beragama/berkeyakinan (KBB). Intoleransi terus mengalami peningkatan dan pelanggaran KBB terus terjadi. “Di samping itu, hak asasi manusia yang mendapatkan afirmasi spesifik dalam Sila Kedua Pancasila juga masih berada pada situasi belum ideal,” demikian dikutip dari laman resmi Setara Institute, Jumat (9/6/2023).

Dalam catatan Setara Institute, sepanjang Mei 2023 di Indonesia terjadi beberapa peristiwa intoleransi dan pelanggaran KBB, yaitu pembubaran ibadah yang dilakukan oleh beberapa kelompok masyarakat terhadap jemaat Gereja Mawar Sharon (GMS) Binjai pada Jumat, 19 Mei 2023 di Kelurahan Satia, Kecamatan Binjai Kota, Kota Binjai, Sumatera Utara.

Berikutnya, pembubaran ibadah di Gereja Bethel Indonesia (GBI) Gihon pada hari yang sama di Kelurahan Sidomulyo Timur, Kecamatan Marpoyan Damai, Kota Pekanbaru, Riau. Lalu di Jawa Barat, terjadi pembubaran aktivitas pendidikan Agama Kristen di Gereja Bethel Indonesia (GBI) pada 28 Mei 2023 di Desa Cilame, Kecamatan Ngamprah, Kabupaten Bandung Barat.

Kemudian Setara Institute mencatat pembakaran balai pengajian milik Muhammadiyah di Desa Sangso, Kecamatan Samalanga, Kabupaten Bireuen pada Selasa (30/5/2023), yang sebelumnya diawali terjadinya penolakan pembangunan masjid Taqwa Muhammadiyah di desa setempat.

“Situasi semakin mencemaskan jika menilik data riset terbaru Setara Institute di mana intoleransi remaja berbasis sekolah menengah atas semakin meningkat,” kata Halili Hasan.

Dalam survei terbaru Setara Institute di lima kota terpilih pada Januari-Februari 2023, jumlah pelajar intoleran aktif di sekolah tingkat menengah atas (SMA) dan sederajat meningkat dari 2,4 persen pada survei isu yang sama pada 2016 menjadi 5,0 persen. Sementara yang terpapar ekstremisme kekerasan juga meningkat dari 0,3 persen pada survei 2016, menjadi 0,6 persen pada survei tahun 2023.

Metode pengumpulan data survei toleransi tingkat SMA dilakukan di dua kota di Jawa Barat, yakni Bandung dan Bogor, kemudian di Surabaya, Surakarta, dan Padang. Metode purposive sampling digunakan untuk menentukan sekolah-sekolah yang dituju. Jumlah sampel yang sebanyak sebanyak 947 dengan margin of error 3,3 persen pada tingkat kepercayaan 95 persen. Penelitian ini diselenggarakan pada Januari-Maret 2023.

Fenomena umum tersebut mengundang perhatian besar pemerintah dan masyarakat untuk bersama-sama secara bergotong royong mengatasi persoalan. Refleksi serius juga mesti dilakukan, terutama oleh pemerintah, pada hari lahir Pancasila dan bulan Pancasila 2023 ini. Berkenaan dengan hal itu, SETARA Institute menyampaikan beberapa poin pernyataan sebagai berikut:

Pertama, Setara Institute mengecam keras terjadinya berbagai peristiwa intoleransi dan pelanggaran KBB, terutama pembiaran yang dilakukan oleh negara, pemerintah pusat, dan pemerintah daerah. Berbagai peristiwa intoleransi dan berbagai pelanggaran KBB atas minoritas setempat dapat dan harus dicegah serta diselesaikan dengan baik hanya jika pemerintah mengambil peran proaktif dan tidak tunduk kepada tekanan kelompok-kelompok intoleran. Dalam berbagai peristiwa intoleransi dan pelanggaran KBB, nilai-nilai Pancasila, khususnya Sila Kesatu, lebih sering dikalahkan dan dikorbankan justru oleh aparatur negara sendiri.

Kedua, meningkatnya level intoleransi dan keterpaparan ekstremisme kekerasan generasi muda, dalam pandangan Setara Institute, menunjukkan masih rendahnya kinerja pembumian dan aktualisasi nilai-nilai Pancasila. Kinerja kelembagaan dan aktualisasi Pancasila dalam kehidupan bernegara, berbangsa, dan bermasyarakat patut dipersoalkan.

Perlu substansiasi pada program-program pembinaan dan implementasi Pancasila yang diselenggarakan oleh Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP), Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Kemdikbudristek), Kementerian Agama (Kemenag), dan Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) di tiga pusat (tri sentra) pendidikan, yaitu lembaga pendidikan, keluarga, dan masyarakat. Dalam pandangan Setara Institute, kinerja pembinaan dan impelementasi Pancasila di kalangan anak muda lebih banyak bersifat simbolik dan festivalis.

Ketiga, Setara Institute mengapresiasi setinggi-tingginya kinerja beberapa kota dan pemerintah daerah yang telah menunjukkan antusiasme dan kinerja konkret dalam mempraktikkan dan mempromosikan toleransi di daerahnya masing-masing. Namun demikian, dalam studi Indeks Kota Toleran, kami menemukan bahwa masih banyak Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) yang tidak memiliki visi Pancasila dan tidak menjadikan toleransi sebagai standar kinerja pemerintah kota dan pemerintah daerah secara umum. Di samping itu, di tingkat pemerintah pusat juga terdapat kecenderungan masih tingginya ego-sektoral antar kementerian dan lembaga serta kecenderungan tertutup dari partisipasi bermakna masyarakat sipil.

Keempat, dalam pandangan Setara Institute, implementasi Pancasila harus selaras dengan perbaikan situasi pemenuhan, penghormatan, dan pemajuan hak asasi manusia. Tidak ada keraguan, Sila Kedua Pancasila telah secara spesifik memberikan afirmasi bahwa tata kelola pemerintahan negara harus berbasis pada kemanusiaan yang adil dan beradab.

Hak asasi manusia mesti menjadi standar dalam tata kelola pemerintahan negara. Semakin tinggi penghormatan negara terhadap hak asasi manusia, akan semakin tinggi juga apresiasi rakyat terhadap keseriusan negara dalam mengimplementasikan nilai-nilai Pancasila dan akan semakin besar dukungan publik terhadap Pancasila.

Dalam konteks itu, pemerintah mesti mengambil tindakan yang presisi untuk mengatasi persoalan-persoalan riil yang dapat merusak dukungan publik terhadap Pancasila, antara lain dengan melakukan evaluasi serius terhadap kebijakan atau regulasi yang problematik, misalnya, Peraturan Bersama Menteri 2006 tentang pendirian rumah ibadah yang nyata-nyata memicu terjadinya intoleransi, diskriminasi dan persekusi.

Kelima, dalam pandangan Setara Institute, partisipasi substantif masyarakat sipil dan swasta merupakan elemen krusial dalam mengimplementasikan nilai-nilai Pancasila. Dalam kerangka itu, pemerintah, swasta, dan elemen masyarakat sipil, termasuk ormas keagamaan, mesti berkolaborasi dan membangun sinergi strategis (strategic public-private partnership) dalam mengimplementasikan nilai-nilai Pancasila. Kerja-kerja swasta dan masyarakat sipil merupakan pilar penopang penting ketika nilai-nilai Pancasila justru ‘dikalahkan’ atau untuk melakukan pendidikan publik yang lebih luas agar nilai-nilai Pancasila semakin dikuatkan.

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//