Mengenalkan Reak pada Anak-anak dengan Ngariung di Sakola Lawang
Sakola Lawang Sanggar Reak Tibelat digagas Padepokan Bumi Ageung Saketi untuk menjadi sarana dan wadah bagi anak-anak mengenal budaya Reak Dogdog khas Sunda.
Tim Pengabdian Unpar – Hibah Dikti
Angelique I., Eleonora K., Kristining S., Willy D., Syayu S.
20 September 2023
BandungBergerak.id – Tanpa kita sadari, perkembangan teknologi dapat memberikan dampak buruk bagi kita seperti masyarakat yang cenderung individualis, penurunan tingkat produktivitas masyarakat, dan rasa tidak peduli terhadap lingkungan sekitar. Hal ini tentu menjadi kekhawatiran bagi beberapa pihak, terutama Abah Enjoem (Enjang Dimyati), sesepuh Padepokan Bumi Ageung Saketi.
Menurut Abah Enjoem, saat ini anak-anak lebih sering menghabiskan waktunya di depan layar dan menjadi lebih malas bergerak (mager). Tingkat produktivitas anak-anak kian menurun seiring mereka lebih sering berinteraksi dengan gadget, bahkan nilai moral dan sopan santunnya pun mulai memudar. Hal ini dipengaruhi akibat konten-konten yang memiliki unsur eksplisit, tidak senonoh, tidak sesuai umur, bahkan kurang mendidik terutama bagi anak-anak dan remaja di masa pertumbuhan.
Konten-konten tersebut secara tidak langsung memengaruhi dan mengajarkan pola komunikasi yang buruk pada lingkaran bermain anak-anak dalam tutur kata, baik terhadap sesama maupun orang tua. Selain Abah Enjoem, sang anak, Teteh Kharisma Cahayati yang menempuh studi Pendidikan Guru Sekolah Dasar juga merasakan keresahan yang sama mengenai pengaruh buruk dari perkembangan teknologi yang semakin marak.
Melalui kegiatan ngariung (berkumpul bersama), para pengurus Padepokan Bumi Ageung Saketi berbagi keresahan dan bertukar ide untuk menemukan solusi dari keresahan yang mereka rasakan. Pada 2019, dibentuklah Sakola Lawang, sebagai salah satu upaya pencegahan terhadap pengaruh buruk dari perkembangan teknologi, sekaligus untuk meningkatkan produktivitas di kalangan anak-anak dan remaja. Bisa dikatakan, ngariung secara tidak langsung menjadi sarana inisiator dari terbentuknya Sakola Lawang, sekaligus membangun kebiasaan mengenal kebudayaan Sunda lebih intens.
Baca Juga: Ronggeng Pangandaran yang Lestari di Desa Cintakarya
Menjaga dan Melestarikan Budaya Reak Melalui Media Digital
Padepokan Bumi Ageung Saketi, Budaya Sunda, dan Modernisasi
Sakola Lawang
Bertempat di Sanggar Reak Tibelat, Sakola Lawang selalu mengadakan kegiatan rutin bersama anak-anak dan remaja pada akhir pekan. Kegiatan ini mengajak anak-anak untuk menghabiskan waktunya dengan mengenal tradisi kebudayaan khas Sunda dengan bermain dogdog serta bermain permainan tradisional seperti ucing-ucingan.
Sakola Lawang menjadi sarana dan wadah bagi anak-anak dalam mengembangkan skill atau kemampuan yang mereka miliki dalam bermusik sekaligus melestarikan budaya Reak Dogdog khas Sunda. Perlu diketahui juga, dogdog adalah salah satu alat musik perkusi tradisional Sunda yang sering digunakan untuk mengiringi pertunjukan Reak. Padepokan Bumi Ageung Saketi berada dalam Lingkung Seni Reak Tibelat, yang terkenal dengan Kesenian Reak Dogdog. Dalam Kesenian Reak terdapat lima jenis dogdog yaitu, dogdog tilingtit, dogdog tong, dogdog brung, dogdog dublag, dan bedug. Beberapa dimainkan dengan cara dipukul menggunakan panakol atau dipukul menggunakan tangan.
Kebudayaan Sunda satu ini tentunya sarat akan makna dan filosofi. Melalui dogdog, Generasi Z dan Generasi Alpha diajak agar selalu ingat untuk menjaga hubungan secara vertikal dengan Maha Pencipta. Makna dogdog pun tidak kalah dengan makna dari ngariung itu sendiri, sebagai penyebab munculnya ide untuk menyelenggarakan Sakola Lawang.
Tak hanya kemampuan memainkan dogdog, anak-anak juga dibekali dengan pembelajaran mengenai nilai moral dan sopan santun terhadap sesama. Hal ini terbukti ketika anak-anak dengan antusias menyambut tamu dari Tim Pengabdian Unpar pada tanggal 26 Agustus 2023, dengan mencium tangan dan menyajikan makanan di hadapan para tamu. Beberapa aktivitas sederhana ini memberikan pemahaman khusus kepada anak-anak bahwa belajar kesenian juga tak lepas dari nilai-nilai filosofis yang luhur, salah satunya dengan menjamu tamu dan menghormati tamu.
Tidak berhenti sampai di situ, anak-anak juga diajarkan untuk mengenal lingkungan melalui pembelajaran ekologi dengan membuat sesajen dan memahami nilai-nilai filosofis dari setiap ornamen sesajen. Bahwa sesajen bukan sekedar ornamen, melainkan bahan yang digunakan untuk membuat sesajen yang didapatkan dari alam seperti kelapa yang diambil langsung dari alam sekitar dan harus tetap dilestarikan. Dengan cara itu anak-anak di sanggar tetap diajarkan makna yang terkandung dalam sesajen serta bagaimana menjaga keberlangsungan bahan-bahan sesajen agar selalu dapat tersedia.
Sakola Lawang dikatakan berhasil merebut atensi anak-anak dari gadget, bahkan di masa libur sekolah anak-anak lebih memilih untuk menghabiskan waktunya bermain dan belajar bersama di Sanggar Reak Tibelat. Antusiasme dan semangat anak-anak sekitar Manisi, Kampung Jati, Cibiru menjadi salah satu penyemangat Abah Enjoem dan pengurus Padepokan Bumi Ageung Saketi untuk mempertahankan kebiasaan ngariung, bermain, dan belajar bersama setiap akhir pekan, sesuai dengan motto Sakola Lawang yaitu “diajar bari sopan, ulin bari santun”.
Meskipun tengah dihadapi dengan perkembangan arus globalisasi, besar harapan Abah, Teteh Kharisma, dan teman-teman Padepokan Bumi Ageung Saketi untuk dapat mempertahankan kebiasaan ngariung dan kegiatan Sakola Lawang dalam waktu yang lama, sehingga eksistensi kebudayaan Sunda berdampingan dengan nilai filosofisnya akan terus tetap terjaga di kalangan generasi muda.