Ronggeng Pangandaran yang Lestari di Desa Cintakarya
Desa Cintakarya menjadi satu-satunya desa di Kabupaten Pangandaran yang menggelar perlombaan ronggeng sebagai acara formal dalam ulang tahun desa.
Tim PPPM Fakultas Filsafat Unpar
Kasih Karunia Indah, Yohanes Leonardo Simanungkalit, Emanuel Bryan Aldo Pradipta, Angga Willem Putra Brevoort, Hendrikus Wadan Kean, Marianus Daslan
20 Agustus 2023
BandungBergerak.id – Pada pagi hari Minggu (30/7/2023) sekitar pukul 9, warga dan beberapa kelompok penari ronggeng sudah berkumpul di Lapangan Desa Cintakarya yang bertempat di Dusun Cikubang, Desa Cintakarya, Kecamatan Parigi, Kabupaten Pangandaran, Jawa Barat. Hari itu akan diselenggarakan perlombaan ronggeng untuk merayakan ulang tahun Desa Cintakarya.
Rumput yang hijau cerah dihiasi oleh kebaya merah dan hitam beserta kain batik para penari ronggeng perempuan, dan oleh hitamnya baju adat Sunda para peserta laki-laki. Warna-warni ini makin dimeriahkan pula oleh selendang merah-kuning setiap peserta lomba ronggeng.
Selain tablig akbar, lomba parade sound system, dan pementasan wayang golek, ulang tahun Desa Cintakarya yang ke-41 dimeriahkan pula dengan lomba ibing ronggeng. Perayaan ulang tahun Desa Cintakarya dilakukan selama dua hari, yakni pada tanggal 29 hingga 30 Juli 2023, dan perlombaan ronggeng antardusun diadakan di hari kedua. Alam seolah mendukung berjalannya acara itu. Matahari bersinar cerah, dan awan kumulus tebal seperti kapas menghiasi langit biru di beberapa tempat.
Ronggeng adalah tarian berkelompok yang ditarikan dalam bentuk melingkar, dan biasa ditarikan dalam hajatan-hajatan atau acara-acara besar di daerah. Biasanya, ibing ronggeng akan dimulai oleh sebuah kelompok penari ronggeng profesional dari sebuah sanggar tari, dengan jumlah sekitar tiga hingga lima orang penari, diiringi oleh sejumlah nayaga (pemusik) dan seorang pesinden yang melantunkan berbagai pantun, soal percintaan atau soal kejahatan. Kemudian, peserta hajatan akan ikut ngibing (ikut menari) dalam lingkaran ronggeng.
Ronggeng ditarikan dengan pola langkah yang teratur, yang terbagi menjadi tiga arah. Walau begitu, musik yang mengiri tetap bermain dalam delapan hitungan. Terdapat variasi dalam langkah-langkah ini, dan terdapat bagian di mana para peronggeng menari secara berpasang-pasangan.
Dalam sebuah hajatan, terkadang, beberapa penari dari kelompok ronggeng akan menarikan tarian pembuka. Kemudian, para penari akan membagikan selendang-selendang bagi peserta-peserta hajatan. Apabila seorang yang hadir di hajatan tersebut diberi selendang, artinya, hadirin tersebut diundang untuk ikut ngibing dalam tarian ronggeng tersebut.
Di masa lalu, hanya peserta hajatan laki-laki yang ikut ngibing bersama para ronggeng yang seluruhnya perempuan. Namun, budaya tersebut telah bergeser, dan kini keikutsertaan peserta hajatan perempuan juga telah umum dalam ngibing ronggeng. Laki-laki pun dapat menjadi ronggeng, seperti yang terjadi dalam perayaan ulang tahun Desa Cintakarya.
Hingga saat ini, Desa Cintakarya menjadi satu-satunya desa di Kabupaten Pangandaran yang menggelar perlombaan ronggeng sebagai acara formal dalam ulang tahun desa.
Kepala Desa Cintakarya, para perangkat desa, dan budayawan setempat memulai acara dengan mengucapkan kata sambutan. Kemudian, sebelum perlombaan dimulai, diadakan ibing nyoderan, yakni, di mana semua peserta lomba menarikan ronggeng, dan masyarakat non-peserta lomba dapat ikut ngibing dalam lingkaran para perangkat desa, mulai dari petani hingga polisi.
Kemudian, setiap kelompok ronggeng dari setiap dusun bergiliran untuk mementaskan tarian mereka. Masyarakat terlihat antusias untuk mengikuti acara tersebut. Tikar-tikar yang sudah digelar oleh warga di lapangan dari acara kasidahan malam sebelumnya semakin bertambah jumlahnya.
Perlombaan ronggeng ini dimenangkan oleh Dusun Sidahurip sebagai peraih juara pertama, dusun Cikubang sebagai pemenang juara kedua, dan dengan Dusun Ciawi yang menempati posisi ketiga. Pemenang pertama dianugerahi sebuah piala ronggeng hasil karya Abah Enju. Piala itu terbuat dari kayu yang diukir serupa perempuan penari ronggeng.
Apan, salah satu tokoh budayawan Desa Cintakarya, menyatakan bahwa tarian ronggeng bukan hanya persoalan langkah-langkah gerakannya, tapi juga soal penghayatan penari akan irama lagunya. Ia juga menuturkan, bahwa bagi masyarakat Desa Cintakarya, perlombaan ronggeng dalam ulang tahun desa ini bukan hanya perihal bersaing, namun juga adalah perihal bagaimana masyarakat mampu mencintai permata budaya khas daerah mereka tersebut.
Baca Juga: Generasi Ronggeng
Pergeseran Citra Ronggeng, dari Tokoh Spiritual Terhormat hingga Identik dengan Pelacuran
Abah Enju yang Merawat Wayang Golek di Tanah Pangandaran
Latihan Ronggeng di Dusun Cikubang
Tiap hari, sekitar pukul tujuh malam, di tengah-tengah harmoni suara jangkrik yang menghiasi malam, terdengar dentingan musik gamelan menembus pekatnya malam di Dusun Cikubang. Dengan iringan musik tersebut, para warga Dusun Cikubang berkumpul di bawah naungan tenda hajatan depan Saung Satu Indonesia untuk berlatih ngibing ronggeng. Suasana ini juga terkadang disela oleh gelak tawa peserta latihan, yang mengudara ketika ada peserta lain yang kebingungan melangkah.
Pada hari Senin, 7 Agustus 2023, beberapa anggota tim PPPM (Pendidikan Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat) Universitas Katolik Parahyangan (UNPAR) yang menetap di Dusun Cikubang selama kegiatan PPPM, mengikuti seluk beluk warga Dusun Cikubang dalam melestarikan tari ronggeng, permata budaya Pangandaran yang telah diwariskan secara turun-temurun itu.
Salah satu peserta penari yang giat mengikuti latihan tersebut adalah Winda. Winda mengikuti latihan ronggeng tersebut hampir tiap malam. Ia mengatakan, bahwa pada awalnya, para warga dusun Cikubang awalnya mengadakan latihan bersama untuk menari di lomba pada acara ulang tahun Desa Cinta Karya. Namun, latihan tersebut hanya dihadiri oleh mereka yang akan mengikuti lomba.
Saat penari-penari yang akan mengikuti lomba berlatih di Balai Dusun, Winda menjadi salah satu sosok yang menginisiasi latihan bagi warga lain, terutama para ibu-ibu. “Ronggeng yuk ronggeng! Tapi kita mah bukan buat lomba, cuma buat, kayak, ya bisa lah, ketika nanti ada orang hajatan, terus ngundang ronggeng, kita bisa kalau mau gabung,” ujar Winda.
Warga Dusun Cikubang memutuskan untuk melanjutkannya bahkan setelah ulang tahun desa lewat. “Di sini lanjut. Karena lumayan kan, keringetan, olahraga,” tutur Winda.
Mamat, salah satu tokoh masyarakat setempat, menyatakan, bahwa seni ronggeng tersebut diajarkan kepada generasi selanjutnya dengan mengamati dan mempraktikkan. Yang belum bisa mengikuti yang sudah lihai. Mamat sendiri menyatakan, bahwa ia dahulu tidak dapat menari ronggeng, sebelum ia dipaksa ikut ngibing oleh para peserta ronggeng lain, dan lama-kelamaan menjadi dapat menarikan ronggeng.
Asal-usul Ronggeng Pangandaran
Abah Enju, salah satu tokoh budayawan kelahiran Desa Cibenda, yang kini diam di Desa Bojong, membagikan pengetahuannya tentang ronggeng. Ia menuturkan bahwa konon awal mulai ronggeng berasal dari Pananjung. Kisah ini dimulai ketika Dewi Rengganis, atau juga disebut dengan nama Dewi Samboja, kehilangan suaminya, Raden Anggalarang, karena dibunuh oleh Kalasamudra, pemimpin perompak Bajo. Dari sakit hati akan kehilangannya tersebut, Dewi Rengganis pergi melarikan diri, menyamar, dan mengganti bahasa yang ia tuturkan menjadi bahasa Cirebon.
“Nah, dia itu nyamar, biar nanti terkenal. Dia itu sudah menyuruh orang ‘kalau siapa pun orangnya yang mau, beristri kepada saya (Dewi Rengganis), asal bisa membunuh kepala Bajo, saya mau disunting’. Ia menari ronggeng, ternyata ronggengnya bagus. Cuman, itu yang sederhana, cuman kendang satu, bonangnya tiga, dan gong satu,” tutur Abah Enju, tentang kisah bagaimana Dewi Rengganis menjadi penari ronggeng pertama.
Tarian yang ditarikan oleh Dewi Rengganis yang menyamar ini berhasil memikat pemimpin Bajo untuk ikut ngibing, bersama dengan masyarakat setempat. Patih Sawunggaling yang sudah sedari tadi mengintai berhasil membunuh Bajo, dan akhirnya, Dewi Rengganis membuka identitas aslinya. Ronggeng yang ditarikan Dewi Rengganis inilah yang hingga kini disebut dengan Ronggeng Gunung.
Dan karena kisah Dewi Rengganis yang menyamar tersebut pula, filosofi yang mendasari tarian Ronggeng Gunung adalah menjadi tersembunyi sekaligus terlihat.
Abah Enju menuturkan, “Sembunyi, tapi sekaligus kelihatan. Jadi tidak mengurusi, harus sebagaimana meriah. Yang penting, asal orang datang. … Jadi kalau bahasa Sunda, jalma mah kudu bisa nyumput dinu caang, gerak bari teu ketara (seorang harus dapat bersembunyi dalam terang, bergerak sambil tidak terlihat).”
Abah Enju juga mengisahkan tentang gerakan tarian. “Orang itu jangan pindah melangkah. Kalau nari ronggeng langkahnya berseberangan dengan orang lain, satu, bisa celaka sendiri, dua, bisa mencelakakan orang lain. Itu namanya tri tangtu.”
Tri tangtu adalah sebuah falsafah yang menjadi cara pandang hidup masyarakat Sunda. Terdapat berbagai tri tangtu dalam kehidupan masyarakat Sunda. Salah satu tri tangtu tersebut adalah benar menurut hukum, benar menurut umum, dan benar menurut pribadi. Ketiga aspek tersebut harus terlaksana agar tri tangtu dapat diwujudkan.
Sementara versi ronggeng lain, yang kini lebih banyak ditarikan oleh masyarakat Pangandaran, adalah Ronggeng Amen. Ronggeng Amen adalah pengembangan dari Ronggeng Gunung, dan berasal dari Ciamis. Ia menggunakan musik yang lebih rumit, dengan tambahan berbagai alat musik, seperti gamelan wilahan tujuh, rincik, saron panerus, saron peking, dan jengglong. Gerakannya juga lebih rumit, dengan lebih banyak variasi dengan posisi yang berbeda.