• Narasi
  • Abah Enju yang Merawat Wayang Golek di Tanah Pangandaran

Abah Enju yang Merawat Wayang Golek di Tanah Pangandaran

Enju Rinekapalwa atau akrab dipanggil Abah Enju, tokoh seni dan budaya yang masih setia menggeluti seni wayang golek di Pangandaran.

Andreas Fajar Purwanto

Mahasiswa Universitas Katolik Parahyangan (Unpar) Bandung

Abah Enju sedang mengerjakan ukiran patung penari ronggeng. (Foto: Andreas Fajar Purwanto)

7 Agustus 2023


BandungBergerak.id – Pada tanggal 14 Juli 2023, Tim Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat (PPPM) UNPAR (Yohanes Dona, Rita Viktoria, Julius Hendrico, Geraldus F. Rewu, Andreas Fajar Purwanto, dan Stevanus Arya) sampai di Desa Bojong, Kecamatan Parigi, Kabupaten Pangandaran. Kami berenam tinggal di rumah Abah Enju Rinekapalwa atau akrab dipanggil Abah Enju. Beliau merupakan seorang ahli ukir dan dalang wayang golek yang terkenal di Kecamatan Pangandaran.

Setelah kurang lebih tinggal selama 15 hari di rumah Abah Enju, kami bertemu dengan banyak orang setiap harinya. Rumah Abah Enju seakan tidak pernah sepi pengunjung mulai dari pagi hingga malam hari. Mereka yang datang ke sini berasal dari berbagai kalangan mulai dari masyarakat biasa sampai pada para pejabat. Latar belakang kedatangan mereka juga beragam mulai dari ketertarikan akan ukiran wayang sampai kepada permintaan doa dan ritual. Mayoritas mereka yang datang ke sini mendapatkan informasi tentang Abah Enju dari obrolan mulut ke mulut.

Abah Enju dan beberapa masyarakat sedang melaksanakan ritual dalam rangka syukuran Muharaman. (Foto: Andreas Fajar Purwanto)
Abah Enju dan beberapa masyarakat sedang melaksanakan ritual dalam rangka syukuran Muharaman. (Foto: Andreas Fajar Purwanto)

Baca Juga: Menatap Pertunjukan Wayang Golek Virtual
Antusias Anak-anak Kampung Cibogo Atas Mendaur Ulang Sampah Plastik Jadi Wayang
Mutiara Berharga Guha Bau Desa Kertayasa Pangandaran

Menggeluti Seni Wayang Golek

Abah Enju dikenal luas sebagai tokoh seni dan budaya yang memiliki konsentrasi di bidang pewayangan. Pria kelahiran Desa Cibenda (Desa yang berbatasan langsung dengan bagian utara Desa Bojong) tahun 1954 ini memiliki minat yang besar dengan dunia wayang sejak kelas 3 SD sekitar tahun 1964-1965.

Ia sering menonton pagelaran wayang dan ikut grup pagelaran wayang untuk belajar tentang wayang golek sejak saat itu. Pengalamannya menonton dan mendengarkan pagelaran wayang golek ini menjadi guru Abah Enju untuk mengenal lebih dalam tentang dunia wayang golek.

Abah Enju menuturkan bahwa ia tidak pernah berguru dari seorang dalang tertentu, tetapi belajar dari berbagai dalang di pagelaran-pagelaran wayang golek yang ia hadiri. Menurutnya, seseorang akan mudah mempelajari sesuatu dengan hanya menonton dan mendengarkan bila ia memiliki minat atau kesukaan terhadap hal yang sedang ia pelajari.

Tidak cukup hanya sekadar mengenal dunia pewayangan, ia mulai melihat peluang di dunia ukiran wayang. Abah Enju belajar mengukir secara otodidak dengan bekal melihat hasil ukiran wayang orang lain.

Pada tahun 1970-han, pagelaran wayang golek sempat menjadi tontonan yang menarik di daerah Pangandaran terutama di saat hajatan (acara). Ukiran wayang golek pun sempat menjadi hal yang menjanjikan pada saat itu.

Dengan kemampuan mengukir yang diperoleh secara otodidak, Abah Enju pernah bekerja di perusahaan wayang sekitar tahun 1978. Pada tahun 1980-han, ia semakin memperdalam kemampuan mengukirnya dengan belajar dan bekerja di perusahaan mebel.

Di perusahaan tersebut, ia belajar langsung dari pemiliknya yaitu Pak Aceng dan Pak Edi. Dalam sehari Abah Enju dapat menghasilkan sekitar 5 ukiran kepala wayang golek. Tidak hanya mengukir untuk kepentingan produksi perusahaan, ia juga menyimpan beberapa koleksi ukiran wayangnya. Pada tahun 1994, Abah Enju mendalang untuk pertama kalinya setelah menjual satu peti besar koleksi wayangnya untuk membeli gamelan. Sejak saat itu Abah Enju mulai aktif menjadi dalang wayang golek untuk diundang ke berbagai hajatan (acara).

Tim PPPM Unpar sedang belajar menggendang dengan Rama, cucu dari Abah Enju. (Foto: Andreas Fajar Purwanto)
Tim PPPM Unpar sedang belajar menggendang dengan Rama, cucu dari Abah Enju. (Foto: Andreas Fajar Purwanto)

Wayang Golek yang Mulai Sepi Peminat

Pagelaran wayang golek kini tidak lagi banyak diminati untuk diundang di dalam hajatan. Abah Enju menceritakan bahwa peminat wayang golek menurun, baik penonton dan orang-orang yang ingin belajar tentang wayang golek. Masyarakat cenderung lebih memilih hiburan lain seperti dangdutan.

Abah Enju sendiri memiliki grup wayang golek yang anggotanya berasal dari daerah Jawa Tengah, Madura, daerah Majenang, dan sinden dari daerah sekitar Bojong. Akan tetapi, anggota grup wayang Abah Enju sudah banyak yang lanjut usia. Kemampuan mereka mungkin masih mumpuni untuk melaksanakan pagelaran wayang golek, tetapi fisik mereka tidak lagi indah untuk dipandang.

Menurut Abah Enju, seni itu harus enak dipandang dan didengar. Sayangnya, sudah jarang dan hampir tidak ada anak muda yang tertarik untuk belajar tentang dunia wayang dan hadir dalam pagelaran wayang.

Sepinya peminat wayang golek dapat menjadi ancaman terhadap eksistensi wayang golek di daratan Pangandaran. Abah Enju menambahkan, “Jika keadaan ini berlangsung selama sepuluh tahun ke depan, wayang golek akan mati di daratan Pangandaran.”

Ia memang sedikit kecewa dengan keadaan tersebut, tetapi ia menambahkan jawaban bijak dari permasalahan tersebut. Ia mengatakan bahwa, “Zaman ada orangnya, orang ada zaman.”

Akang Wawan Gunawan dan beberapa gendang yang sedang digarapnya. (Foto: Andreas Fajar Purwanto)
Akang Wawan Gunawan dan beberapa gendang yang sedang digarapnya. (Foto: Andreas Fajar Purwanto)

Persimpangan Jalan Merawat Seni

Baginya perkembangan zaman tidak dapat ia bendung. Setiap zaman memiliki minat yang berbeda-beda dan setiap zaman tidak bisa dibanding-bandingkan. Abah Enju masih mempertahankan dunia pewayangan di dalam ukiran-ukirannya. Di dalam ukiran-ukiran yang dibuatnya, ia banyak menggunakan tokoh-tokoh pewayangan.

Baginya wayang bukan hanya sekadar hiburan tetapi mengandung banyak falsafah kehidupan. Kisah pewayangan menjadi sarana untuk mengetahui kebijaksanaan. Dalam beberapa kesempatan, kami menyaksikan Abah Enju melantunkan beberapa kidung yang biasa dibawakan dalam pewayangan di rumahnya. Lantunan kidung yang ia nyanyikan sarat dengan falsafah kehidupan yang membawa manusia kepada kebijaksanaan.

Abah Enju memiliki dua orang anak yang sama-sama bekerja di bidang seni. Anak pertamanya, Wawan Gunawan hingga saat ini aktif membuat gendang pesanan dari berbagai daerah.

Anak keduanya, Sugito Siswacarito menjadi seorang pandai besi yang memiliki pelanggan mulai dari petani hingga kolektor senjata tradisional. Abah Enju mengaku tidak dapat membuat gendang dan menjadi pandai besi seperti yang dilakukan kedua anaknya.

Akang Sugito Siswacarito sedang mengerjakan pesanan celurit untuk kebutuhan tani. (Foto: Andreas Fajar Purwanto)
Akang Sugito Siswacarito sedang mengerjakan pesanan celurit untuk kebutuhan tani. (Foto: Andreas Fajar Purwanto)

Akang Wawan dan Akang Sugito mempelajari keahlian tersebut dari orang-orang yang ahli untuk seorang pembuat gendang dan seorang pandai besi . Awalnya mereka bekerja untuk orang-orang tersebut sebelum akhirnya memutuskan untuk membuka usaha sendiri. Kini mereka memiliki pelanggan tetap yang berasal dari guru-guru mereka karena guru-guru mereka sudah meninggal dunia.

Abah Enju tidak pernah memaksakan anak-anaknya untuk melanjutkan pekerjaannya sebagai pengukir dan dalang wayang golek. Menurutnya, hal tersebut tumbuh dari dalam diri bukan dipaksakan dari luar. Kini mereka bertiga bekerja di kompleks yang sama meskipun dengan keahlian yang berbeda-beda. Abah Enju dan anak-anaknya dapat kita temui di jalur menuju parkir 1 Citumang gang golok. Rama, cucu Abah Enju yang berasal dari Akang Sugito juga berminat di dunia seni sebagai seorang pemain gendang. Ia pernah bermain gendang dalam beberapa  pagelaran seni di tingkat kabupaten dan provinsi.

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//