• Narasi
  • Mutiara Berharga Guha Bau Desa Kertayasa Pangandaran

Mutiara Berharga Guha Bau Desa Kertayasa Pangandaran

Guha Bau di Desa Kertayasa di Kabupaten Pangandaran menjadi habitat alami puluhan ribu ekor kelelawar pemakan buah. Juga bahan baku utama pupuk guano.

Tim Ekspedisi PPPM Fakultas Filsafat Unpar

Geraldy Louis Victorio, Gregorius Sadrakh Anantawikrama Jasmin, Nikolas Novan Risbayana, Amandus Rusdianto Tefa, dan Vabianus Louk

Kondisi bagian dalam Guha Bau yang minim penerangan. (Foto: Dokumentasi Tim Ekspedisi PPPM Fakultas Filsafat Unpar)

27 Juli 2023


BandungBergerak.id – Sinar matahari hadir menyinari, merobek kawanan kabut tebal yang menyelimuti serta menyapa hamparan ladang-ladang padi yang mulai keemasan. Begitulah suasana pagi di sebuah desa indah bernama Desa Kertayasa di Kecamatan Cijulang, Kabupaten Pangandaran, Jawa Barat.

Namun siapa sangka, keindahan alam ini ternyata belum sepenuhnya terungkap. Masih ada lagi kekayaan lain yang dimiliki desa ini, yang mana sesungguhnya masih belum banyak diketahui oleh masyarakat luas.

Didampingi Kang Kholil dan Kang Amud sebagai pemandu setempat, Tim PPPM dari Fakultas Filsafat Universitas Katolik Parahyangan (Unpar) Bandung yang beranggotakan 5 orang (Amandus Rusdianto, Geraldy Louis, Gregorius Sadrakh, Nikolas Novan dan Vabianus Louk) mengambil tantangan untuk menemukan “mutiara” tersebut. Perjalanan yang kami tempuh tidak mudah.

Tim menempuh perjalanan cukup panjang dan penuh dengan rintangan. Mulai dari menuruni tangga-tangga batu yang curam, melewati kontur tanah yang terjal dan berliku, hingga harus berhadapan dengan hutan lebat di setiap sisi. Meskipun perjalanan ini penuh dengan tantangan, semangat tim PPPM untuk tiba di tempat tujuan tidak pernah surut.

Kami mengikuti aliran sungai “Green Canyon”, sungai yang menemani perjalanan kami. Suara deru serta kejernihan aliran sungai berwarna biru kehijauan ini turut mengantarkan kami hingga bertemu dengan sebuah gua. Gua berukuran raksasa yang dikenal dengan sebutan “Guha Bau” (bahasa Sunda, artinya “gua bau”) ini berdiri kokoh, gagah, dan penuh misteri. Dengan kedalaman kurang lebih mencapai seratus meter (dari mulut hingga ujung gua), gua ini telah menjadi tempat tinggal yang nyaman bagi puluhan ribu ekor kelelawar pemakan buah.

Tim PPPM Fakultas Filsafat UNPAR bersama para pemandu tiba di mulut Guha Bau. (Foto: Dokumentasi Tim Ekspedisi PPPM Fakultas Filsafat Unpar)
Tim PPPM Fakultas Filsafat UNPAR bersama para pemandu tiba di mulut Guha Bau. (Foto: Dokumentasi Tim Ekspedisi PPPM Fakultas Filsafat Unpar)

Baca Juga: Merawat Warisan Gua Pawon, Merawat Pencak Silat
Ekowisata Hutan Mangrove Pangandaran, Belum Pulih Akibat Pandemi
NGABUBURIT MENYIGI BUMI #5: Sabuk Hijau Melindungi Kemegahan Pantai dan Warga Pangandaran

Guha Bau

Tim PPPM diajak oleh para pemandu untuk memasuki dan menyusuri gua raksasa ini untuk menemukan “mutiara” berharga di dalamnya sekaligus dalam rangka observasi serta penelitian. Jalanan yang ekstrem serta minimnya cahaya menjadi kekhasan dari gua ini. Hingga akhirnya semua perjuangan kami terbayar ketika akhirnya kami bertemu dengan si “mutiara” yang kami tuju, yakni kotoran kelelawar.

Kotoran kelelawar yang berwujud layaknya butiran-butiran tanah ini mengendap dan menutupi seluruh permukaan gua. Aroma khas dari kotoran kelelawar inilah yang mendasari sebutan “Guha Bau”.

Mungkin terdengar aneh dan tidak masuk akal, apa yang berharga dari kotoran? Namun faktanya memanglah demikian. Kotoran kelelawar yang dianggap tidak berguna ini nyatanya sangat berpengaruh bagi masyarakat Desa Kertayasa terkhusus dalam sektor pertanian.

Selama kegiatan pengabdian dan penelitian kepada masyarakat, Tim PPPM Fakultas Filsafat Unpar serta masyarakat setempat menyadari adanya potensi besar yang terkandung dalam pupuk guano yang dihasilkan dari kotoran kelelawar di Guha Bau ini. Dengan kandungan yang ada di dalamnya, pupuk guano dapat meningkatkan produktivitas tanaman secara alami tanpa merusak lingkungan.

Kondisi bagian dalam Guha Bau yang minim penerangan. (Foto: Dokumentasi Tim Ekspedisi PPPM Fakultas Filsafat Unpar)
Kondisi bagian dalam Guha Bau yang minim penerangan. (Foto: Dokumentasi Tim Ekspedisi PPPM Fakultas Filsafat Unpar)

Pupuk Guano

Penduduk Desa Kertayasa sudah membuktikannya dengan pengolahan kotoran kelelawar ini menjadi pupuk “guano”. Hasilnya penggunaan pupuk tersebut dapat meningkatkan kualitas dan kuantitas produksi padi di desa ini.

Oleh karenanya, muncul suatu kerinduan dari masyarakat Desa Kertayasa untuk bisa memanfaatkan potensi berharga ini guna tujuan ekologi dan ekonomis. Namun tidak mudah.

Ada beberapa kendala teknis yang menjadi krusial dalam mengoptimalkan potensi produksi pupuk guano di Desa Kertayasa. Salah satu kendala utamanya adalah minimnya alat pengangkut yang dapat digunakan untuk mengangkat dan membawa kotoran kelelawar dari dasar gua ke permukaan.

Hal ini disebabkan oleh jarak tempuh yang cukup jauh. Untuk mengangkut kotoran kelelawar dari dasar gua yang tingginya sekitar delapan puluh meter secara vertikal tidak mudah.

Keberadaan kendala ini akan berpengaruh pada seluruh proses produksi pupuk guano. Mulai dari tahap pengangkutan kotoran dari dasar gua, proses pengolahan kotoran menjadi pupuk, hingga proses distribusinya secara masal.

Kotoran kelelawar untuk pupuk guano. (Foto: Dokumentasi Tim Ekspedisi PPPM Fakultas Filsafat Unpar)
Kotoran kelelawar untuk pupuk guano. (Foto: Dokumentasi Tim Ekspedisi PPPM Fakultas Filsafat Unpar)

Peluang yang Terbuka

Kendala ini menjadi hambatan utama bagi masyarakat Desa Kertayasa untuk mengoptimalkan potensi berharga yang dimiliki oleh pupuk guano tersebut. Selain mempengaruhi proses produksi pupuk guano secara keseluruhan, kendala teknis ini juga berdampak pada usaha memanfaatkan kotoran kelelawar sebagai sumber pendapatan bagi desa.

Selain berkontribusi dalam meningkatkan produktivitas tanaman secara alami tanpa merusak lingkungan, pupuk guano juga menjadi solusi berkelanjutan dalam sektor pertanian. Selain itu, jika kendala teknis dapat diatasi dengan baik, produksi pupuk guano yang lebih optimal juga berpotensi untuk dijual secara komersial, yang pada gilirannya akan membawa manfaat ekonomi bagi desa dan masyarakat secara luas.

Dalam hal ini, perbaikan alat pengangkut dan dukungan dari pemerintah desa atau mitra lainnya mungkin bisa menjadi langkah awal yang penting untuk mengoptimalkan potensi pupuk guano ini.

Memang, demi memperoleh kotoran kelelawar yang dianggap “bagus” untuk dijadikan pupuk guano, kami harus berjalan hingga ke ujung gua. Kami juga harus menyusuri jalur yang gelap dan masih “alami” (berlumpur dan menanjak). Meski demikian, perjalanan panjang ini menjadi suatu pengalaman yang baru, unik, sekaligus tak terlupakan bagi Tim PPPM Fakultas Filsafat UNPAR.

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//