NGABUBURIT MENYIGI BUMI #5: Sabuk Hijau Melindungi Kemegahan Pantai dan Warga Pangandaran
Pantai yang tidak terlindung sabuk hijau berupa pepohonan yang kuat terbukti menderita kerusakan yang paling parah dan banyak menelan korban pada bencana tsunami.
T. Bachtiar
Geografiwan Indonesia, anggota Kelompok Riset Cekungan Bandung dan IAGI Jabar Banten (Ig: @tbachtiargeo)
27 Maret 2023
BandungBergerak.id – Wisata pantai di Pangandaran menjadi tempat yang paling digemari, karena para pengunjungnya dapat berenang dengan nyaman. Ombak di pantai selatan Pulau Jawa yang terkenal dengan hantamannya yang kuat, energinya nyaris dihabiskan saat menghantam sisi selatan Pulau Pananjung. Ombak kemudian melemah di balik pulau. Di sana menjadi pantai yang aman untuk berenang karena terlindung Pulau Pananjung, kawasan konservasi seluas 532 hektar.
Namun, di tempat yang terbuka, deburan ombak samudra di selatan Pulau Jawa memperlihatkan wujud aslinya. Inilah sesungguhnya yang dapat dijadikan alasan yang tepat untuk melakukan pembagian zona pantai untuk beragam aktivitas wisata. Janganlah semua aktivitas pengunjung bertumpuk di bagian yang paling aman untuk berenang. Yang berkegiatan dengan sewaan motor kecil dan kendaraan roda tiga bermesin, dapat menggunakan pantai di luar zona aman untuk berenang.
Wisata pantai di Kabupaten Pangandaran itu seperti pasar yang menyediakan banyak pilihan kegiatan wisata, selain wisata pantai yang menjadi andalannya, pengunjung dapat berkegiatan menelusuri hutan pantai di Pulau Pananjung, terdapat gua-gua kapur, dan wisata di aliran sungai yang menyuguhkan banyak daya tarik. Beragamnya atraksi wisata alam itu semakin menguatkan daya tariknya.
Walau pun di pantai, Pangandaran bukan hanya menyajikan batu kapur atau batu karang, tapi juga tersaji beragam jenis batuan hasil letusan gunungapi purba. Menurut TO Simandjuntak dan Surono (1992) dalam Peta Geologi Lembar Pangandaran, antara 34 – 23 juta tahun yang lalu, kawasan Pangandaran ditutupi oleh material letusan gunungapi yang lebarnya antara 15–20 km. Karena dinamika bumi yang terus berlangsung, secara evolutif terjadi pengangkatan kawasan Pangandaran secara regional. Dalam perjalanan waktu, juga terjadi penurunan selebar kurang lebih 6 km, termasuk satu per tiga Pulau Pananjung bagian utara. Akibatnya, antara bagian yang terangkat dengan bagian yang turun, secara evolutif membentuk cekungan dengan beda ketinggian 300 m. Ke dalam cekungan itu air laut masuk, menyatu dengan laut di sekitarnya, sehingga bagian yang terangkat di selatan menjadi pulau tersendiri, kemudian dinamai Pulau Pananjung, yang terpisah dari pulau induknya yang sekarang dinamai Pulau Jawa.
Baca Juga: NGABUBURIT MENYIGI BUMI #4: Jalan Baru di Ruas Jalan Lebakjero
NGABUBURIT MENYIGI BUMI #3: Ciuyah, Mataair Asin Berumur Jutaan Tahun
NGABUBURIT MENYIGI BUMI #2: Harmoni Hidup di Atas Endapan Danau Bandung Purba
NGABUBURIT MENYIGI BUMI #1: Memindahkan Jalan Raya agar tidak Memotong Landasan Pacu Lanud Margahayu
Pulau Pananjung
Kira-kira 4-5 km dari ujung utara Pulau Pananjung, rona buminya sangat datar. Wisatawan akan merasakan keadaan ini, pada saat memasuki jalan yang mengarah utara – selatan, mulai gerbang karcis masuk sampai ke arah pantai di selatan, yang di kiri kanannya sudah dibangun permukiman, dan semakin ke selatan semakin banyak didirikan penginapan, hotel, dan rumah makan. Kawasan yang sudah padat inilah yang pernah tergenang laut dangkal yang jernih antara 34 – 17 juta tahun yang lalu.
Ketika tergenang laut dangkal yang tenang dan jernih itulah di sisi utara Pulau Pananjung tumbuh binatang koral. Setelah terumbu itu tumbuh jutaan tahun sambil terangkat ke permukaan secara evolutif kemudian mati, terus mendapatkan pengaruh dari panas matahari dan air hujan yang melarutkan batu karang. Jejak peninggalannya berupa batu gamping terumbu di Pulau Pananjung bagian utara, yang umurnya 17 juta tahun.
Koral yang terangkat itu ke permukaan kemudian mati, menjadi batu gamping terumbu setebal kurang lebih 80 m, lalu berbagai tumbuhan hidup di atasnya. Akar-akar pohon membawa air hujan meresap jauh ke dalam, melarutkan batu kapur secara perlahan. Selama jutaan tahun, batu kapur yang melarut itu membentuk celah, rongga, kemudian melarut lebih besar menjadi gua-gua kapur.
Sementara di bagian selatan Pulau Pananjung tidak terdapat gua kapur, karena batuan penyusunnya berupa material letusan gunungapi purba. Deburan ombak dari arah Samudra Hindia yang kuat, merontokkan bagian yang lemah, membentuk ceruk, lorong yang semakin panjang membentuk gua pantai. Ketika gua terus membesar, sementara atap guanya tak kuat lagi menahan bebannya sendiri, maka atap gua itu akan ambruk, meninggalkan bentukan yang terpisah. Bagian yang lemah akan dihancurkan, sementara bagian yang kuat akan bertahan, membentuk apa yang dikenal dengan sebutan stack. Karena bentuk stack-nya menyerupai layar, maka batu tegak itu dinamai Batulayar. Bongkah batuan gunungapi purba yang kasar, yang ambruk ke dalam laut, terlihat seperti buaya yang sedang berjemur, di namailah Batubuaya.
Setelah gelombang dari Samudra Hindia itu menghantam sisi selatan Pulau Pananjung, energi ombaknya melemah di sisi barat dan timur pulau, dan semakin melemah di bagian belakang pulau. Arus yang menyamping di balik pulau mempercepat proses pengendapan material berupa lumpur, pasir, dan kerikil, kemudian menjadi daratan yang menyambungkan kembali Pulau Pananjung dengan Pulau Jawa yang pernah terpisah, disebut tombolo. Sekarang, di permukaan tombolo itulah dibangun jalan, hotel, rumah makan, dan fasilitas wisata lainnya. Setelah tombolo terbentuk, laut di kiri kanannya menjadi pantai yang melengkung di kedua sisinya.
Sepanjang lepas pantai selatan Pulau Jawa, tak terkecuali di selatan Kabupaten Pangandaran yang berhadapan langsung dengan Samudra Hindia, di sanalah Lempeng Samudra Indo-Australia menunjam Lempeng Benua Erasia. Karenanya, kawasan wisata pantai yang megah ini tidak lepas dari pengaruh peristiwa alam seperti gempa bumi tektonik yang dapat memicu tsunami. Kenyataan ini pernah terjadi ketika gempa bumi tanggal 17 Juli 2006 dengan kekuatan 6,8 yang memicu tsunami yang meluluhlantakkan bangunan dengan penghuninya. Di pantai-pantai yang tidak terlindung sabuk hijau berupa pepohonan yang kuat, terbukti menderita kerusakan yang paling parah dan banyak menelan korban.
Belajar dari kejadian tsunami Juli 2006, seharusnya bangunan-bangunan dirancang dan dibuat untuk dapat berperan melindungi masyarakat dan pengunjung. Di setiap rumah, di setiap gedung, dianjurkan untuk dibangun tempat penyelamatan yang kokoh, yang terintegrasi dengan fungsi lain gedung. Tingginya minimal 20 meter, dan dapat menampung sejumlah orang yang menjadi penghuni rumah atau gedung tersebut.
Hal lain yang sangat mendesak untuk segera dilakukan adalah membuat sabuk hijau yang terencana dan tertata baik, menjadi hutan pantai permanen yang rindang dengan naungan. Fungsinya, selain menjadi sabuk hijau yang dapat melemahkan hantaman tsunami, juga dapat melunakkan angin barat, udara pantai yang terik, dan dapat menjadi jalur sepeda dan pejalan kaki yang nyaman. Sabuk hijau mempunyai nilai kemanusiaan yang tinggi, telah terbukti ketika terjadi tsunami Juli 2006. Jadi, menunggu apalagi?