• Kolom
  • PAYUNG HITAM #23: 17 Tahun Aksi Kamisan, Semakin Hilangnya Identitas Korban

PAYUNG HITAM #23: 17 Tahun Aksi Kamisan, Semakin Hilangnya Identitas Korban

Tuntutan keadilan serta hak-hak korban dan keluarga korban pelanggaran HAM tak kunjung dipenuhi. Selama belasan tahun negara sendirilah yang merawat impunitas.

Fayyad

Pegiat Aksi Kamisan Bandung

Aksi Kamisan Bandung memperingati September Hitam di Taman Cikapayang, Bandung, Kamis (7/9/2023). (Foto: Virliya putricantika/BandungBergerak.id)

18 Januari 2024


BandungBergerak.id – Sore menjelang petang di setiap hari Kamis, ada sekumpulan orang-orang berpakaian serba hitam yang berdiri tegak di seberang Jalan Medan Merdeka Utara menghadap ke arah Istana Merdeka (Presiden) dengan memegang payung hitam dan membentangkan banner, kain, poster, spanduk berisikan seputar Hak Asasi Manusia (HAM) berikut pelanggarannya, foto-foto korban kekerasan negara, hingga tuntutan penuntasan berbagai kasus pelanggaran HAM yang pernah terjadi khususnya di Indonesia. Itulah sebuah gerakan yang dikenal sebagai Aksi Kamisan.

Aksi Kamisan ini biasa dilakukan oleh beragam elemen masyarakat. Dimulai dari korban sekaligus keluarga korban pelanggaran HAM, individu dan organisasi pegiat HAM, akademisi, pelajar dan mahasiswa, musisi, komedian, bahkan hingga seniman dan influencer sebagai suatu bentuk perjuangan dalam menagih juga menuntut keadilan dan pertanggungjawaban negara serta menolak lupa atas berbagai kasus pelanggaran HAM yang pernah terjadi di masa lalu.

Kasus yang disuarakan di setiap Aksi Kamisan ini pun sangat beragam. Sederet kasus yang kerap kali diangkat seperti kasus pembunuhan Marsinah (1993); Munir Said Thalib (2004); Genosida 1965-1966; Tragedi Tanjung Priok (1984); Tragedi Talangsari, Lampung (1989); Penghilangan Paksa 1997-1998; Kerusuhan Mei (1998); Tragedi Trisakti (1998), Tragedi Semanggi I (1998) dan II (1999); dan berbagai kasus pelanggaran HAM di tanah Papua (Tragedi Biak Berdarah, Wasior, Wamena, Paniai, dan sebagainya); serta berbagai kasus pelanggaran HAM terkini seperti Tragedi Kanjuruhan; Kriminalisasi Pejuang Lingkungan dan HAM; kekerasan aparat negara terhadap masyarakat sipil di berbagai titik, dan masih banyak kasus lainnya yang menjadi prioritas untuk selalu diperjuangkan dan terus digaungkan di setiap Aksi Kamisan.

Baca Juga: PAYUNG HITAM #20: Mengeja Ulang Makna “Kemerdekaan itu ialah Hak Segala Bangsa”
PAYUNG HITAM #21: Pembungkaman Kebebasan Berpendapat dan Berekspresi terhadap Aktivis HAM Haris-Fatia
PAYUNG HITAM #22: Seruan Merebut Ruang Kebebasan Sipil Warga!

17 Tahun Aksi Kamisan

Dan kini, tepat pada hari Kamis, 18 Januari 2024, Aksi Kamisan memasuki usia yang ke-17 tahun dengan tetap berdiri menggenggam payung hitam dengan pakaian serba hitam menggaungkan kekejaman negara terhadap warganya sendiri. Dengan mengusung tema #17TahunAksiKamisan: Orang Silih Berganti, Aksi Kamisan Tetap Berdiri, ini bertujuan untuk merespons bahwa selama kurun waktu tersebut, keadilan serta hak-hak korban dan keluarga korban tak kunjung dipenuhi oleh Negara. Selama belasan tahun, negara sendirilah yang justru berperan aktif dalam merawat impunitas (kekebalan hukum) dengan membiarkan para penjahat HAM duduk di kursi jabatan strategis pemerintahan tanpa pernah adanya penghukuman.

Tujuh belas tahun menjadi usia penanda bahwa seseorang telah layak untuk memiliki Kartu Tanda Penduduk (KTP) sebagai sebuah identitas kewarganegaraan dan telah berhak untuk memilih pada Pemilihan Umum. Berdirinya Aksi Kamisan selama 17 tahun ini justru malah menandai semakin hilangnya identitas korban. Satu persatu korban dan keluarga korban meninggal dunia tanpa pernah merasakan keadilan dan pemulihan yang layak dari Negara. Jika ada pengakuan dari Negara bahwa telah terjadi kasus pelanggaran HAM, itu hanya sebuah pengakuan omong kosong belaka layaknya pengakuan Negara yang memperbolehkannya orang berusia 17 tahun ke atas untuk terlibat aktif yang nyatanya justru hanya sebatas keterlibatan semu pada Pemilu yang digadang-gadang sebagai “pesta demokrasi”.

Momentum peringatan 17 tahun Aksi Kamisan ini jatuh pada masa kampanye Pemilu 2024. Ironisnya, Negara justru membiarkan Prabowo Subianto—yang namanya disebut dalam laporan penyelidikan Komnas HAM Republik Indonesia atas keterlibatannya dalam kasus penghilangan paksa aktivis 1997-1998—maju sebagai kandidat calon Presiden 2024-2029 untuk ketiga kalinya tanpa pernah adanya proses pengadilan terhadapnya. Ditambah, situasi seperti ini juga langsung berbarengan di tengah maraknya penegakan HAM sekaligus supremasi hukum yang buruk, termasuk semakin berlanjut bahkan mungkin terus berkembangnya pola-pola kekerasan yang dilakukan lagi dan lagi oleh aparat keamanan, juga kriminalisasi terhadap siapa pun yang melakukan kritik dan terkadang protes secara damai turut menjadi sasaran, hingga berbagai bentuk represi dan pembunuhan yang terus terjadi di luar hukum di tanah Papua.

Absennya negara dalam penuntasan berbagai kasus pelanggaran HAM ini juga tampaknya sengaja dilakukan agar secara perlahan para korban dan keluarga korban tak lagi menuntut hak-haknya karena usia yang semakin renta juga mungkin sebagian besar telah tutup usia. Hal semacam ini secara tidak langsung merupakan pembunuhan yang nyata terhadap korban dan keluarga korban yang identitasnya sengaja dihapuskan/dihilangkan agar orang-orang semakin lupa bahwa Negara adalah pelaku sesungguhnya yang enggan bertanggungjawab. Dan selama 17 tahun payung hitam di seberang Istana Negara menjadi saksi bisu perjuangan para penyintas, keluarga korban dan pegiat HAM yang hadir setiap hari Kamis sejak tanggal 18 Januari 2007 untuk melawan lupa dan mendesak negara mengusut tuntas kasus-kasus pelanggaran berat HAM secara hukum.

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//