PAYUNG HITAM #22: Seruan Merebut Ruang Kebebasan Sipil Warga!
Kemenangan Fatia-Haris melawan Luhut Binsar Pandjaitan menjadi gambaran bahwa sejatinya ruang kebebasan sipil yang direpresi negara sejatinya bisa direbut kembali.
Fayyad
Pegiat Aksi Kamisan Bandung
17 Januari 2024
BandungBergerak.id – Dago Elos kembali menjadi titik pertemuan antar jaringan, khususnya di Bandung pada Sabtu, 06 Januari 2024 lalu. Festival Keadilan yang digagas oleh jaringan sipil berhasil mendatangkan berbagai kalangan dengan semangat yang sama untuk terus mengobarkan api semangat perlawanan dan merapatkan kembali barisan perlawanan yang berangkat dari bagaimana otoritarianisme yang digelar oleh rezim saat ini mungkin sama saja dengan rezim Orde Baru atau bahkan mungkin melampaui dan melahirkan otoritarianisme gaya baru.
Terlihat bagaimana UU ITE terus menjerat dan membungkam siapa pun yang mengkritik negara berikut aparaturnya. Tak hanya itu, kita pun harus melihat lebih seksama bahwa otoritarianisme gaya baru ini ditempuh melalui jalur-jalur "legal/hukum", mulai dari revisi UU KUHP; UU KPK; UU Minerba; Omnibus Law dan peraturan turunannya; putusan MK 90; hingga UU Pemekaran Papua, setidaknya telah menjadi bukti bahwa supremasi hukum telah dikebiri dan hanya sebatas dijadikan alat kepentingan politik untuk memuluskan agenda-agenda para konglomerat, oligarki, kapitalis, dan segala macam kata gantinya.
Dengan mengambil tema "Solidaritas Tanpa Batas, Mimbar Gagasan dan Pertemuan Mendobrak Kebuntuan", Festival Keadilan di Dago Elos merespons kehadiran dari beberapa pegiat HAM, hukum dan demokrasi. Mulai dari Fatia Maulidiyanti dan Haris Azhar yang dijerat UU ITE oleh Luhut Binsar Panjaitan (LBP), Robertus Robert yang juga pernah dipolisikan atas kasus pencemaran nama baik, Bivitri Susanti selaku pakar hukum tata negara, M. Isnur sebagai ketua YLBHI, Eko Prasetyo selalu founder SMI, hingga Rocky Gerung turut menyampaikan solidaritas terhadap warga Dago Elos yang hingga detik ini masih berjuang mempertahankan tanahnya ditengah ancaman penggusuran oleh keluarga Muller bersaudara yang sebenarnya adalah penipu.
Baca Juga: PAYUNG HITAM #19: Ilusi Basi Mengayomi dan Melindungi
PAYUNG HITAM #20: Mengeja Ulang Makna “Kemerdekaan itu ialah Hak Segala Bangsaâ€
PAYUNG HITAM #21: Pembungkaman Kebebasan Berpendapat dan Berekspresi terhadap Aktivis HAM Haris-Fatia
Solidaritas yang Mendobrak Kebuntuan
Tak hanya solidaritas terhadap warga Dago Elos saja, lebih daripada itu menggaungkan pula solidaritas terhadap siapa pun yang tertindas oleh rakusnya kekuasaan baik itu kalangan petani di desa-desa, buruh di berbagai pabrik, pelajar/mahasiswa di kampusnya masing-masing, rakyat miskin kota di bawah ancaman rezim pembangunan yang rakus menggusur, serta berbagai elemen warga lainnya harus menjadi perhatian bersama; dan mulai berbagai cerita satu sama lain dengan terus melakukan pertemuan-pertemuan yang bisa mendobrak kebuntuan, di mana hari ini sebagian besar dari kita merasakan hal tersebut.
Pada tahun politik seperti saat ini, janji-janji yang pernah dilontarkan oleh Jokowi kembali di ulangi oleh 3 pasangan capres-cawapres. Di belakang mereka (capres-cawapres hingga caleg sekalipun) harus dilihat ada siapa di balik mereka, dan seperti yang sudah-sudah mereka punya kedekatan dengan konglomerat yang sama, akrab satu sama lain untuk terus berkuasa dan melakukan pembangunan yang hanya akan menguntungkan para konglomerat saja, sedangkan warga hanya akan menerima imbas dari pembangunan tersebut yang mana memang tidak pernah diperuntukkan bagi warga yang tertindas. Maka, sudah menjadi keharusan bagi kita untuk menolak dijadikan sebagai angka pada survei-survei elektabilitas hari ini, dan menyatakan bahwa kita bukan hanya sekedar angka, kita adalah nyawa yang berhak terbebas dari belenggu politik praktis dan mulai membangun politik alternatifnya sendiri.
Berkaca pada pertemuan mendobrak kebuntuan di Festival Keadilan Dago Elos kemarin, kemenangan kecil Fatia-Haris melawan LBP, menjadi gambaran dan seruan bersama bahwa ruang-ruang kebebasan sipil warga yang kian hari kian di represi oleh negara itu sejatinya bisa kita rebut kembali dan keadilan juga harus menjadi bagian yang kita rebut dan pertahankan di setiap harinya. Hari ini perlawanan bukan sebatas persoalan menang atau kalah, akan tetapi adalah bagaimana kita harus terus melawan, menentukan posisi keberpihakan pada kebenaran, membuat garis demarkasi yang jelas, dan telah melawan dengan sehormat-hormatnya. Jika solidaritas adalah senjata, mari kita kokang bersama.