• Kolom
  • PAYUNG HITAM #21: Pembungkaman Kebebasan Berpendapat dan Berekspresi terhadap Aktivis HAM Haris-Fatia

PAYUNG HITAM #21: Pembungkaman Kebebasan Berpendapat dan Berekspresi terhadap Aktivis HAM Haris-Fatia

Pemidanaan Haris dan Fatia merupakan bentuk represif negara terhadap partisipasi publik dan melanggar prinsip dari demokrasi.

Ardhyansyah

Mahasiswa STHI Jentera

Dua aktivis HAM Haris Azhar dan Fatia Maulidiyanti divonis bebas dari kasus pencemaran nama baik, Senin, 8 Januari 2024. (Foto: Muhammad Akmal Firmansyah/BandungBergerak.id)

9 Januari 2024


BandungBergerak.id – “Kita memuji demokrasi tetapi memotong lidah seseorang kalau berani menyatakan pendapat yang merugikan pemerintah” - Soe Hok Gie

Kutipan tersebut diambil dari buku Soe Hok Gie: Catatan Seorang Demonstran. Gie (1983) merespons penangkapan Mochtar Lubis dan pemberangusan koran Harian Rakyat yang merupakan bentuk pelanggaran terhadap demokrasi.

Hal serupa terjadi di tahun menuju pesta demokrasi. Dari sekian banyak pemberangusan kebebasan berpendapat dan berekspresi, terdapat sebuah kasus yang mencuat cukup keras yaitu pemidanaan aktivis hak asasi manusia Haris Azhar dan Fatia Maulidiyanti. Keduanya dituntut dengan Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) atas tuduhan pencemaran nama baik dan memberitakan berita bohong terkait seorang pejabat negara.

Permasalahan tersebut bermula ketika Haris Azhar dan Koordinator KontraS Fatia Maulidiyanti merilis sebuah video podcast pada tanggal 20 Agustus 2021 di channel YouTube HARIS AZHAR dengan judul “ADA LORD LUHUT DI BALIK RELASI EKONOMI-OPS MILITER INTAN JAYA!! JENDERAL BIN JUGA ADA!! NgeHAMtam”. Podcast tersebut membicarakan hasil riset kajian cepat yang dilakukan oleh 10 Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang tergabung dalam Bersihkan Indonesia mengenai situasi di Papua dan keterlibatan Menteri Koordinator bidang Maritim dan Investasi Luhut Binsar Panjaitan di dalam bisnis tambang emas di Blok Labu, Intan Jaya, Papua.

Tak lama setelah mengunggah video tersebut, Luhut Binsar Panjaitan melayangkan somasi kepada Haris dan Fatia. Luhut merasa apa yang dibahas dalam podcast tersebut merupakan berita bohong dan telah mencemarkan nama baiknya. Pada 15 Agustus 2021 diadakan mediasi antara kedua belah pihak, namun hasilnya gagal dan berujung pelaporan Haris-Fatia pada tanggal 22 September 2021 ke Polda Metro Jaya.

Dalam kasus tersebut mungkin kita bertanya-tanya, apa itu kebebasan berpendapat dan berekspresi? Apa kebebasan berpendapat dan berekspresi dapat berujung pemidanaan? Dan apakah seorang pejabat negara tidak boleh untuk dikritik?

Baca Juga: Haris Azhar dan Fatia Maulidiyanti Tersangka Pencemaran Nama Baik Luhut Binsar Panjaitan
Koalisi Serius Revisi UU ITE: Tuntutan Hukum kepada Fatia dan Haris adalah Bentuk Kriminalisasi terhadap Kritik
Vonis Bebas Haris Fatia sebagai Simbol tidak Boleh Takut Mengkritik Pejabat Publik

Apa itu Kebebasan Berpendapat dan Berekspresi?

Istilah kebebasan berekspresi telah muncul sejak zaman Yunani kuno tepatnya di polis Athena. Orang Yunani kuno yang menggagas kebebasan berekspresi sebagai pilar demokrasi. Dalam kata Yunani Kuno “parrhesia” memiliki arti “kebebasan berbicara” atau “berbicara terus terang.” Sejak saat itu “parrhesia” menjadi bagian paling fundamental dari demokrasi Athena. Para pemimpin, filsuf dan warga Athena sehari-harinya bebas untuk berdiskusi politik maupun agama secara terbuka, serta mengkritik pemerintah yang berkuasa.

Kebebasan berpendapat dan berekspresi merupakan jiwa dari demokrasi, tanpa kebebasan tersebut demokrasi bukanlah apa-apa melainkan ide tanpa jiwa. Demokrasi merupakan pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Mustahil ada pemerintahan dari rakyat, jika rakyat tidak memiliki kebebasan untuk berpendapat. Menurut Asfinawati (eks direktur YLBHI) , kebebasan berpendapat merupakan inti dari demokrasi dan menurutnya tidak akan ada demokrasi tanpa kebebasan berpendapat. Dengan adanya kebebasan tersebut seseorang dapat memperoleh kesetaraan dan keadilan, tanpa kebebasan rasanya sukar untuk bisa setara apalagi mendapatkan keadilan. Menurut Freedomhouse, Kebebasan berpendapat dan berekspresi dapat mendorong perdebatan terbuka, semakin banyak pertimbangan dikarenakan banyak pandangan dan kepentingan, serta dapat mendorong negosiasi dan kompromi untuk menentukan suatu kebijakan berdasarkan konsensus.

Kebebasan berpendapat dan berekspresi merupakan hak asasi setiap manusia. Hak tersebut bukan hak yang diberikan oleh negara atau para penguasa melainkan hak yang diberikan oleh Tuhan kepada manusia sejak manusia tersebut ada di dunia ini. Di Indonesia, hak asasi manusia baru diakui dan dijamin sebagai hak konstitusi setiap warga negara melalui amandemen kedua UUD 1945.

Kebebasan berpendapat dan berekspresi diatur dalam Pasal 28E ayat (3) UUD 1945 yang berbunyi  “Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat.” dan Pasal 28F UUD 1945 “Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia”. Sebelum amandemen kedua UUD 1945, HAM sudah memiliki Undang-undang yang mengaturnya yaitu pada UU No. 39 Tahun 1999. Kebebasan berpendapat dan berekspresi diatur dalam UU tersebut di dalam Pasal 23 ayat (2). Kemudian pada 2005, Indonesia meratifikasi Kovenan Internasional Hak-hak Sipil dan Politik (KIHSP) atau International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR) ke dalam UU No. 12 Tahun 2005 tentang pengesahan KIHSP yang mana di dalam pasal 19 ayat (1) dan (2) dijelaskan tentang kebebasan untuk memiliki pendapat tanpa campur tangan pihak lain dan kebebasan untuk mengemukakan pendapat.

Batasan-batasan Kebebasan

Kebebasan berpendapat dan berekspresi, sebagaimana diatur dalam Pasal 28E ayat 3 dan 28F merupakan hak yang dapat dibatasi dengan alasan-alasan yang sah (legitimate). Didalam pasal 28J UUD 1945 berisi “Setiap orang wajib menghormati hak asasi manusia orang lain dalam tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Kebebasan memiliki batasan yaitu melarang memungkiri hak asasi manusia orang lain. Namun, di dalam KIHSP pada pasal 4 dan pendapat Komite HAM menyatakan bahwa terdapat beberapa hal dalam Pasal 19 KIHSP yang tidak boleh dikurangi ataupun diderogasikan, yaitu kebebasan mengemukakan pendapat (opinion), sehingga kebebasan tersebut tidak dapat dikurang, dikecualikan ataupun dibatasi dalam situasi apa pun termasuk dalam keadaan darurat (“Melindungi Ekspresi: Analisis Pidana dan HAM atas Putusan Pengadilan di Indonesia”, LEIP, 2022).

Berbeda dengan kebebasan berpendapat, kebebasan berekspresi diatur dan dapat dibatasi dengan alasan-alasan tertentu dalam Pasal 19 ayat (3) KIHSP. Pembatasan tersebut harus diatur dengan hukum (prescribed by law), pembatasan tersebut bertujuan untuk: (i) menghormati hak atau reputasi orang lain; (ii) melindungi keamanan nasional, ketertiban umum, kesehatan atau moral publik. Pembatasan tersebut haruslah lolos uji keterpaksaan (necessity) dan proporsional. Pembatasan tersebut bertujuan agar masyarakat sipil terjaga hak dan reputasinya, namun pembatasan ini tidak dapat digunakan untuk menjaga hak atau reputasi pejabat negara. Andreas Harsono seorang jurnalis senior Human Rights Watch dalam wawancaranya mengatakan bahwasanya pembatasan tersebut ditujukan untuk melindungi masyarakat sipil dan bukan untuk melindungi pejabat negara. Ia menerangkan bahwa pejabat negara memiliki berbagai power, dan privilege atau hak istimewa yang tentu tidak dimiliki oleh masyarakat sipil.

Kritik terhadap Pejabat Negara

Dalam kasus Haris dan Fatia vs Luhut, kebebasan berpendapat seharusnya tidak boleh diadili, karena pendapat tersebut ditujukan bukan kepada seorang individu atau masyarakat sipil melainkan untuk seorang pejabat negara yang memiliki kuasa dan hak istimewa. Asfinawati menerangkan bahwa kritik terhadap seorang pejabat negara harus selalu dilakukan, jika kritik tersebut mendapatkan hambatan atau halangan sehingga kritik terhadap negara tidak dapat dilakukan, maka demokrasi berada di dalam ancaman serius. Ia mengatakan bahwa kritik tersebut merupakan bentuk partisipasi publik untuk mengawasi jalannya pemerintahan. Terkait kritik Haris dan Fatia terhadap Luhut, Ia mengatakan bahwa seharusnya pejabat negara haruslah tahan terhadap kritik-kritikan karena mereka memiliki banyak privilege.

Kebebasan berpendapat merupakan hak setiap manusia. Maka dari itu pemidanaan Haris dan Fatia merupakan bentuk pelanggaran HAM. Sebagai negara yang demokratis dan negara hukum, seharusnya negara menjamin dan menjaga hak kebebasan berpendapat setiap warga negaranya tetap ada.

Kebebasan berpendapat amatlah penting dalam demokrasi, karena merupakan sebuah pilar utama demokrasi, jika pilar tersebut tiada, maka demokrasi berada dalam kehancuran. Salah satu bentuk kebebasan berpendapat adalah kebebasan untuk melakukan kritik terhadap pejabat negara. Lord Acton pernah mengatakan bahwa “Power tends to corrupt, absolute power corrupt absolutely” maka dari itu kritik terhadap pejabat negara merupakan suatu bentuk partisipasi publik dalam pengawasan terhadap kekuasaan yang memiliki kecenderungan korup.

Pemidanaan Haris dan Fatia merupakan bentuk represif negara terhadap partisipasi publik dan melanggar prinsip dari demokrasi. Namun dari kasus tersebut tidak boleh menjadi akhir dari kebebasan berpendapat dan berekspresi, malahan harus menjadi pemantik dari kritikan-kritikan yang lebih banyak dan lebih keras lagi terhadap negara. Kita tidak boleh diam terhadap pembungkaman tersebut, kita harus bersuara lebih keras, jika kita diam, maka lambat laun kebebasan kita akan lenyap, dan jika kebebasan tersebut lenyap, sukar untuk kita memperoleh kesetaraan dan keadilan.

*Tulisan kolom PAYUNG HITAM merupakan bagian dari kolaborasi antara BandungBergerak.id dan Aksi Kamisan Bandung.

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//