• HAM
  • Koalisi Serius Revisi UU ITE: Tuntutan Hukum kepada Fatia dan Haris adalah Bentuk Kriminalisasi terhadap Kritik

Koalisi Serius Revisi UU ITE: Tuntutan Hukum kepada Fatia dan Haris adalah Bentuk Kriminalisasi terhadap Kritik

Kasus kriminalisasi yang menjerat dua aktivis pembela hak asasi manusia Fatia Maulidiyanti dan Haris Azhar menunjukkan UU ITE harus direvisi.

Para pendukung Haris dan Fatia membentangkan spanduk protes atas proses hukum yang berjalan karena dianggap sebagai bentuk pembungkaman terhadap kritik. (Foto: Delpedro Rismansyah/BandungBergerak.id)

Penulis Iman Herdiana20 November 2023


BandungBergerak.id - Kasus kriminalisasi yang menjerat dua aktivis pembela hak asasi manusia Fatia Maulidiyanti dan Haris Azhar telah sampai pada proses persidangan ke-28 dengan agenda tuntutan pada Senin, 13 November 2023. Jaksa Penuntut Umum membacakan tuntutan pidana 4 tahun penjara untuk

Haris Azhar dengan denda 1 juta rupiah subsider kurungan 6 bulan, sedangkan Fatia Maulidiyanti dituntut 3 tahun 6 bulan penjara dengan denda 500.000 rupiah dengan subsider kurungan 3 bulan.

Keduanya harus berhadapan dengan proses hukum sejak Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, Luhut Binsar Pandjaitan (LBP), melaporkan keduanya dengan pasal 27 ayat 3 tentang pencemaran nama baik dalam Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) karena menyampaikan tentang dugaan kepemilikan saham LBP pada bisnis tambang di Intan Jaya, Papua.

Di dalam siaran video atau podcast kanal nge-HAM-tam di YouTube berjudul “ADA LORD LUHUT DIBALIK RELASI EKONOMI-OPS MILITER INTAN JAYA? JENDERAL BIN JUGA ADA?” yang dikelola Haris Azhar di Youtube keduanya menyitir hasil riset 9 lembaga “Kajian Ekonomi Politik Penempatan Militer di Papua: Kasus Intan Jaya” (Lihat laporan KontraS atau WALHI) yang menemukan adanya konflik kepentingan LBP dan keterlibatan TNI pada gurita bisnis tambang di Intan Jaya, Papua. KontraS yang saat itu dipimpin Fatia Maulidiyanti termasuk salah satu lembaga yang melakukan riset tersebut.

Koalisi Serius Revisi UU ITE menyatakan, kasus kriminalisasi ini merupakan ancaman serius terhadap kebenaran dan demokrasi serta menambah panjang daftar praktik kriminalisasi terhadap aktivis hak asasi manusia menggunakan pasal karet UU ITE.

“Tuntutan hukum terhadap Fatia dan Haris merupakan bentuk kriminalisasi terhadap kritik. Tindakan atau kebijakan Negara ini akan menimbulkan efek gentar dan menyebarkan ketakutan yang dapat membuat masyarakat enggan untuk menyampaikan pendapatnya, jelas-jelas tidak sejalan dengan semangat demokrasi dan jauh dari standar HAM internasional,” demikian pernyataan sikap Koalisi Serius Revisi UU ITE, dikutip Senin, 20 November 2023.

Perlu diingat kembali bahwa hak atas kebebasan berekspresi telah dijamin oleh Pasal 19 Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik (ICCPR), yang juga telah diratifikasi oleh Indonesia melalui UU No. 12 Tahun 2005. Dalam hukum nasional, hak atas kebebasan berpendapat juga dijamin di dalam konstitusi UUD 1945, khususnya Pasal 28E Ayat (3), dan juga Pasal 23 Ayat (2) UU No. 39 Tahun 1999.

Di sisi lain, sebagai salah satu anggota Dewan Hak Asasi Manusia PBB, Indonesia sudah seharusnya memenuhi komitmen untuk melindungi para pembela hak asasi manusia sebagaimana tercantum dalam Deklarasi Pembela HAM yang disepakati melalui resolusi Sidang Umum PBB.

Amnesty International Indonesia mencatat bahwa setidaknya 1.021 pembela hak asasi manusia mengalami penuntutan, penangkapan, serangan, dan ancaman dari berbagai pihak pada periode Januari 2019 hingga Desember 2022. Selama rentang waktu yang sama, 332 orang dituduh dengan UU ITE, sebagian besar dengan tuduhan pencemaran nama baik.

Merespons situasi terakhir ini, Koalisi Serius Revisi UU ITE menyatakan:

Memrotes keras tuntutan Jaksa Penuntut Umum terhadap Fatia Maulidiyanti dan Haris Azhar. Kebebasan berekspresi dan berpendapat adalah hak dasar yang dijamin oleh konstitusi dan konvensi hak asasi manusia yang telah diratifikasi oleh Indonesia.

Tuntutan hukum pencemaran nama baik terhadap keduanya seharusnya tidak diterima karena sungguh berasal dari fakta penelitian terkait dengan informasi yang berasal dari riset dan laporan. Tuntutan hukum ini menunjukkan bahwa sekalipun kritik berbasis pada analisis dan fakta tetap dapat dihukum jika tidak sesuai dengan kepentingan kekuasaan.

Mendorong agar proses penegakan hukum dilakukan secara adil, imparsial, dan transparan. Jaksa dan aparat penegak hukum harus bertindak sesuai dengan prinsip-prinsip keadilan dan profesionalisme. Pernyataan yang merendahkan dan merusak proses peradilan tidak seharusnya menjadi bagian dari penegakan hukum yang berintegritas.

Menuntut hakim agar memutus bebas Fatia Maulidiyanti dan Haris Azhar untuk membela hak konstitusional warga yang melakukan kritik terhadap penyelenggaraan negara yang tidak memenuhi kaidah good governance dan sekaligus menjunjung nilai demokrasi.

Mendesak pemerintah dan DPR RI untuk merevisi UU ITE dengan menghapus duplikasi pasal KUHP, UU PDP, UU TPKS, mencabut pasal yang mengebiri demokrasi dan tidak proporsional, dan memperbaiki tata kelola internet yang tidak selaras dengan standar hukum internasional. Kasus ini mencerminkan permasalahan lebih besar terkait dengan UU ITE dan penyalahgunaannya. 

Dalam menghadapi situasi ini, Koalisi Serius Revisi UU ITE mengajak seluruh masyarakat Indonesia untuk bersatu dalam memperjuangkan kebebasan berekspresi dan hak asasi manusia. Negara seharusnya melindungi, bukan membatasi, hak-hak warganya untuk menyuarakan pendapat dan berpartisipasi dalam pembangunan demokrasi.

Koalisi Serius Revisi UU ITE terdiri dari: Aliansi Jurnalis Independen (AJI), Amnesty International Indonesia, Greenpeace Indonesia, Indonesia Corruption Watch (ICW), Indonesia Judicial Research Society (IJRS), Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), Imparsial, JALA PRT, Koalisi Perempuan Indonesia, Komite Perlindungan Jurnalis dan Kebebasan Berekspresi (KPJKB) Makassar, Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, LBH Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan (APIK) Jakarta, LBH Jakarta, LBH Masyarakat, LBH Pers Jakarta;

Lembaga Kajian dan Advokasi Independensi Peradilan (LeIP), Lembaga Studi & Advokasi Masyarakat (ELSAM), Lintas Feminist Jakarta (Jakarta Feminist), Paguyuban Korban UU ITE (PAKU ITE), Perhimpunan Bantuan Hukum & Hak Asasi Manusia (PBHI), Protection International Indonesia, Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK), Pusat Kajian dan Advokasi Perlindungan dan Kualitas Hidup Anak Universitas Indonesia (PUSKAPA UI), Remotivi, Rumah Cemara, Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFEnet), Yayasan LBH Indonesia (YLBHI), Yayasan Penguatan Partisipasi, Inisiatif, dan Kemitraan Masyarakat Indonesia (YAPPIKA). 

Semua Bisa Kena

Pasal-pasal karet yang ada di dalam UU ITE telah banyak memakan korban. Undang-undang ini merupakan ancaman serius terhadap kebebasan sipil di Indonesia. Saat melakukan aktivitasaktivitas yang sah untuk mendorong penegakkan hak asasi manusia (HAM), para pembela dan organisasi HAM menghadapi ancaman dan serangan, baik secara langsung maupun digital.

Amnesty International Indonesia mencatat selama periode Januari 2019 sampai Mei 2022, terdapat setidaknya 328 kasus serangan fisik dan/atau digital terhadap masyarakat, dengan setidaknya 834 korban. Korban-korban ini mencakup pembela HAM, aktivis, jurnalis, pembela lingkungan, mahasiswa, dan demonstran.

“Terduga pelaku dari serangan dan intimidasi ini adalah aktor negara dan non-negara. Laporan ini mencermati pola represivitas dengan bersumber pada kasus-kasus yang dicatat oleh Amnesty International antara Januari 2019 sampai Mei 2022,” demikian dikutip dari laporan Amnesty International Indonesia

Rata-rata, korban dijerat pasal 27 (1) dan 28 (2) UU ITE. Jumlah korban kriminalisasi paling tinggi setiap tahunnya berasal dari masyarakat umum. Artinya semua bisa kena pasal karet ini, bukan hanya aktivis saja yang rentan.

“Laporan ini berdasarkan pada wawancara dengan 52 narasumber yang terdiri dari pembela HAM, aktivis, mahasiswa, advokat, dan jurnalis, serta berdasarkan laporan media dan berkas kasus. Laporan ini membahas tergerusnya ruang masyarakat sipil di Indonesia sebagai dampak dari serangan terhadap kebebasan berekspresi, berkumpul, dan berserikat secara damai, keamanan pribadi, dan hak untuk bebas dari penahanan sewenang-wenang,” papar Amnesty International Indonesia.

*Kawan-kawan yang baik bisa membaca lebih lanjut mengenai artikel-artikel hak asasi manusia lainnya

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//