• Opini
  • MAHASIWA BERSUARA: Menghukum Kejahatan Siber di Era Digital

MAHASIWA BERSUARA: Menghukum Kejahatan Siber di Era Digital

Kejahatan siber semakin berbahaya seiring dengan pesatnya kemajuan internet dan teknologi.

Bryan Anthony

Mahasiswa Jurusan Hukum Universitas Katolik Parahyangan (Unpar) Bandung

Pesan yang muncul saat mengakses situs yang diduga menjadi korban serangan siber. (Foto: Tri Joko Her Riadi/Bandungbergerak.id)

18 Januari 2024


BandungBergerak.id – Hukum pada hakikatnya akan selalu mengalami transformasi dikarenakan zaman yang terus berubah sepanjang waktu. maka dari itu, hukum sudah seharusnya dapat beradaptasi dan berkembang sesuai dengan perkembangan zaman. Dan kita sudah memasuki era baru yang disebut era digital di mana masa ketika informasi mudah dan cepat diperoleh serta disebarluaskan menggunakan teknologi digital. Hal ini menimbulkan berbagai kasus seperti pencemaran nama baik, penyebaran hoaks, peretasan, dan lain sebagainya. hal ini menjelaskan bahwa diperlukan peraturan yang mengatur tentang penggunaan media di era digital ini agar masyarakat merasa aman dan damai hidup di era digital ini, salah satu hukum tersebut disebut hukum cyber crime atau kejahatan siber.

Saat ini banyak terjadi kasus kejahatan siber di dunia. Bahkan menurut data BSSN, ada lebih dari 1 miliar kasus kejahatan siber yang terjadi sepanjang tahun 2022. Dan di Indonesia sendiri sering juga terjadi kasus penyalahgunaan media di era digital seperti pencurian data bank syariah, berita hoaks tentang Nyamuk Wolbachia Tularkan Radang otak (BSSN, 2023).

Kurangnya penerapan sekuritas siber yang baik, menimbulkan niat jahat dari banyak orang yang memanfaatkan media digitalisasi ini untuk kepentingan pribadi/kelompok. Perlu disadari juga era digital ini mempunyai potensi besar yang membuat banyak pihak terlibat. Maka dari itu, apa peran pemerintah dalam menangani kasus ini? Apa upaya kita dalam menangani perkembangan era digital ini? Bagaimana sistem hukum mengatur masalah era digital ini?

Baca Juga: Mengenal Ragam Kejahatan Siber
Tertinggalnya Regulasi Hukum dari Perkembangan Kejahatan Siber
Mengatasi Perundungan Siber dengan Pendekatan Statistika

Kejahatan Siber

Kehadiran teknologi canggih komputer dengan jaringan internet telah membawa manfaat besar bagi manusia, kegunaan tidak hanya bagi pemerintahan, pihak swasta, dan lain sebagainya, akan tetapi sudah menjangkau pada seluruh sektor kehidupan setiap masyarakat. Akan tetapi, kemajuan teknologi informasi ini dan segala bentuk manfaat di dalamnya dapat juga menimbulkan konsekuensi negatif di mana pelaku-pelaku kejahatan melihat potensi untuk melakukan aksinya yang dapat merugikan masyarakat. Penyalahgunaan inilah yang kemudian dikenal dengan kejahatan siber.

Kejahatan siber dapat berdampak pada kesehatan mental, finansial, bahkan Doxxing yang mana itu adalah salah satu contoh kejahatan siber yang sangat berbahaya yang mengarah pada cyberbullying hingga pengambilan data pribadi dan penyebarannya di internet. Tujuan tindakan ini sangat beragam. mulai dari ancaman, pemerasan, penghinaan, dan mengambil keuntungan dari orang lain. Kejahatan siber semakin berbahaya seiring dengan pesatnya kemajuan internet dan teknologi.

Perkembangan Kasus dan Putusan Hakim tentang Kejahatan Siber

Dalam perkembangannya juga kejahatan siber semakin merajalela Kasus-kasus terkini yang melibatkan pencurian data pribadi dan identitas pengguna seperti yang terjadi pada kasus pencurian data bank BSI (Bank Syariah Indonesia) pada tahun 2023, kebocoran data pengguna Tokopedia pada tahun 2020 , peretasan channel Youtube terkenal Windah Basudara, kebocoran data asuransi BRI Life pada tahun 2021, kasus doxxing virtual Youtuber terkenal Kureiji Ollie, dan masih banyak kasus lainnya yang bahkan tidak diberitakan.

Hal ini menunjukkan bahwa semakin hari, kejahatan siber makin banyak dikarenakan makin lihainya pelaku akan teknologi sehingga mereka mempunyai kemampuan untuk melakukan aksinya, ditambah lagi keamanan siber juga yang masih rentan di beberapa negara seperti Indonesia yang membuat kejahatan siber sering terjadi. Putusan hukum yang terjadi dalam Indonesia juga banyak terjadi seperti yang tercatat dalam website direktori putusan hakim. Tercatat sampai pada tahun 2023 ada sekitar 435 putusan, yang di mana hanya 1 putusan yang menyatakan bahwa terdakwa bebas dari hukuman, artinya di Indonesia ini sendiri hukuman yang diterapkan sangat ketat sehingga pelaku susah untuk bebas dari hukuman kejahatan siber ini.

Perkembangan Hukum Positif tentang Kejahatan Siber

Kejahatan siber ini sangat berdampak pada berbagai aspek bidang kehidupan. Banyak yang menganggap bahwa keberadaan KUHP tidak mampu menjangkau kejahatan siber ini, sehingga pemerintah menginisiasi lahirnya aturan tentang kejahatan siber. Berdasarkan dokumen yang ada, Undang-undang tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) yaitu Undang-undang Nomor 19 Tahun 2016 atas perubahan Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008. UU Nomor 11 Tahun 2008 direvisi dikarenakan isi dari hukum tersebut kurang relevan dengan zaman era digital ini.

Revisi UU Nomor 11 Tahun 2008 yang menjadi UU Nomor 19 Tahun 2016 mencerminkan respons pemerintah Indonesia terhadap dinamika yang terus berubah dalam masyarakat, ekonomi, dan politik. Undang-undang sebelumnya, yang berkaitan dengan subjek hukum atau isu tertentu, telah berperan sebagai kerangka hukum selama beberapa tahun. Namun, perubahan dalam nilai-nilai sosial, perkembangan kultural, dan tuntutan teknologi yang maju semakin pesat  mendorong perlunya peninjauan kembali. Revisi ini tidak hanya dilakukan untuk mengakomodasi perubahan-perubahan tersebut tetapi juga untuk mengatasi ketidakjelasan hukum dan kelemahan implementasi yang mungkin ada pada undang-undang sebelumnya.

Dorongan untuk revisi dapat dilihat dari isi undang-undang itu sendiri yang mana sebelumnya tidak memiliki kerincian tentang apa saja yang dilarang, namun setelah direvisi undang-undang yang baru menjelaskan secara rinci tentang apa saja yang dilarang dalam penggunaan media dan informasi seperti dilarang menyebarkan video asusila, judi online, teror online, dan masih banyak lagi. Revisi ini juga merupakan upaya untuk menciptakan undang-undang yang lebih adil, setara, dan responsif terhadap kebutuhan masyarakat yang selalu beradaptasi.

Dengan demikian, revisi UU Nomor 11 Tahun 2008 menjadi UU Nomor 19 Tahun 2016 dapat dipahami sebagai langkah proaktif pemerintah Indonesia dalam menjaga relevansi hukum dengan perubahan zaman, menciptakan lingkungan hukum yang sesuai dengan nilai-nilai dan tuntutan masyarakat modern, serta meningkatkan keadilan dan keberlanjutan.

Di era digital yang terus berkembang, kejahatan siber telah menjadi ancaman nyata bagi masyarakat, perusahaan, dan lembaga pemerintah. Walaupun sudah ada hukum yang mengatur dan melindungi masyarakat yang memakai teknologi, tetap saja banyak korban. Maka dari itu memerangi kejahatan siber memerlukan upaya kolektif dari masyarakat sendiri dalam hal menggunakan teknologi yang semakin berkembang.

Menangani Kejahatan Siber

Upaya dalam menghadapi kompleksitas dan ketidakpastian dunia digital bisa dilakukan dengan banyak cara dan berbagai antisipasi. Upaya pertama kita sebagai masyarakat adalah meningkatkan kesadaran dan pendidikan digital. Dengan mengembangkan Pendidikan digital yang efektif dapat membantu masyarakat memahami taktik serangan, mengidentifikasi ancaman, dan mengimplementasikan tindakan keamanan yang tepat.

Upaya kedua bisa juga melakukan pelaporan kepada pihak yang berwenang ketika terjadi kejahatan siber. Hal tersebut dilakukan untuk menyelesaikan kasus bahkan bisa menggantikan kerugian terhadap korban kejahatan siber. Dan yang ketiga adalah melakukan perlindungan data pribadi di setiap aplikasi online, dan berbagai platform digital yang memerlukan data. Ini termasuk penggunaan kata sandi yang kuat, kehati-hatian dalam berbagi informasi pribadi online, dan memahami risiko terkait privasi di dunia digital.

Melihat uraian yang telah dipaparkan diatas disimpulkan bahwa dalam menghadapi tantangan kejahatan siber di era digital, terdapat beberapa aspek yang perlu diperhatikan. Pertama, peran hukum dan regulasi menjadi sangat penting untuk mengatur penggunaan media di era digital. Revisi UU Nomor 11 Tahun 2008 menjadi UU Nomor 19 Tahun 2016 mencerminkan respons pemerintah terhadap perubahan dinamika masyarakat dan teknologi. Revisi ini tidak hanya meningkatkan kejelasan hukum tetapi juga menciptakan kerangka hukum yang lebih responsif terhadap perkembangan zaman.

Kedua, upaya masyarakat juga menjadi kunci dalam menangani kejahatan siber. Peningkatan kesadaran, pendidikan digital, pelaporan insiden, dan perlindungan data pribadi adalah langkah-langkah yang dapat diambil oleh masyarakat untuk melibatkan diri dalam menjaga keamanan digital. Keterlibatan aktif masyarakat bersama dengan penerapan hukum yang ketat dapat membentuk pertahanan yang kokoh terhadap ancaman kejahatan siber yang semakin kompleks dan merajalela di era digital. Dengan demikian, sinergi antara peraturan hukum dan partisipasi aktif masyarakat menjadi fondasi utama dalam menciptakan lingkungan digital yang aman dan terlindungi.

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//