• Opini
  • MAHASISWA BERSUARA: Membedah Penerapan Arsitektur Vernakular pada Restorasi Rumah Adat Mbaru Niang

MAHASISWA BERSUARA: Membedah Penerapan Arsitektur Vernakular pada Restorasi Rumah Adat Mbaru Niang

Konservasi dan pembangunan ulang rumah adat Mbaru Niang mempertahankan integritas bangunan khas Suku Manggarai di Desa Wae Rebo, Flores.

Teresa Harumi Boestami

Mahasiswa Jurusan Arsitektur Universitas Katolik Parahyangan (Unpar) Bandung.

Kampung Adat Wae Rebo di Desa Satar Lenda, Kecamatan Satarmese Barat, Kabupaten Manggarai, NTT. (Foto: kemdikbud.go.id)

20 Januari 2024


BandungBergerak.id – Menurut Amos Rapoport, arsitektur vernakular merupakan sebuah gaya arsitektur yang tumbuh dari arsitektur rakyat serta segala tradisi lokal sebuah daerah. Arsitektur vernakular juga turut memanfaatkan dan memaksimalkan potensi setempat seperti material, pengetahuan, dan teknologi yang diterapkan pada pembangunan.

Penemuan arsitektur vernakular biasa dilakukan melalui system trial and error, dengan teknik yang dilestarikan secara turun-temurun tanpa menghadapi perubahan yang begitu signifikan. Maka dari itu, Rapoport menyimpulkan bahwa arsitektur vernakular selalu berkaitan besar dengan arsitektur tradisional.

Di Indonesia sendiri, arsitektur vernakular telah berada sejak dulu kala. Bukti yang paling nyata merupakan rumah adat.

Setiap rumah adat di Indonesia unik ke daerahnya sendiri, dengan karakteristik yang berbeda dan ciri khas masing-masing. Oleh karena itu, budaya ini harus terus dilestarikan, seperti Mbaru Niang di Desa Wae Rebo. Mbaru dengan arti rumah, dan Niang yang berarti tinggi dan bulat. Secara khusus, rumah adat ini telah melalui fase pembangunan ulang dan preservasi pada tahun 2011. Kemudian, pada tahun 2012 Mbaru Niang mendapatkan penghargaan tertinggi dari UNESCO dalam kategori konservasi warisan budaya.

Baca Juga: Kampung Adat Cireundeu Bertahan dalam Perubahan Zaman
Universitas Indonesia Mengusulkan Pengembangan Narasi Budaya Digital bagi Kampung-kampung Adat di Nusantara
Mbaru Gendang sebagai Ruang Publik dalam Menyelesaikan Konflik Tanah di Manggarai

Restorasi Rumah Adat Mbaru Niang

Sebelum direstorasi, bangunan orisinal yang terdapat di Wae Rebo hanya tersisa empat rumah dalam keadaan keruntuhan. Namun dengan bantuan tim arsitek dari Rumah Asuh di bawah bimbingan Yori Antar, Mbaru Niang dikembalikan kepada keadaan semula. Akan tetapi, restorasi ini tidak memungkinkan tanpa kerja sama dari masyarakat setempat dan dukungan dari kepala desa yang telah membantu sepanjang proses pembangunan ulang.

Setelah konservasi, jumlah rumah di Desa Wae Rebo terdapat tujuh, dengan nama khusus untuk masing-masing rumah. Dari ketujuh rumah tersebut, satu rumah berfungsi sebagai gudang dan tempat untuk menyelenggarakan acara, itu adalah Niang Gendang. Enam rumah yang lainnya menjadi tempat tinggal keluarga, di mana satu rumah dijadikan penghunian yang terdiri dari 6-8 keluarga. Pada rancangan awal, satu rumah direncanakan sebagai tempat tinggal untuk tamu dan memiliki pembagian ruangan yang identik dengan rumah yang lainnya.

Pembagian ruang dan lantai pada Mbaru Niang memiliki makna dan fungsi tersendiri. Kaki bangunan merupakan Ngaung, tempat untuk menenun, menganyam, dan menyimpan peralatan berkebun. Lantai pertama disebut Tenda, dan memiliki dua bagian yang berfungsi sebagai tempat berkumpul keluarga dan area memasak. Lalu, lantai kedua diberi nama Lobo dan dimanfaatkan untuk menyimpan bahan makanan. Lentar merupakan lantai ketiga dan digunakan sebagai gudang penyimpanan panen. Kemudian, lantai keempat atau Lempe Rae ditujukan sebagai tempat penyimpanan benih tanaman untuk kegiatan bercocok tanam. Lantai terakhir disebut Hekang Code, area ini hanya digunakan pada saat Mbaru Niang selesai dibangun untuk menyelenggarakan upacara pengatapan bangunan. Di sini terdapat altar persembahan dan tempat sesajian untuk leluhur.

Memanfaatkan Material di Alam Sekitar

Ciri khas Mbaru Niang terdapat di material pembangunannya, di mana seluruh material yang digunakan bersumber secara lokal, antara lain bambu, ijuk, dan kayu worok. Sistem struktural dan interior tersusun atas tujuh jenis kayu berbeda yang bersumber dari hutan yang mengelilingi Desa Wae Rebo. Sementara untuk atap, digunakan kasau bambu yang dilapiskan dengan ijuk dari pohon palem dan alang-alang. Material ini mudah dijumpai karena ditanam di sekitar desa dan digunakan untuk melindungi lahan terbuka supaya mencegah erosi tanah. Alang-alang dapat diterapkan pada pembangunan atap saat mencapai kepanjangan satu meter. Ketika dipanen, akar dan daun yang tersisa tidak berhenti bertumbuh. Lalu, teknis pembangunan atap menerapkan konstruksi ikat dengan rotan yang ditali pada kasau bambu.

Material yang digunakan pada Mbaru Niang mencerminkan budaya Desa Wae Rebo dan memiliki beberapa keunggulan. Selain ramah lingkungan, rumah adat ini juga dapat menahan beban lateral dan gempa karena sistem struktural sendi. Berbeda dari pada umunya, teknologi ikatan memungkinkan perputaran terjadi secara terkendali dibandingkan dengan teknologi paku yang lebih populer.

Arsitektur vernakular menjadi sebuah gerakan yang harus dilestarikan seiring dengan perkembangan arsitektur modern. Konservasi dan pembangunan ulang Mbaru Niang di Desa Wae Rebo, Flores menjadi contoh yang patut diikuti dalam upaya meneruskan arsitektur tradisional. Walaupun melalui proses pembangunan ulang, integritas bangunan ini tetap dipertahankan, dengan bentuk sama yang ditinggalkan oleh suku Manggarai. Desa Wae Rebo menjadi tempat terakhir Mbaru Niang yang orisinal berada.

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//