• Budaya
  • Kampung Adat Cireundeu Bertahan dalam Perubahan Zaman

Kampung Adat Cireundeu Bertahan dalam Perubahan Zaman

Masyarakat Kampung Adat Cireundeu, Kota Cimahi, konsisten mempertahankan tradisi dan kepercayaan leluhur. Mereka berusaha mengikuti arus perubahan zaman.

Warga Kampung Adat Cireundeu menyiapkan ritual tabur bunga pada Hari Peduli Sampah Nasional, bertepatan dengan 18 tahun longsor TPA Leuwigajah, Kota Cimahi, di tepi tebing eks TPA tersebut, Selasa (21/2/2023),. (Foto: Virliya Putricantika/BandungBergerak.id)

Penulis Iman Herdiana25 Agustus 2023


BandungBergerak.idKampung Adat Cireundeu terus bertahan dalam perubahan zaman. Dihuni oleh sekitar 60 kepala keluarga, kampung adat yang terletak di Kelurahan Leuwigajah, Kecamatan Cimahi Selatan, Kota Cimahi, ini sejak dahulu dikenal karena keteguhan warganya dalam melestarikan tradisi dan kebudayaan nenek moyang mereka, yakni mengonsumsi beras singkong (rasi) sebagai makanan pokok dan sebagian warganya masih menganut kepercayaan leluhur Sunda Wiwitan.

Keunikan Kampung Adat Cireundeu digali lebih dalam melalui Program Pengabdian pada Masyarakat yang terintegrasi dengan program KKNM Universitas Padjadjaran (Unpad) ini bertajuk “Pendampingan Hukum Masyarakat Kampung Adat Cireundeu dalam Menjaga Ketahanan Pangan”. KKNM Unpad dipimpin Ida Nurlinda, melibatkan anggota tim Yani Pujiwati, Maret Priyanta, Nadia Astriani, dan Yusuf Saepul Zamil.

“Keteguhan warga Kampung Adat Cireundeu dalam melestarikan tradisi dan kebudayaan tercermin dalam upacara adat Suraan untuk memperingati penutupan tahun kalender Sunda dalam rangkaian acara “Tutup Taun 1956 Ngemban Taun 1 Sura 1957 Saka Sunda” pada Rabu (19/7/2023) lalu,” demikian keterangan resmi yang dikutip dari laman Unpad, Jumat (25/8/2023).

Acara diramaikan oleh mahasiswa KKNM Unpad yang turut serta mempersiapkan perlengkapan penunjang upacara adat, misalnya, menganyam janur untuk dekorasi serta mengolah panganan berbahan dasar singkong dan pelengkapnya yang disajikan pada hari-H acara.

Bertempat di Bale Saresehan, upacara adat Suraan dimulai dengan sambutan serta wejangan sesepuh adat, kemudian warga kampung adat dibimbing untuk berdoa dan bersyukur kepada Tuhan Sang Pencipta atas melimpahnya hasil bumi yang menjadi sumber penghidupan mereka diiringi dengan alunan musik dan kawih khas Sunda.

Upacara dilanjutkan dengan sungkeman antar warga dan sesepuh adat sebagai bentuk saling memaafkan sekaligus mengungkapkan rasa bakti dan ditutup dengan makan bersama warga di luar Kampung Adat Cireundeu. Kemeriahan masih berlanjut dengan puncak acara “Tutup Taun 1956 Ngemban Taun 1 Sura 1957 Saka Sunda” pada 3 – 6 Agustus 2023 lalu.

Pertunjukan yang paling memikat adalah Tari Tarawangsa dengan unsur magisnya hingga warga biasa pun dapat menari diiringi alunan musik tradisional seraya berselendang di panggung Bale Saresehan.

Talitha Nabila, ketua kelompok KKNM Unpad di Kampung Adat Cireundeu mengatakan, keikutsertaannya dalam acara “Tutup Taun 1956 Ngemban Taun 1 Sura 1957 Saka Sunda” ini menjadi pengalaman tak terlupakan.

“Kegiatan pengabdian dalam program KKNM ini diharapkan dapat menginspirasi dan memotivasi berbagai pihak dalam melestarikan tradisi dan budaya tradisional agar dapat bertahan hingga generasi berikutnya,” ujar Talitha Nabila.

Penampilan angklung buncis dalam rangaian acara puncak seren tahun di Kampung Adat Cireundeui, Sabtu (20/8/2022). Angklung yang dibuat dari bambu hitam  berusia 3-4 tahun tersebut dikembangkan oleh masyarakat Paseban. (Foto: Virliya Putricantika/BandungBergerak.id)
Penampilan angklung buncis dalam rangaian acara puncak seren tahun di Kampung Adat Cireundeui, Sabtu (20/8/2022). Angklung yang dibuat dari bambu hitam berusia 3-4 tahun tersebut dikembangkan oleh masyarakat Paseban. (Foto: Virliya Putricantika/BandungBergerak.id)

Mengikuti Arus Zaman

Cireundeu berasal dari nama “pohon reundeu”, karena sebelumnya di kampung ini banyak sekali populasi pohon reundeu, yaitu pohon yang biasa dipakai untuk bahan herbal. Dikutip dari laman resmi Pemkot Cimahi, pada 2019 kampung ini dihuni 50 kepala keluarga atau 800 jiwa. Sebagia besar dari mereka bermata pencaharian bertani ketela. 

Secara geografis, Kampung Adat Cireundeu berada di Kota Cimahi yang berbatasan dengan Kabupaten Bandung Barat dan Kota Bandung. Kampung Adat Cireundeu memiliki luas 64 hektare terdiri dari 60 hektare untuk pertanian dan 4 hektare untuk permukiman. Sebagian besar penduduknya memeluk dan memegang teguh kepercayaan Sunda Wiwitan hingga saat ini. Mereka konsisten dalam menjalankan ajaran kepercayaan serta terus melestarikan budaya dan adat istiadat yang telah turun-temurun dari nenek moyang mereka.

Masyarakat adat Cireundeu memiliki prinsip “Ngindung Ka Waktu, Mibapa Ka Jaman”. Arti kata dari “Ngindung Ka Waktu” ialah warga kampung adat memiliki cara, ciri, dan keyakinan masing-masing. Sedangkan “Mibapa Ka Jaman” memiliki arti masyarakat Kampung Adat Cireundeu tidak melawan akan perubahan zaman akan tetapi mengikuti perubahan zaman tersebut, termasuk beradaptasi dengan adanya teknologi, televisi, alat komunikasi berupa handphone, dan penerangan.

Masyarakat adat Kampung Cireundeu menjalankan konsep kampung adat yang terdiri dari tiga bagian, yaitu:

Leuweung Larangan (hutan terlarang) yaitu hutan yang tidak boleh ditebang pepohonannya karena bertujuan sebagai penyimpanan air untuk masyarakat adat Cireundeu khususnya.

Leuweung Tutupan (hutan reboisasi) yaitu hutan yang digunakan untuk reboisasi, hutan tersebut dapat dipergunakan pepohonannya namun masyarakat harus menanam kembali dengan pohon yang baru. Luasnya mencapai 2 hingga 3 hektar.

Leuweung Baladahan (hutan pertanian) yaitu hutan yang dapat digunakan untuk berkebun masyarakat adat Cireundeu. Biasanya ditanami oleh jagung, kacang tanah, singkong atau ketela, dan umbi-umbian.

“Teu Boga Sawah Asal Boga Pare, Teu Boga Pare Asal Boga Beas, Teu Boga Beas Asal Bisa Nyangu, Teu Nyangu Asal Dahar, Teu Dahar Asal Kuat (Tidak Punya Sawah Asal Punya Beras, Tidak Punya Beras Asal Dapat Menanak Nasi, Tidak Punya Nasi Asal Makan, Tidak Makan Asal Kuat,” demikian pandangan hidup warga Kampung Cireundeu.

Kalimat tersebut merangkum sejarah konsumsi rasi alias beras singkong di Desa Cireundeu. Hal tersebut berkaitan pula dengan tradisi nenek moyang mereka yang kerap berpuasa mengonsumsi beras selama waktu tertentu.

Tujuan puasa tersebut adalah mendapat kemerdekaan lahir batin. Ritual yang juga sekaligus menguji keimanan seseorang dan pengingat akan kekuatan Tuhan Yang Maha Esa.

Pengolahan singkong menjadi rasi telah dilakukan masyarakat Kampung Adat Cireundeu selama kurang lebih 85 tahun. Hal tersebut membuat mereka mandiri soal pangan. Kehidupan di sini bisa dibilang tak terpengaruh gejolak ekonomi-sosial, terutama soal fluktuasi harga beras.

Begitu sampai di gerbang masuk Kampung Adat Cireundeu, kita akan disambut oleh monumen Meriam Sapu Jagat. Simbol Satria Pengawal Bumi Parahyangan ini juga dilengkapi tugu mungil bertuliskan Wangsit Siliwangi, yaitu jujur, ksatria, membela rakyat kecil, sayang pada sesama, dan menjadi wibawa.

Baca Juga: Kampung Adat Cireundeu Mengajarkan Kita agar tidak Tergantung pada Beras
Upacara Seren Taun Kampung Adat Cireundeu, yang Berkhidmat Menjaga Tradisi
Perempuan Penjaga Tradisi di Kampung Adat Cireundeu

Tutup Taun Ngemban Taun

Upacara adat Tutup Taun Ngemban Taun merupakan salah satu upacara terbesar yang diselenggarakan di Kampung Adat Cireundeu. Perayaan upacara adat Tutup Taun Ngemban Taun layaknya lebaran bagi kaum muslim.

Dikutip dari laman Kemendikbud RI sebelum tahun 2000, perayaan Tutup Taun Ngemban Taun disambut dengan menggunakan pakaian baru. Namun setelah adat mereka dilembagakan, kaum laki-laki menggunakan pakaian pangsi warna hitam dan ikat kepala dari kain batik. Sedangkan untuk kaum perempuan menggunakan pakaian kebaya berwarna putih. Gunungan buah-buahan yang dibentuk menyerupai janur, nasi tumpeng rasi, hasil bumi seperti rempah-rempah dan ketela yang menjadi pelengkap wajib dalam ritual ini.

Selain itu kesenian kecapi suling, ngamumule budaya sunda, serta wuwuhan atau nasihat dari sesepuh atau ketua adat menjadi rukun dalam upacara Tutup Taun Ngemban Taun. Upacara Adat Tutup Taun Ngemban Taun dilaksanakan selama 30 hari berdsarkan penanggalan saka 1 Sura. Hari pertama pada tanggal 1 Sura masyarakat adat berkumpul di bale lalu diadakan semacam ritual dan doa. Di sini diselenggarakan tradisi sungkeman yang berlangsung sejatinya untuk menjaga tali silaturahmi antar warga adat Kampung Adat Cireundeu.

Tradisi sungkeman juga melibatkan seluruh masyarakat tanpa kecuali sambil berucap syukur atas keberkahan yang diberikan Sang Pencipta. Prosesi terakhir adalah upacara sungkeman. Sungkeman adalah prosesi meminta maaf kepada orang lebih tua. Lalu pada tanggal 2 hingga 9 Sura, diadakan acara syukuran di rumah warga secara bergantian. Lalu pada tanggal 10 Sura acara diadakan lagi di Bale, yang di biayai oleh Paneten (sesepuh Kampung adat Cireundeu) dan dihadiri oleh sesepuh. Kemudian tanggal 11 hingga 19 kembali diadakan syukuran di rumah warga secara bergantian.

Rumah warga bisanya digunakan sehari setelah doa bersama, biasanya warga yang memiliki kambing menyembelih kambingnya dan memasaknya lalu berbagi dengan warga lainnya. Kegiatan ini bisanya dilakukan secara bergantian dengan tujuan bersyukur atas rejeki yang didapat dan dapat berbagi dengan sesama. Sedangkan rumah sesepuh digunakan untuk sungkeman dari warga yang muda kepada warga yang lebih tua terutama kepada sesepuh, bertujuan untuk saling memaafkan atas segala kesalan yang telah dilakukan selama tahun sebelumnnya dan meminta doa restu untuk dapat menjalani kehidupan yang lebih baik lagi di tahun berikutnya.

Pada tanggal 1 Sura dilaksnakan Doa Sasarengan atau bersama yang dilaksanakan di Bale Saresehan di mana semua masyarakat Kampung Adat Cireundeu untuk melangsungkan doa bersama doa 10 bersama dilakukan pada sore hingga malam hari. Pada hari berikutnya diadakan kegiatan Ngajayak atau mengarak hasil bumi dengan membawa sebuah Gugunungan atau tumpukan hasil bumi yang terdiri dari sesajen, singkng, buah-buahan, dan umbi-umbian lainnya dari pintu masuk Kampung Adat Cireundeu ke Bale Saresehan.

Kegiatan Ngajayak bertujuan untuk menunjukan rasa terimakasih mereka kepada sang Pencipta atas rejeki berlimpah yang diterima. Setelah para peserta yang mengukuti upacara Ngajayak sampai di Bale Saresehan mereka dan para tamu disambut oleh tarian lengser, tarian khas sunda yang dilakukan untuk menyambut tamu dan diikuti acara angkung buncis.

Setelah prosesi tersebut selesai warga bersama tamu mendoakan bersama hasil bumi yang tadi dibawa, dengan maksud agar hasil bumi yang didapat memberikan berkah dan nikmat dalam kehidupan proses ini dilakukan pada tanggal 2 Sura hingga 4 Sura. Pada tanggal 5 hingga 19 Sura warga biasanya memasaka hasil panen secara bergantian dan berbagi dengan warga lainnya.

Tanggal 20 Sura menjadi puncak Suraan. Mereka mengisi acara dengan berbagai kesenian Sunda seperti pencak silat, gamelan, karinding, dan lainnya yang dilaksanakan di Bale Saresehan. Pada hari terkahir dilakasankan di rumah sesepuh untuk melakukan prosesi sungkeman yang bertujuan untuk meminta maaf atas segala kesalah yang telah dilakukan.

Fungsi dari diadakannya Upacara Adat Tutup Taun Ngemban Taun sebagai sarana suatu mengucapan terima kasih masyarakat Kampung Adat Cireundeu kepada Sang Pencipta atas hasi panen yang diberikan selama satu tahun dan juga permohonan doa untuk diberikan hasil bumi yang cukup di tahun berikutnya agar bisa berbagi dengan sesama, doa yang disamapaikan harus dari hati dan tulus agar dapat dikabulkan.

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//