Mbaru Gendang sebagai Ruang Publik dalam Menyelesaikan Konflik Tanah di Manggarai
Mbaru Gendang, rumah adat orang Manggarai di Flores NTT, menjadi ruang publik bagi suatu diskursus rasional demi mencapai keteraturan bersama.
Vinsensius R. Masut dan Elfridus Cancang
Mahasiswa
22 Desember 2023
BandungBergerak.id – Kodrat manusia pada dasarnya bukan hanya rasional, melainkan juga relasional (Riyanto 2018, i). Pemahaman dasar ini penting berhadapan dengan kehidupan sosial masyarakat sebagai sebuah proses perkembangan yang sangat kompleks karena melibatkan banyak unsur yang membentuknya. Hal ini tampak dalam beragam struktur sosial, fungsi, kepentingan, simbol, dan sistem tatanan nilai yang menjadi identitas individu maupun komunal. Gambaran yang kompleks tentang sistem masyarakat ini pernah diungkapkan oleh Darwin yang memandang manusia dengan hukum perkembangan, yakni sebagai sebuah proses evolusi struktural dalam masyarakat dari yang sederhana menjadi kompleks (Usman 2001, 31). Kompleksitas sistem kemasyarakatan ini dapat menimbulkan ketegangan atau konflik yang disfungsional dan merusak tatanan hidup bersama. Simon Fisher (2000) menjelaskan bahwa konflik merupakan realitas mutlak (invitable phenomenon) yang melekat dalam eksistensi manusia (Fisher 2000, 4).
Di Manggarai, Flores, NTT, salah satu konflik besar yang sering kali terjadi ialah konflik tanah ulayat atau tanah adat yang berujung pada perang tanding. Tanah menjadi begitu penting untuk dipertahankan karena multifungsi, seperti sarana produksi (ekonomi), posisi kekuasaan (politik), status sosial, ataupun sakralitas tanah (budaya) (Jehamat and Keha Si 2018, 46).
Di Manggarai upaya menyelesaikan konflik tanah ini nyata dalam usaha kedua pihak untuk mengadakan lonto léok (duduk bersama atau musyawarah) di Mbaru Gendang (rumah adat orang Manggarai). Metode ini tidak terlepas dari kesadaran orang Manggarai akan fungsi dan makna Mbaru Gendang sebagai kearifan lokal. Selain untuk keperluan acara adat, Mbaru Gendang juga berfungsi sebagai tempat musyawarah dalam menghadapi persoalan sosial kemasyarakatan ataupun musyawarah penting lainnya, seperti persoalan konflik tanah (Kumiawan and Wiriantari, 2021, 9).
Baca Juga: Kerangka Bahasa dan Worldview: Sebab-sebab Terjadinya Konflik dan Perdamaian
Animal Symbolicum dan Hermeneutika Pancasila: Dialektika Panjang Menuju Perdamaian
Sistem Cewers sebagai Resolusi Konflik Pertambangan sebagai Upaya Pencegahan The Sixth Estinction pada Spesies di Papua
Mbaru Gendang sebagai Ruang Publik
Menariknya adalah fungsi dan makna Mbaru Gendang dalam menyelesaikan konflik tanah di Manggarai serupa dengan konsep ruang publik Jurgen Habermas (1929-sekarang). Menurut Habermas, ruang publik merupakan sarana bagi terbentuknya demokrasi deliberatif atau kebijakan publik yang diperoleh melalui diskursus rasional bersama. Hal ini mengandaikan bahwa ruang publik memuat unsur kesetaraan, berfokus pada kepentingan publik, dan inklusivitas yang memungkinkan terciptanya diskursus publik.
Gagasan Habermas tentang ruang publik ini juga terdapat dalam nilai-nilai filosofis Mbaru Gendang sebagai kearifan lokal orang Manggarai. Mbaru Gendang menjadi ruang publik yang membuka ruang bagi suatu diskursus rasional dalam semangat lonto léok. Setiap orang mendapatkan kesempatan untuk mengungkapkan opini publiknya demi mencapai keteraturan bersama, termasuk dalam menyelesaikan persoalan konflik tanah yang marak terjadi di Manggarai.
Ruang publik dalam filsafat Jurgen Habermas merupakan ruang yang memungkinkan terciptanya diskursus rasional. Diskursus rasional yang dimaksudkan ialah aspirasi publik berupa kritikan atau masukan yang bertujuan untuk kepentingan publik dengan memperhatikan etika ruang publik. Keyakinan Habermas ini berangkat dari pluralitas masyarakat yang semakin kompleks, bukan hanya latar belakang tetapi juga kepentingan yang semakin beragam (Suseno 2006, 234). Hal ini diperparah dengan ciri manusia modern yang tunduk pada kapitalisme dengan menekankan kepentingan privat. Atas dasar ini Habermas menekankan ruang publik sebagai medium bagi terbentuknya diskusi publik ataupun yang membentuk opini publik agar terarah pada common good.
Dalam buku The Structural Transformation of the Public Sphere, Habermas menggunakan metode kritik imunen Tradisi Pencerahan, yakni liberte, fraternite, dan egalite (Jurgen Habermas 1989, 36-37). Ketiga nilai ini sangat fundamental dalam mengokohkan ruang publik sebagai sarana untuk mencapai kepentingan publik. Takaran Tradisi Pencerahan ini menjadi tolak ukur untuk melihat sejauh mana ruang publik telah menjadi mediator bagi kepentingan bersama. Takaran yang sama juga akan digunakan untuk menjelaskan kedudukan Mbaru Gendang sebagai ruang publik orang Manggarai dalam menyelesaikan konflik tanah, yakni prinsip kesetaraan, kepentingan publik, dan inklusif.
Prinsip Kesetaraan
Mbaru Gendang merupakan rumah adat bersama orang Manggarai dan menjadi simbol identitas bersama. Hal ini menegaskan kedudukan Mbaru Gendang sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari dinamika kehidupan orang Manggarai. Posisinya yang sentral di tengah kampung menjadi bukti nyata bahwa segala hal selalu berpusat dan bersumber dari Mbaru Gendang (Gaut and Tapung 2021, 26). Dalam keyakinan orang Manggarai, Mbaru Gendang dibangun di tengah kampung agar mudah dijangkau oleh seluruh warga kampung. Dengan demikian setiap individu memiliki hak yang sama untuk mengakses dan menjadi bagian penting dalam setiap kebijakan di Mbaru Gendang.
Prinsip kesetaraan juga mewarnai setiap diskursus rasional di Mbaru Gendang seperti dalam proses penyelesaian konflik tanah di Manggarai. Pengakuan akan otoritas dan kewibawaan Tu'a Gendang (ketua adat) dan Tu'a Teno (ketua tanah) tidak mengaburkan prinsip kesetaraan ini. Sebaliknya kehadiran mereka tidak hanya sebagai penengah (mediator) tetapi juga menjadi simbol perwakilan seluruh warga kampung, yakni pa'ang olo, ngaung musi (pintu gerbang depan sampai kolong rumah di belakang). Hal ini menegaskan bahwa yang hadir di Mbaru Gendang bukan hanya kedua pihak bermasalah tetapi juga seluruh warga kampung termasuk para leluhur. Oleh karena itu, setiap persoalan yang didiskusikan di Mbaru Gendang selalu mewakili aspirasi seluruh anggota Gendang dan kebijakan-kebijakan yang dihasilkan terarah pada kepentingan dan kesejahteraan bersama.
Pada umumnya keputusan menyelesaikan konflik tanah di Mbaru Gendang murni kebutuhan setiap pihak yang bermasalah karena mereka meyakini Mbaru Gendang sebagai ruang yang tepat untuk menemukan jalan keluar bersama. Habermas dalam karyanya The Structural Transformation of the Public Sphere: An Inquiry into a Category of Borgeois Society (1989) menyatakan bahwa meskipun terdiri atas kumpulan individu diskursus di ruang publik selalu mengartikulasikan kebutuhan publik atau masyarakat. Mbaru Gendang sebagai ruang publik memberi kemungkinan akan adanya kesetaraan hak dan kebebasan untuk berekspresi.
Hal ini sedikit berbeda ketika proses penyelesaian konflik tanah berlangsung di luar Mbaru Gendang. Kemungkinan manipulasi atau ketidakpercayaan karena strata sosial dalam masyarakat bisa terjadi apabila proses penyelesaian masalah diadakan di ruang-ruang lain". Alasannya karena "ruang-ruang" tersebut bukan menjadi "ruangnya" di mana tidak ada jaminan pasti terkait hak dan kebebasannya. Di Mbaru Gendang hak dan kebebasan individu dijamin penuh karena Mbaru Gendang merupakan ruang bersama tanpa mendiskreditkan individu yang lain. Di sinilah otoritas dan kewibawaan Tu'a Gendang atau Tu'a Teno diakui mampu menjamin kesetaraan setiap individu sebab mereka adalah representasi seluruh warga kampung dan bahkan para leluhur. Sebaliknya apabila pemecahan konflik tanah dipercayakan pada mediator lain, peluang akan adanya kebijakan diskriminatif dan manipulatif sangat besar sebab kedudukannya tidak merepresentasikan seluruh pihak yang bermasalah. Dengan kata lain kebijakan yang dikeluarkan berpotensi pada keuntungan satu pihak dan kerugian di pihak lain.
Prinsip Kepentingan Publik
Diskursus rasional di Mbaru Gendang selalu terarah pada kepentingan publik karena Mbaru Gendang pada dasarnya juga adalah ruang publik. Pemecahan konflik tanah di Mbaru Gendang tidak hanya menentukan pihak mana yang menang atau kalah tetapi merangkul seluruh anggota Gendang, khususnya kedua pihak yang berkonflik. Konflik tanah yang terjadi menimbulkan kerenggangan dalam relasi sosial masyarakat. Gentes tau atau toe tombo tau (permusuhan) telah menciptakan kubu-kubu dalam lingkaran Gendang. Situasi ini tidak sejalan dengan keberadaan mereka sebagai ase kae ca gendang (komunitas persaudaraan dalam satu rumah adat). Lebih dari itu kerenggangan yang terjadi juga berdampak pada lemahnya kesadaran untuk melakukan diskusi untuk menemukan solusi bersama. Pada titik ini Mbaru Gendang menjadi sarana yang mampu memfasilitasi pihak yang berkonflik untuk mengadakan diskusi secara rasional.
Diskursus rasional yang dimaksudkan Habermas ialah proses penalaran bersama dalam asas demokrasi di mana kepentingan pribadi ditransformasikan pada kepentingan bersama (Supartiningsih 2007, 36). Dasarnya adalah setiap diskursus rasional selalu berpihak pada kepentingan publik. Mbaru Gendang, di bawah otoritas dan kewibawaan Tu'a Gendang atau Tu'a Teno memiliki kewajiban untuk menghantar orang pada atmosfer persaudaraan dan kekeluargaan sebagai satu Gendang.
Hal serupa juga disadari dari "pihak bawah" yakni pihak yang berkonflik. Kesadaran untuk menyelesaikan konflik tanah di Mbaru Gendang bukan semata-mata untuk mendapatkan kemenangan pribadi melainkan lebih kepada kesadaran sebagai ase kae (saudara) dalam satu Gendang. Faktanya bahwa setiap pihak yang bermasalah bisa mencari mediator lain untuk menyelesaikan konflik tanah tersebut, misalnya di pengadilan.
Namun meskipun kemungkinan tersebut dapat terjadi, sebagian besar orang Manggarai tidak melakukannya. Mereka lebih memilih Mbaru Gendang sebagai ruang pemecahan masalah mempertahankan hak milik dan memperoleh keadilan. Kesadaran demikian muncul dari refleksi feminis postkolonial sehingga kaum perempuan tidak menjadi kambing hitam, seperti kisah loke nggerang dalam cerita rakyat Manggarai yang dibunuh karena menjadi objek pemuasan kekuasaan laki-laki (raja) dan kulitnya dijadikan alat musik Gendang (Candra 2019, 114). Jadi, dimensi inklusivitas Mbaru Gendang dalam menyelesaikan konflik tanah di Manggarai menjadi syarat utama berlangsungnya diskursus rasional di Mbaru Gendang. Inklusivitas memaksudkan hubungan yang pluralis atas dasar persatuan dan persaudaraan dan karenanya tidak diukur menurut status sosial, materi, ataupun jabatan.
Akhirnya, studi ini sangat relevan bagi orang Manggarai khususnya dan bangsa Indonesia umumnya.. Bagi orang Manggarai studi ini penting untuk menyadarkan mereka agar menyelesaikan segala macam persoalan dengan semangat musyawarah di Mbaru Gendang yang menjadi ruang yang memungkinkan terjadinya diskursus rasional dengan mengedepankan prinsip kesetaraan, kepentingan publik, dan inklusif. Bagi bangsa Indonesia studi ini diharapkan mampu membangkitkan kesadaran untuk kembali kepada kearifan lokal setempat dalam menyelesaikan persoalan bersama guna menciptakan kerukunan dalam hidup bermasyarakat dan bernegara.
* Artikel ini merupakan salah satu pemenang kategori Good pada Lomba Esai Nasional 2023 dengan tema "Peace For Indonesia, Peace For All! yang diselenggarakan Himpunan Mahasiswa Program Studi Sarjana Filsafat Universitas Katolik Parahyangan (Unpar) Bandung.