• Opini
  • MAHASISWA BERSUARA: Kejahatan Siber Mengancam Anak, Orang Tua Pedulikah?

MAHASISWA BERSUARA: Kejahatan Siber Mengancam Anak, Orang Tua Pedulikah?

Orang tua yang ceroboh dalam menjaga dinamika anaknya di dunia maya sama saja dengan membiarkan anaknya berpeluang tinggi menjadi korban kejahatan siber.

Andrew Alexander Gunawan

Mahasiswa Program Studi Informatika Universitas Katolik Parahyangan (Unpar) Bandung

Orang tua menemani anak-anak saat memilih buku di mobil perpustakaan keliling Dinas Perpustakaan dan Kearsipan Kota Bandung, Minggu (2/7/2023). (Foto: Prima Mulia/BandungBergerak.id)

20 Januari 2024


BandungBergerak.id – Para orang tua tentunya memiliki alasan untuk memberi anaknya gadget, seperti agar anak dapat lebih mudah menghubungi orang tua ketika sedang tidak bersama, membantu anak dalam mengerjakan tugas sekolahnya, hingga supaya anak bisa bersenang senang tanpa merepotkan orang tua. Jika hal ini dilakukan tanpa pengetahuan dan kepedulian orang tua mengenai kejahatan siber yang berpotensi menyerang anak, banyak kerugian dan bahaya yang dapat terjadi pada anak maupun dirinya. Orang tua yang ceroboh terkadang ingin memudahkan pekerjaan dan perannya dengan memberi gadget pada anak, yang tanpa disadari menjadi solusi yang mengancam.

Sebelum memberikan anaknya gadget, orang tua perlu mempertimbangkan risiko-risiko yang dapat terjadi kepada anak dengan menjawab sebuah pertanyaan yaitu: apa saja hal-hal yang mengancam anak?

Tanpa pemahaman yang baik mengenai hal tersebut, memberikan gadget kepada anak bukanlah sebuah keputusan yang bijak.

Baca Juga: Mengenal Ragam Kejahatan Siber
Mengatasi Perundungan Siber dengan Pendekatan Statistika
MAHASIWA BERSUARA: Menghukum Kejahatan Siber di Era Digital

Potensi Kejahatan Siber yang Dapat Terjadi pada Anak

Berdasarkan survei yang dilakukan oleh DQ Institute pada tahun 2020, kejahatan siber dengan basis pengelabuan seperti phising memiliki tingkat keberhasilan yang tinggi untuk menipu anak-anak dengan hasil 1 dari 3 anak pernah mengalami serangan tersebut. Berbagai skenario dan media dapat digunakan untuk mendapatkan data-data pribadi anak seperti nama, alamat, tempat tanggal lahir, sekolah, bahkan foto.

Salah satu contoh kasus adalah penipu yang menyamar sebagai pihak atau instansi yang dipercaya seperti sekolah, kemudian mengirimkan email yang meminta anak untuk mengisi data pribadi. Selain itu, game online yang banyak dimainkan anak juga menjadi media yang menarik untuk menipu anak, seperti untuk mendapatkan data kartu kredit dan anak yang ceroboh akan tertipu dengan sangat mudah. Cara klasik yang biasa digunakan oleh penipu adalah dengan memberikan tawaran menarik terkait dengan game tertentu seperti jika Anda memasukkan informasi kartu kredit maka Anda akan mendapat hadiah A.

Kejahatan siber seperti penculikan anak dan penyalahgunaan informasi sangat mungkin terjadi dengan cara yang beragam. Para predator menggunakan media sosial untuk berinteraksi dengan anak dan berusaha membuat anak-anak yang masih polos percaya kepadanya. Fake profile sering digunakan dalam kasus ini, seperti berpura-pura menjadi anak yang seumuran dengan target, kemudian mengajak target untuk bermain game online bersama, dan pada akhirnya tujuan predator untuk bertemu anak itu secara langsung pun dapat terlaksana. Selain itu, data seperti nomor telepon pada gadget pasti sudah pernah terdata di suatu server melalui website atau aplikasi yang pernah digunakan. Predator yang memiliki kemampuan hacking untuk mendapatkan nomor telepon tersebut dapat menjalankan aksinya dan berinteraksi dengan anak via aplikasi chat seperti whatsapp dan line.

Dunia digital tidak lepas dari interaksi bersama pengguna-pengguna lain sehingga cyberbullying sangat mungkin terjadi pada anak dan menurut survei dari DQ Institute, cyberbullying terjadi lebih sering dibandingkan phising, di mana 1 dari 2 anak pernah mengalami cyberbullying.

Terdapat banyak sekali pengguna gadget dengan kecerdasan emosional dan moral yang buruk tanpa memedulikan apakah hal yang mereka lakukan berdampak baik atau tidak. Media sosial dengan kemudahannya untuk memberikan pesan dan komentar menjadi sarana cyberbullying yang paling banyak, mengakibatkan dampak buruk pada psikologis anak dan memberikan contoh yang tidak baik. Sarana lain seperti game online juga dapat membuat anak menjadi korban cyberbullying karena nuansa kompetitif dari game tersebut. Terganggunya mental dan kepercayaan diri anak dapat disebabkan oleh kalimat-kalimat kasar, hinaan, dan mengancam yang sering kali dikirimkan hanya karena seseorang bermain dengan performa yang buruk.

Aplikasi Media Sosial yang sering digunakan oleh anak seperti TikTok juga mengandung risiko kejahatan siber yang tidak disadari. Berdasarkan survei yang dilakukan pada tahun 2023 oleh the U.S Surgeon General, beberapa orang tua di Amerika merasa regulasi penggunaan sosial media untuk anak-anak masih kurang aman. Kurangnya keamanan penggunaan sosial media bagi anak ini berkaitan dengan ekosistem sosial media yang terbuka, di mana para pengguna dapat mengunggah konten apa pun dan tentunya tidak semua pengguna memiliki moral yang baik. Banyak konten tidak pantas yang diunggah dan beredar begitu saja di sosial media, konten-konten seperti pembunuhan dan pornografi dapat menimbulkan efek berbahaya bahkan trauma bagi anak di bawah umur yang melihatnya. Terdapat pula konten seperti Blue Whale Challenge yang beredar tahun 2017 lalu, di mana konten tersebut merupakan ajakan bagi penonton untuk mengikuti permainan berupa tantangan-tantangan yang membahayakan diri dan berujung bunuh diri.

Kesimpulan

Dari pemaparan di atas, dapat disimpulkan bahwa risiko kejahatan siber yang mengancam anak-anak sangat beragam caranya, mudah dilakukan, dan cukup sering terjadi. Selain cara yang beragam, pelaku pun memiliki motif yang berbeda-beda mulai dari penipu dengan tujuan mendapatkan kartu kredit sampai dengan predator yang bertujuan menculik anak. Orang tua yang ceroboh dalam menjaga dinamika anaknya di dunia maya sama saja dengan membiarkan anaknya berprobabilitas tinggi menjadi korban kejahatan siber yang bahkan dapat berujung lebih buruk lagi. Pengetahuan yang mendalam mengenai potensi dan bentuk-bentuk kejahatan siber menjadi dasar bagi orang tua untuk menentukan strategi yang dapat dilakukan ke depannya terkait memberikan anaknya gadget.

Ketersediaan waktu pun menjadi variabel penting yang harus dipertimbangkan oleh orang tua. Orang tua perlu meluangkan waktu untuk mengawasi dan mendampingi dinamika anaknya dalam menggunakan gadget. Komunikasi yang baik antara orang tua dan anak pun perlu ditingkatkan agar orang tua dapat memahami anak dengan lebih baik.

Orang tua yang memenuhi dua kriteria yaitu, mempunyai pemahaman mengenai kejahatan siber dan memiliki waktu untuk mengawasi dan mendampingi aktivitas anaknya secara rutin dapat memutuskan untuk memberikan anaknya gadget. Dua hal tersebut akan menjadi pertolongan pertama untuk mengurangi dan mencegah risiko-risiko kejahatan siber. Sedangkan bagi orang tua yang tidak memiliki pengetahuan dan waktu memberikan gadget pada anak bukanlah sebuah keputusan yang bijak.

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//