• Opini
  • Memberantas Mentalitas Korban

Memberantas Mentalitas Korban

Memiliki mentalitas korban tidak akan membawa kebahagiaan dalam hidup.

Alda Agustine Budiono

Pemerhati Sejarah dan Pengajar Bahasa Inggris

Tangan petugas kesehatan di klinik kesehatan jiwa di Bandung, beradu dengan tangan pasien dalam suatu proses pemeriksaan kesehatan mental, Jumat (4/3/2022). (Foto Ilustrasi: Prima Mulia/BandungBergerak.id)

23 Januari 2024


BandungBergerak.id – Dalam hidup, kadang kita menghadapi situasi yang berada di luar kendali kita, misalnya kecelakaan, terkena musibah seperti banjir, atau menjadi kehilangan harta benda akibat kejahatan orang lain. Dengan kata lain, kita menjadi korban.

Menurut kamus bahasa Inggris Webster, kata “victim” atau korban dalam bahasa Indonesia, berarti seseorang yang diserang, terluka, dirampok, dibunuh, dicurangi, atau ditipu oleh orang lain, serta mengalami peristiwa yang tidak menyenangkan.

Semua manusia pasti mengalami musibah dari waktu ke waktu; bisa berupa yang menguras harta benda seperti dirampok, atau menguras emosi, seperti patah hati atau perceraian. Kita semua adalah korban yang harus menghadapi tantangan hidup. Namun, ada orang-orang yang merasa bahwa mereka selalu menjadi korban dalam segala situasi. Hidup dilihat dari kacamata penderitaan dan orang-orang ini secara konsisten mempertahankan posisinya sebagai yang tidak berdaya.

Baca Juga: Kekacauan Data dan Mentalitas Miskin Membuat Bansos sering Salah Sasaran
Edukasi dan Masalah Kesehatan Mental pada Remaja
Pertolongan Pertama Menangani Kedaruratan Kesehatan Mental di Kalangan Mahasiswa

Penyebab Victim Mentality

Lalu kenapa seseorang bisa memiliki mentalitas korban? Penyebabnya beragam, antara lain trauma masa lalu, selalu mengalami peristiwa negatif dalam hidup, pernah dikhianati, atau ingin terus mendapat perhatian.

Orang seperti ini tidak mau bertanggung jawab atas hidupnya sendiri. Dia juga tidak mempunyai coping mechanism, atau strategi untuk menyelesaikan masalah. Saat orang lain berusaha membantu, dia malah merasa diserang. Mengasihani diri sendiri akan membuat seseorang dengan victim mentality merasa lebih baik. Dia juga akan selalu memikirkan hal-hal negatif dan bersikap pesimis terhadap segala hal. Kepercayaan diri dan harga dirinya rendah, dan dia juga selalu mengharapkan orang lain mengakui dirinya sebagai korban. Dia selalu merasa orang lain lebih beruntung; sering merasa cemburu terhadap nasib baik orang lain. Karena itu, dia memilih untuk bergaul dengan orang-orang yang senasib dengannya.

Menghilangkan Mentalitas Korban

Memiliki victim mentality tidak akan membawa kebahagiaan dalam hidup. Ada beberapa hal yang bisa dilakukan untuk tidak terus-terusan terjebak menjadi korban

Bertanggung jawab.

Pertama, adalah mengambil tanggung jawab. Buatlah tujuan hidup yang realistis, kenali potensi diri, dan ambil tindakan yang diperlukan untuk mencapai tujuan tersebut. Bekerjalah dengan fokus dan konsisten, jangan menunda atau mengabaikan pekerjaan. Membuat kesalahan adalah hal yang wajar dalam hidup. Boleh menyesal, tapi jangan sampai berlarut-larut dan menyebabkan depresi. Segeralah bangkit dan mencoba lagi, dengan cara yang lebih baik.

Kecerdasan Emosi

Kedua, tingkatkan kecerdasan emosional. Situs Mental Health America mendefinisikan emotional intelligence sebagai kemampuan mengatur emosi diri sendiri dan mengerti emosi apa yang sedang dirasakan oleh orang di sekitar kita. Ada 5 elemen kunci kecerdasan emosional; kesadaran diri,  kemampuan mengatur diri sendiri, motivasi, empati, dan keterampilan sosial. Kecerdasan emosi yang baik membuat seseorang mampu mengatasi konflik dan berkomunikasi; dua keterampilan yang sangat berguna, baik di tempat kerja maupun dalam pergaulan sehari-hari. Orang yang mampu mengontrol emosi lebih bisa mengambil keputusan secara objektif. Di samping itu, dia juga bisa berempati dan mencoba mengerti sudut pandang orang lain.

Ada beberapa cara meningkatkan kecerdasan emosi. Pertama, pada saat merasa mulai marah, tarik nafas, dan duduk, sebelum melampiaskan emosi ke orang lain. Bertanyalah pada diri sendiri apa yang menyebabkan marah. Sedang kesal pada seseorang? Atau mungkin ada penyebab lain? Kedua, kenali kekuatan dan kelemahan diri. Tidak ada satu manusia pun yang mampu melakukan semua hal, dan ini tidak jadi masalah. Tidak ada salahnya meminta tolong kalau memang diperlukan. Ketiga, asah kemampuan membaca bahasa non-verbal. Misal, kamu minta tolong pada teman. Teman itu mau menolong, tapi nada suaranya tidak meyakinkan, berarti dia sebenarnya keberatan. Ketiga, berkomunikasi dengan efektif dan terbuka. Sampaikan apa yang dimaksud dengan bahasa yang jelas untuk menghindari salah pengertian.

Self-love

Cara lain untuk menghilangkan mentalitas korban adalah dengan belajar mencintai diri sendiri. Ini bukan berarti mentraktir diri sendiri dengan membeli barang-barang mahal atau makan setiap hari di restoran mahal. Self love adalah memperlakukan diri sendiri dengan baik dan menerima diri apa adanya. Memenuhi kebutuhan diri sendiri dan tidak mengorbankan diri sendiri demi menyenangkan orang lain. Arianna Smith, seorang psikoterapis di Denver, Colorado, self love adalah bagaimana kita memperhatikan tubuh, hati, dan pikiran kita dari waktu ke waktu. Manfaat self-love antara lain meningkatkan kepercayaan diri, mengurangi kecemasan, menghindari kelelahan berlebihan (burnout), dan menjadikan kita pribadi yang lebih produktif dan inovatif, juga lebih tangguh dalam menghadapi masalah dalam hidup.

Mungkin dulu Anda pernah menjadi korban. Mungkin hidup pernah melemparkan Anda ke jurang yang terdalam. Tapi, keadaan itu tidak harus berlangsung selamanya. Anda selalu bisa memilih untuk bangkit dan membangun hidup Anda kembali. Perjuangan tidak akan pernah mudah. Yang terpenting adalah terus bergerak, terus berbuat, sekecil apa pun itu. Mudah-mudahan, dengan semangat pantang menyerah, Anda bisa mengubah nasib dari korban menjadi pemenang.

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//