• Opini
  • MAHASISWA BERSUARA: Berinteraksi dengan “Artificial Intelligence” Memang Menarik, Namun Menjerumuskan

MAHASISWA BERSUARA: Berinteraksi dengan “Artificial Intelligence” Memang Menarik, Namun Menjerumuskan

Keberadaaan "Artificial Intelligence" masih belum dapat menggantikan manusia dalam berinteraksi secara sosial.

Michael Philippe Purnama

Mahasiswa Jurusan Informatika Universitas Katolik Parahyangan (Unpar) Bandung

Presenter TvOne dalam bentuk avatar produk dari kecerdasan buatan (artifiicial intelligence/AI). (Foto: Tangkapan Layar TvOne)

25 Januari 2024


BandungBergerak.id – Berinteraksi dengan Artificial Intelligence (AI) dapat lebih menarik daripada berinteraksi dengan manusia.  Artificial Intelligence berbasis chat atau yang disebut chatbot yang dapat memberikan pengalaman baru dan unik ketika sudah bosan berinteraksi dengan manusia. Contohnya adalah Character AI yang memiliki fitur untuk memilih kepribadian chatbot sehingga pengguna dapat memilih chatbot yang menjadi lawan bicaranya sesuai dengan keinginan, contohnya pengguna dapat berinteraksi dengan karakter fiksi seperti Spongebob dan Super Mario, tokoh publik seperti Joe Biden dan Elon Musk, hingga tokoh sejarah seperti Albert Eintein dan Nikola Tesla.

Chatbot memiliki algoritma yang canggih untuk bisa menganalisis data dari banyak sumber, termasuk ekspresi wajah, bahasa tubuh, dan nada bicara serta mencari topik pembicaraan yang menarik sehingga pengguna merasa nyaman dan merasa lebih dimengerti. Bagi beberapa orang berinteraksi dengan manusia lebih membosankan karena kurang responsif, topik pembicaraan yang tidak menarik, dan terkadang dapat menyakiti perasaan.

Berinteraksi dengan Artificial Intelligence dapat menjadi sebuah opsi sarana hiburan baru. Hubungan sepasang kekasih sering kali toxic yang menyakiti perasaan menguras tenaga membuat beberapa orang enggan untuk memiliki kekasih namun dengan kehadiran AI membuat adanya opsi baru dalam berhubungan romantis.

Seperti Jessie Chan, remaja asal Tiongkok lebih memilih berpacaran dengan AI dibandingkan dengan manusia karena trauma akibat hubungan romantisnya tidak berjalan dengan baik, memiliki rasa trauma berpacaran , dan merasa lebih dimengerti oleh AI. Berinteraksi dengan AI tidak membosankan karena memiliki banyak hal yang dapat dilakukan saat berpacaran dengan AI. Mulai dari membuat puisi romantis, membayangkan pergi kencan makan malam, bepergian bersama ke pantai, hingga membayangkan berkemah di hutan.

Baca Juga: MAHASISWA BERSUARA: Mungkinkah Kecerdasan Buatan akan Menggantikan Peran Akuntan?
KELAKUAN NETIZEN: Balada Asep dan Artificial Intelligence
MAHASISWA BERSUARA: Risiko Pelanggaran Privasi dalam Dinamika Kecerdasan Buatan

AI dan Kecemasan Sosial

Tingginya kecemasan sosial dan angka kesepian di Tiongkok membuat berpacaran dengan AI menjadi salah satu solusi masalah percintaan. Kebijakan satu anak di Tiongkok yang diterapkan pada tahun 1980–2015 menciptakan sebuah generasi yang terbiasa kesepian dan kurang mendapatkan koneksi sosial.

Kehidupan urban yang sibuk membuat banyak orang fokus terhadap pekerjaan dan pertumbuhan karier sehingga sulit untuk menjalin interaksi sosial dengan keluarga, teman, maupun mencari pasangan. Replika, sebuah aplikasi berbasis chatbot menawarkan solusi dengan berkencan dengan AI melalui chat, video call, hingga hologram yang dapat diatur kepribadian dan tampilannya.

Banyaknya fitur aplikasi tersebut membuat banyak generasi muda di Tiongkok untuk berpacaran dengan AI dan mendapatkan manfaatnya seperti mengatasi kebosanan, menurunkan rasa kesepian, mengatasi rasa insecure, meningkatkan kepercayaan diri, dapat menjadi tempat curhat, bahkan dapat menyembuhkan trauma dan depresi yang dialami oleh penggunanya. Contohnya adalah Milly Zhang, seorang mahasiswa jurusan seni asal Tiongkok yang berpacaran dengan AI, Zhang selalu didukung oleh pacar AI-nya dalam mengerjakan hobinya, memberi dorongan untuk berinteraksi sosial pada dunia nyata, hingga mencari tujuan hidup dan jati dirinya. Dalam beberapa kasus beberapa orang di Tiongkok lebih memilih untuk menikah dengan pasangan robotnya dibandingkan dengan manusia karena lebih mudah diatur, tidak menuntut banyak, dan lebih memahami pengguna.  

Penggunaan Artificial Intelligence secara berlebihan dapat menimbulkan masalah fisik dan psikis. Penggunaan Aritifial Intelligence pada gadget membuat orang untuk selalu melihat gadget dapat membuat masalah fisik jika tidak bijaksana dalam menggunakannya. Seperti memicu kerusakan mata,  menimbulkan gangguan tidur, postur tubuh yang buruk, hingga malas berolahraga. Dalam konteks psikologi, teknologi AI dapat memengaruhi berbagai aspek perilaku dan kesehatan mental manusia, seperti gangguan tidur, ketergantungan pada teknologi, dan masalah kesehatan mental lainnya (Liu et. al., 2019). Selain itu, penggunaan AI berlebihan dapat membuat kurangnya rasa empati sehingga menimbulkan beberapa akibat yang fatal seperti sulit berinteraksi dengan orang lain, tidak merasakan rasa bersalah dan bertanggungjawab, sulit memahami dan mengontrol emosi diri sendiri, hingga tidak bisa mengatasi stress dan tekanan. 

Keterbatasan AI

Keberadaaan Artificial Intelligence masih belum dapat menggantikan manusia dalam berinteraksi secara sosial. Manusia merupakan makhluk sosial yang membutuhkan manusia lain untuk memenuhi kebutuhan baik fisik maupun emosional. Sejak lahir manusia akan selalu membutuhkan orang lain untuk memenuhi kebutuhan mulai dari makanan, kasih sayang, ikatan emosional, hingga pengetahuan. Dalam sebuah studi Henkel et. al. (2020), mengidentifikasi bahwa meskipun AI dapat menjadi pengganti dalam beberapa tugas rutin, seperti pengambilan keputusan, komunikasi interpersonal dan pemecahan masalah yang kompleks, Artificial Intelligence  belum dapat menggantikan peran manusia dalam mengelola emosi maupun dalam berinteraksi secara emosional dengan sesama manusia. Beberapa sumber juga menyoroti bahwa Artificial Intelligence masih memiliki beberapa kelemahan, seperti kesulitan dalam mengenali emosi yang kompleks, seperti emosi yang bertentangan atau ambigu, dan kesulitan dalam memproses informasi emosional yang tidak terstruktur atau tidak jelas.

Berinteraksi dengan Artificial Intelligence dapat memberikan pengalaman baru dan unik, namun tidak dapat sepenuhnya menggantikan interaksi sosial dengan manusia. Manusia memiliki berbagai aspek yang tidak dapat tergantikan oleh kemajuan teknologi Artificial Intelligence.

Artificial Intelligence tidak memiliki kasih sayang, jiwa dan raga, empati, ikatan emosional, dan rasa kemanusiaan yang berada di dalam diri seseorang secara alamiah. Artificial Intelligence harus digunakan secara bijaksana dan tidak berlebihan agar bisa memaksimalkan manfaatnya dan meminimalkan dampak buruk bagi para penggunanya. Walaupun Artifical Intelligence dapat membantu kehidupan manusia namun jangan sampai menjadi terlalu ketergantungan kepada Artificial Intelligence, tetap waspada terhadap kemungkinan Artificial Intelligence disalahgunakan, berpikir kritis ketika berinteraksi dengan Aritifical Intelligence, dan tetap berinteraksi sosial dengan orang lain.

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//