• Kolom
  • KELAKUAN NETIZEN: Balada Asep dan Artificial Intelligence

KELAKUAN NETIZEN: Balada Asep dan Artificial Intelligence

“Merasa tak bisa menghindar, Asep gemetar oleh AI. Tak bisa dibohongi, Asep kelimpungan oleh AI.”

M. Fasha Rouf

Mahasiswa Magister Komunikasi untuk Perubahan Sosial, The University of Queensland.

Presenter TvOne dalam bentuk avatar produk dari kecerdasan buatan (artifiicial intelligence/AI). (Foto: Tangkapan Layar TvOne)

14 September 2023


BandungBergerak.id – “Saya menggunakan AI setiap pagi, untuk mengecek apa yang terjadi dan apa yang harus saya lakukan. Saya takut ketergantungan.”

Begitu kiranya ucapan seorang pemuda yang mewakili Kamboja dalam sesi Meet Up with Industry Experts dalam acara Asia Pacific Youth Internet Government Forum (yIGF) 2023 di Brisbane. Saya hadir sebagai pemuda tua yang kebetulan lolos untuk nimbrung di sana.

Ungkapan pemuda Kamboja tersebut bergulir jadi diskusi panjang. Beragam respons turut diucapkan.

Ketergantungan pada artificial intelligence (AI) bahkan dirasakan juga oleh seorang ahli senior yang hadir. Ia mengecek berbagai isu dengan menanyakannya kepada AI. AI lebih cepat dan humanis dalam memberi jawaban ragam tanya manusia dibandingkan dengan mesin pencari yang sudah digdaya beberapa lama.

Pertanyaan soal seberapa besar peran manusia dalam pengambilan keputusan di era AI juga jadi perbincangan. Pemuda Kamboja itu lanjut bercerita, bahkan untuk menulis esai agar berhasil lolos ke Asia Pacific yIGF 2023, dia harus lebih dulu berkonsultasi pada AI. Namun, dia hanya bertanya untuk memetakan, tak sepenuhnya langsung mengunci jawaban, jurus copy-paste tak dilakukan. Semua yang hadir di diskusi kecil itu mengangguk. Sudah sepatutnya memang, manusia tak terlalu bertaruh pada mesin, tapi juga tak terlalu menjauh.

Seorang ahli lain menyahut, sebenarnya AI sudah hadir sejak lama di beberapa industri, membantu untuk analisa data dan kebijakan. Namun, hal yang mengguncangkan saat ini adalah bahwa AI telah menjadi konsumsi publik secara luas. Kehadirannya dengan mudah diakses dan digunakan oleh siapa pun.

Hal itu terbukti dengan melesatnya ChatGPT setelah diluncurkan dan mendapat respons sangat besar dari publik. ChatGPT sebagai chatbot hasil inovasi OpenAI mampu meraih 100 juta pengguna aktif bulanan hanya dua bulan setelah platform itu diluncurkan. Menurut catatan dari studi UBS tersebut, ChatGPT menjadi aplikasi dengan pertumbuhan pengguna tercepat sepanjang sejarah aplikasi.

Baca Juga: KELAKUAN NETIZEN: Mudik Virtual
KELAKUAN NETIZEN: Merekam yang Dihapus Negara
KELAKUAN NETIZEN: Ingatan Personal di Arsip Digital

AI di Bangku Kuliah

Pemakaian aplikasi AI pun merangsek ke sektor pendidikan, terutama perkuliahan. Beberapa peserta di yIGF membicarakan hal tersebut. Keputusan larangan atau izin penggunaan AI di bangku kuliah akan turut memengaruhi bagaimana AI diperlakukan di dunia profesional. Ketika mahasiswa selama kuliah merasa terbantu dengan AI tapi tetap punya kontrol diri, maka peran AI di dunia kerja tampaknya akan semakin signifikan.

Regulasi soal AI pernah menarik terjadi di kampus saya (UQ) semester lalu. Di semester pertama itu, saya mengambil mata kuliah penulisan akademik. Suatu waktu, tiba-tiba email kami dikejutkan sebuah pesan dari dosen pengampu. Pesan itu berisi tangkapan layar dari salah satu tugas yang diunggah mahasiswa. Dengan tulisan merah di badan surat elektronik itu, ia menyebutkan bahwa UQ sudah menerapkan sistem pengecekan AI, dan siapa pun yang menggunakannya berpotensi disidang pelanggaran etika akademik.

Namun, beberapa minggu setelah pesan itu kami terima, dosen itu kembali berkata bahwa kampus tengah mengkaji ulang bagaimana penggunaan AI. Hingga tak selang lama, komite terkait sementara memutuskan untuk tak melarang penggunaan AI, asal disertai dengan sebuah pernyataan. Misalkan, ketika sebuah tugas dikerjakan dengan bantuan AI, harus dijelaskan bagaimana proses berinteraksi dengan AI dan bantuan apa yang diberikannya. Tetapi, dalam beberapa hal, seperti tugas coding, hal itu lebih ketat diatur.

Kondisi itu menjadi gambaran bagaimana kebijakan soal AI masih dalam proses yang dinamis di sektor pendidikan. Baik dari segi etika akademik, pertimbangan pemberian nilai antara mahasiswa pengguna AI dan non-AI, legalitas dan hak cipta, fungsi dosen, dan lain sebagainya. Solusi sementara yang terjadi di UQ, selalu terdapat keterangan tugas mana yang boleh dan tidak boleh dibantu oleh AI dan bagaimana proses pengakuannya.

Namun, dalam praktik pembelajaran sehari-hari, AI banyak digunakan oleh rekan-rekan saya. Mulai dari ChatGPT4 yang ampuh menjawab ragam persoalan hingga yang rumit, atau chatpdf yang bisa merangkum konten pdf dengan cepat dan hasilnya cukup akurat. Saya sendiri masih bergantung pada Grammarly dalam penulisan akademik. Atau, beberapa minggu lalu, seorang dosen mengajarkan penggunaan Research Rabbit, sebuah platform berbasis AI untuk membantu memetakan artikel ilmiah dan topik terkait berbasis data publikasi ilmiah yang sangat besar.

AI di Meja Kerja

Jika di bangku kuliah AI telah bermanfaat cukup signifikan, tentu hal yang mustahil untuk membuang manfaatnya di dunia kerja. Tapi, sejauh mana AI membuat takut beberapa pemuda yang hadir forum yIGF itu? Menariknya, tak seorang pun pemuda yang hadir di forum itu merasa terancam. Meski AI diprediksi akan menggantikan berbagai profesi. Seperti yang terjadi pada para penulis skenario film di Amerika, karyawan Google, Chegg, Dropbox, dan lainnya.

Namun, yang saya bayangkan saat itu ialah bukan diri saya, tetapi bayangan kampung halaman. Betapa banyak pengendara ojek online yang harus menderita (hingga meninggal dunia) karena ragam keputusan aplikasi yang turut dibantu AI. Mulai dari waktu kerja, performa berbasis bintang, jarak pelayanan, harga layanan, hingga rumitnya pembagian upah antara jasa perusahaan dan keringat pengendara.

Saya juga terbayang bagaimana pemuda-pemudi yang membawa map keliling kota untuk mencari kerja. Sementara di dalam gedung perkantoran, sudah duduk manis AI di dalam sistem komputer dan sistem informasi mereka.

Lamunan itu pecah oleh ungkapan yang cukup menohok dari Rajnesh Singh, seorang Regional Vice-President for the Asia-Pacific di Internet Society. Ia mengungkapkan bahwa pemuda yang ada di forum itu tak merasa takut karena punya sebuah kepercayaan diri untuk beradaptasi, juga berbagai keistimewaan lainnya. Hal yang harus dipikirkan adalah mereka yang berada pada posisi rentan, bagaimana mereka berpotensi terhapus dari daftar pekerja atau keahlian mereka tak lagi berguna.

Karenanya, regulasi kehadiran AI ataupun internet secara umum di Indonesia, perlu lahir dari pikiran dan kontribusi berbagai pemangku kepentingan (multi-stakeholder). Terutama pemuda sebagai digital native, juga mereka yang menjadi kelompok rentan; sebagaimana teknologi justru selalu menghasilkan kesenjangan (atau juga penindasan).

Sebagai penutup, saya teringat ada lagu Doel Sumbang, judulnya “Ai”. Ketika saya cek kembali, ada penggalan lirik begini: Rumasa teu bisa mungkir/ Asép oyag-oyagan ku Ai/ Rumasa teu bisa bohong/ Asép eundeuk-eundeukan ku Ai/.

Jika saya gunakan penggalan itu dan diartikan secara bebas, saya membayangkan Asep adalah orang kecil dan Ai adalah artificial intelligence. Kira-kira hasilnya begini: Merasa tak bisa menghindar, Asep gemetar oleh AI. Tak bisa dibohongi, Asep kelimpungan oleh AI.

Asep-Asep sedunia, bersatulah!

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//