• Kolom
  • KELAKUAN NETIZEN: Ingatan Personal di Arsip Digital

KELAKUAN NETIZEN: Ingatan Personal di Arsip Digital

Akun Instagram Eva Eryani menjadi senjata untuk melawan penggusuran Tamansari. Ketika ketegangan terjadi, ia tak ragu memperingatkan publik dari arsip miliknya.

M. Fasha Rouf

Mahasiswa Magister Komunikasi untuk Perubahan Sosial, The University of Queensland.

Eva Eryani, warga RW 11 Tamansari yang melawan proyek pembangunan rumah deret di atas puing rumah-rumah warga yang tergusur. (Foto: Virliya Putricantika/BandungBergerak.id)

6 September 2023


BandungBergerak.id – Seorang teman yang beken di Instagram, suatu kali mengunggah meme lucu ke Instastory di akunnya. Lambat laun, jurus mengeluarkan meme itu intens ia lakukan. Sangat menghibur, menertawakan berbagai ironi kehidupan. Ia pun membuat tagar, #1Hari1Meme. Terasa menggembirakan, ajaibnya beberapa temannya ikut meramaikan #1Hari1Meme.

Teman saya yang lain punya banyak sekali stock sticker Whatsapp yang isinya ragam sumpah serapah. Mulai dari yang hanya berisi gambar, atau memuat tulisan, seperti “tetap santai, walau jiwa terbantai”, atau “goblok sampai ke roh”.

Dari kelakuan netizen itu, saya mengamati bahwa setiap orang pasti pernah menyimpan arsip-arsip digital yang mewakili isi hatinya. Baik yang diproduksi sendiri, ataupun yang disimpan dari konten milik orang lain.

Kerja pengarsipan digital tampaknya dikerjakan dengan jeli oleh arsitek berbagai platform media sosial. Misalnya, di X, ada fitur “bookmark” untuk membantu kita menyimpan apa saja yang kiranya dianggap penting. Di Instagram, fitur “highlight” membuat kita bisa lebih rapi mengarsipkan cerita sesuai dengan momen atau konteks tertentu.

Alih-alih membantu manusia untuk mengekspresikan dirinya, tanpa disadari sebenarnya teknologi justru membentuk bagaimana seharusnya manusia bekerja dan mengekspresikan dirinya, termasuk cara platform media sosial merancang perilaku dan sistem pengarsipan kita.

i-Arsip dan Pencuri di Lapis Kedua

Masalah utama yang muncul ialah soal “siapa pemilik arsip” di era digital. Dulu, kegiatan pengarsipan bisa dilakukan sangat intim, hanya milik individu. Kita bisa menyimpan surat atau hadiah dari mantan gebetan di kolong ranjang, bahkan baru ingat ketika akan pindahan. Berganti ke teknologi komputer, kita bisa menyimpan berbagai ingatan di perangkat keras, mulai dari disket hingga hardisk. Tak semua orang bisa mengaksesnya, apalagi kalau sudah diberi kata sandi di setiap folder penting tersebut.

Namun, teknologi digital, terutama media sosial, mengubah kepemilikan arsip kita. Kita tak lagi menjadi pemilik tunggal. Holger Pötzsch (2018) menulis tentang i-Archive. Istilah pengunaan i, merujuk pada ambiguitas khas arsip digital. Misalnya, arsip digital disebutkan bisa diakses di mana pun, tetapi di sisi lain, sesungguhnya ia tersimpan dalam server fisik di suatu tempat. Arsip digital dianggap sebagai bagian dari pemberdayaan (mulai dari ekspresi diri, hingga mobilisasi), tetapi di sisi lain, arsip digital pun menjadi alat untuk penindasan saat digunakan oleh pemilik kuasa, seperti perusahaan dan pemerintah.

Dalam arsip digital, perusahaan dan pemerintah secara tak langsung dijadikan sebagai pemilik atas berbagai arsip digital kita. Pötzsch (2018) menyebutkan bahwa arsip digital terbagi menjadi dua layar. Lapisan terluar ialah arsip digital sebagai bagian dari memori individu dalam dunia online, bisa berisi berbagai aktivitas dan ekspresi. Namun, dalam lapisan terdalam, arsip dalam yang bersifat diam-diam atau implisit, dikendalikan oleh kepentingan perusahaan, yang beroperasi di bawah radar pengguna biasa.

Dalam bisnis kapitalistik dan era pengawasan politik, arsip kita diubah menjadi indeks dalam tabel-tabel dengan kategorisasi tertentu untuk kemudian dijadikan hitungan rumus matematika. Kemudian diolah dan dianalisis secara prediktif melalui algoritma yang memiliki intensi tertentu yang dapat memengaruhi kehidupan pemilik arsipnya itu sendiri. Kehidupan kita terpengaruh melalui iklan-iklan yang kini lebih tajam menyesuaikan dan mengatur preferensi kita, hingga pengaruh pada sikap dan pilihan politik kita.

Tesis dari Pötzsch (2018) ini bisa menjadi catatan bagaimana kita harus tetap cermat dan cerdik dalam mengarsipkan memori kita. Mana yang bisa dibagikan ke media sosial, tersimpan di telepon saja, atau cukup tetap dalam bentuk fisiknya. Sebab, setiap orang pasti punya pemaknaan dan perlakuan berbeda terhadap arsip digital.

Baca Juga: KELAKUAN NETIZEN: Lagu dan Laku Netizen Beriman
KELAKUAN NETIZEN: Mudik Virtual
KELAKUAN NETIZEN: Merekam yang Dihapus Negara

Arsip dan Perjalanan

Myria Georgiou dan Koen Leurs pada 2022 menulis jurnal, Smartphones as personal digital archives? Recentring migrant authority as curating and storytelling subjects. Mereka memotret bagaimana para migran memaknai arsip digital yang tersimpan di telepon pintarnya. Melalui penelitian kualitatif, teridentifikasi tiga pemaknaan penting tentang memori digital bagi para migran.

Pertama adalah arsip material, telepon pintar secara fisik dimaknai sebagai bentuk arsip yang paling nyata. Perangkat telepon pintar menjadi penyimpan memori tentang perjalanan para migran yang penuh tantangan, hidup dalam situasi konflik, tinggal di pengungsian, juga aktivitas sehari-hari mereka. Seorang informan mengungkapkan, “kehilangan arsip adalah pengalaman yang traumatis, menyakitkan, dan seperti merasakan kehilangan diri sendiri”.

Kedua, para migran memaknai arsip digital sebagai bagian tak terpisahkan dari emosi mereka. Audio-visual menjadikan memori terasa sangat lebih utuh. Shevan, pria berumur 25 tahun dari Aleppo menunjukkan sebuah foto dari telepon pintarnya kepada para peneliti. Foto itu menggambarkan sebuah pasar tua di kota yang sangat tua di Aleppo. “Tapi semuanya kini tiada, karena mereka menghancurkan semuanya,” tuturnya. Melalui arsip foto digital itu, kini ia hanya bisa menikmati cahaya yang menusuk ke jendela.

Selain itu, riset tersebut menunjukkan bahwa arsip pribadi adalah juga merupakan catatan perjalanan kolektif dan kehidupan baru yang lebih tangguh pasca migrasi. Misalnya, para guru dan anak-anak migran di sekolah multikultural di Athena, secara teratur memproduksi video ponsel pintar yang menyenangkan tentang kehidupan bersama yang penuh sukacita. Mereka secara kolektif ingin menciptakan kenangan baru di luar kenangan perang dan pengusiran.

Terakhir, para migran memaknai arsip digital sebagai simbolik politik migran. Arsip-arsip digital kadang menjadi catatan yang memberatkan dalam tata kelola migrasi. Ketika Eropa semakin menuntut akses ke teknologi komunikasi yang paling intim bagi para migran, ponsel pintar menjadi jejak digital yang pasif dan aktif. Pihak berwenang semakin sering menggunakannya sebagai bukti “keaslian” migrasi paksa dan kemauan untuk mengubah. Tak ayal, para imigran sering kali harus merelakan berbagai arsipnya terhapus agar lolos kebijakan politik imigrasi.

Arsip dan Perlawanan

Membaca artikel Georgiou dan Leurs itu, saya justru teringat pada Teh Eva Eryani, seorang perempuan yang bertahan dari penggusuran Tamansari. Setiap tindakan represif aparat, kebijakan pemerintah yang merugikan, surat-surat yang dikeluarkan, omongan politisi yang basa-basi, dan berbagai detail lainnya ia arsipkan di akun Instagramnya. Ketika ketegangan terjadi, ia tak ragu memperingatkan publik dari arsip yang dimilikinya.

Akun tersebut menjadi perekam bagaimana ia berjuang menuntut keadilan. Arsipnya terbuka bagi publik, meski pemerintah terkait mungkin tak pernah membukanya. Arsip menjadi salah satu senjata Teh Eva untuk memenangkan pertarungan. Atau, jika mungkin pemerintah dengan berbagai arogansi dan kebijakannya tetap menang, akun Instagram Teh Eva akan menjadi museum juang Tamansari: tungku api abadi bagi setiap mata yang membuka akunya.

Atau kita tengok sosok perempuan lain yang layak menjadi panutan dalam kerja pengarsipan untuk perubahan sosial. Tak lain akun Instagram Maria Sumarsih. Dengan tekun, tabah, dan semangat yang tak pernah padam, Bu Sumarsih terus merekam peristiwa Kamisan dari waktu ke waktu. Pada 31 Agustus 2023, di akun itu ditampilkan aksi Kamisan ke-785.

Sebagai bagian anak bangsa, saya sedih dan malu saat membuka akun-akun berisi memori yang pilu itu. Betapa panjang perjuangan-perjuangan yang tak pernah didengarkan. Kalau kata sticker Whatsapp yang dikirim teman saya, “tak sanggup melihat fakta seterang ini” karena “malaikat menilai: sangat buruk”.

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//