• Opini
  • MAHASISWA BERSUARA: Filsafat dan Jurnalisme, Sebuah Proglomena

MAHASISWA BERSUARA: Filsafat dan Jurnalisme, Sebuah Proglomena

Jurnalisme dapat belajar dari filsafat untuk kritis dan radikal dalam mencari fakta. Filsafat juga dapat belajar dari jurnalisme untuk melihat realitas lebih dekat.

Muhammad Akbar Darojat Restu Putra

Mahasiswa Aqidah dan Filsafat Islam Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya

Mural kritis pada pemerintah di dinding flyover Laswi, Bandung, Kamis (26/8/2021). (Foto: Prima Mulia/BandungBergerak.id)

26 Januari 2024


BandungBergerak.id – Tulisan ini tak bermaksud mengeksposisi sebenderang mungkin relasi antara filsafat dan jurnalisme, baik dari segi epistemologis, ontologis maupun aksiologis. Tulisan ini dapat dikatakan hanya demonstrasi ringkas mengenai relasi antara filsafat dan jurnalisme.

Dalam arti demikian, tulisan ini membatasi diri untuk menjawab pertanyaan: Adakah persamaan antara filsafat dengan jurnalisme? Adakah perbedaan antara filsafat dengan jurnalisme? Bagaimana kontribusi filsafat pada jurnalisme? Dan, bagaimana kontribusi jurnalisme pada filsafat? Maka, tulisan ini hanyalah sederap langkah kecil yang menjadi proglomena guna mendorong kajian yang lebih intensif mengenai filsafat dan jurnalisme.

Baca Juga: Lantang Suara Kritis dari Dinding Kota
Keniscayaan Jurnalisme Bermutu di Era Algoritma
Mencari Hal Baru dalam Filsafat?

Filsafat dan Jurnalisme

Filsafat dan jurnalisme memiliki sejarah yang panjang setua peradaban manusia itu sendiri. Keduanya pun dipertemukan pada persimpangan yang sama: pencarian akan kebenaran. Jurnalis adalah seorang yang mencari kebenaran dalam rimbunan semak belukar informasi. Sementara filsuf adalah seorang yang juga mencari kebenaran dengan mensistematisasi dan menguniversalisasi berbagai peristiwa yang sekilas tampak terpenggal-penggal.

Karena itulah, kita dapat mengerti ada seorang filsuf yang merangkap juga menjadi jurnalis. Sebut saja misalnya Karl Marx yang menulis catatan kolonialisme Inggris untuk media New York Daily Tribune. Atau Hannah Arendt yang menulis laporan persidangan genosida Nazi.

Kendati demikian, kebenaran yang hendak digapai filsafat dengan jurnalisme jelas berbeda. Jurnalis berusaha menggali beragam informasi dan data yang menyembul dari peristiwa yang telah terjadi untuk kemudian diuji dan diverifikasi demi menemukan fakta. Sehingga, jurnalis berusaha memisahkan dan membersihkan fact dari fake. Fakta itulah yang nantinya disebarkan kepada masyarakat.

Sedangkan seorang filsuf tak pernah mencukupkan diri pada fakta. Seorang filsuf akan memampukan totalitas dirinya untuk mencari hakikat terdasar dari realitas. Di sinilah letak perbedaan antara jurnalisme dengan filsafat: jurnalisme tidak perlu berurusan dengan metafisika, sementara filsafat tidak bisa tidak harus berurusan dengan metafisika.

Perbedaan yang demikian membuat pencarian kebenaran seorang filsuf jauh lebih dalam ketimbang jurnalis. Bagaimanapun, seorang filsuf dapat dibayangkan hendak mendaki menara yang paling tinggi untuk melihat gunung, laut, pantai dsb. Sementara jurnalis hanya perlu memanjat pohon saja sehingga hanya segelintir realitas yang dapat dipandang.

Dengan posisi yang demikian, agaknya filsafat terlalu meremehkan jurnalisme. Ini melihat kerja-kerja jurnalistik yang cenderung praktis dan menghindarkan diri untuk berurusan dengan makna akan sebuah realitas. Apalagi macam aliran fenomenologi yang mencoba untuk kembali pada to thing in itself.

Perbedaan lain yang juga patut dicatat dari keduanya ialah sikapnya dalam menghadapi realitas. Seorang jurnalis tak bisa menghindarkan diri realitas. Jurnalis akan terlibat dan dekat pada realitas walau tak perlu menghidupinya. Sedangkan filsuf cenderung menjaga jarak pada realitas. Keberjarakan itu dilakukan agar filsuf dapat menemukan inti yang terdalam dalam sebuah realitas. Dan juga agar berbagai realitas yang berserakan dapat dilihat dalam keutuhannya.

Namun, kita akan secepatnya menemukan sebuah ironi. Walau kebenaran yang hendak digapai jurnalis tak sedalam dengan filsuf, namun lebih banyak jurnalis ketimbang filsuf yang mesti meregang nyawa atas nama kebenaran. Tanpa perlu menyodorkan data, kita dapat melihat ratusan atau ribuan jurnalis yang harus merelakan nyawanya ketika melakukan kerja jurnalistik.

Sementara dalam sejarah filsafat, kita hanya menemukan sekelumit nama filsuf yang menghembuskan nafas terakhir karena berusaha mempertahankan keyakinan filosofisnya. Ini merentang dari Sokrates, para sufi, atau para filsuf yang terlibat dalam aksi-aksi politis yang riskan.

Dari sini kita dapat memahami bahwa sebenarnya jurnalis yang justru menerapkan kebenaran model Sokratik atau setidaknya Parhesiatik ala Foucault dalam arti yang aksiologis. Penyebabnya barangkali karena filsafat ketika sudah masuk tembok universitas menjadi cenderung berkutat pada hal-hal teoritis. Sehingga, menurut Pierre Hadot, melupakan hakikat dari filsafat itu sendiri sebagai laku menempa hidup.

Lagi pula ketika sampai di menara yang tertinggi, filsafat belakangan ini cenderung hanya memandang realitas, tanpa ada pretensi untuk terjun dan menceburkan diri di dalamnya. Dengan lain kata, filsafat sekarang ini cenderung hanya terlibat dalam kerja teoritis dan menanggalkan kerja praksis. Hal yang justru bertentangan dari apa yang diajarkan oleh trio agung filsafat kuno: Sokrates, Plato dan Aristoteles.

Dan patut dicatat juga bahasa yang digunakan cenderung abstrak yang tak semua orang bisa memahami. Sekalipun misal ada filsafat yang berjiwa revolusioner, namun isinya tak selalu bisa tersampaikan pada banyak orang karena bahasanya yang tak mudah dicerna. Berbeda dengan jurnalisme yang bahasanya dapat dijangkau oleh semua kalangan. Apalagi ketika jurnalisme meminjam sastra yang termanifestasi dalam feature atau literary journalism sehingga dapat mengoyak dan menggerakkan jiwa banyak orang.

Jurnalisme dan Filsafat yang Saling Melengkapi

Dengan mendudukkan filsafat dan jurnalisme dalam posisi yang setara seperti itulah, kita dapat memahami kelebihan dan kekurangan keduanya. Dalam arti ini, kita perlu menunjukkan apa kontribusi filsafat pada jurnalisme dan sebaliknya, apa kontribusi jurnalisme pada filsafat.

Jurnalisme dapat belajar dari filsafat untuk kritis dan radikal dalam mencari fakta. Bahwa kerja jurnalistik bukan soal memburu breaking news. Bahwa kerja jurnalistik bukan soal adu cepat menyebarkan informasi. Dengan meminjam pada filsafat, jurnalis mesti kritis untuk melihat beragam informasi yang muncul dari suatu peristiwa. Jurnalis juga mesti menyajikan informasi yang tertuang dalam liputan dengan sedalam dan mengakar mungkin setelah melalui serangkaian verifikasi dan bahkan falsifikasi.

Hal itu dapat dilihat dari, misalnya, hasil reportase jurnalis cum sastrawan besar Gabriel Garcia Marquez. Ketika kapal perang angkatan laut Kolombia Caldas karam pada 1955, Gabo (panggilan akrabnya), mewawancarai Luis Velasco yang merupakan satu-satunya korban yang selamat dari tragedi itu. Dalam waktu tiga minggu, Gabo mewawancarai mengenai apa yang ia lakukan selama 10 hari terombang-ambing di laut.

Reportase itu kemudian terbit jauh sesudah tragedi itu dibicarakan banyak orang dan menjadi berita aktual. Ternyata reportase itu menunjukkan bahwa kapal karam bukan karena kecelakaan alamiah seperti versi pemerintah, namun karena banyaknya barang selundupan yang dimasukkan dalam kapal. Karena itu, ia menganggap kerja jurnalistik sebagai “cerita lengkap, rekonstruksi utuh sebuah peristiwa, setiap detail kecil punya makna. Inilah dasar kredibilitas dan kekuatan cerita”.

Begitu pun sebaliknya, filsafat juga mesti belajar dari jurnalisme. Dengan ini, filsafat tak lagi berjarak pada realitas dalam arti seutuhnya. Filsafat harus berupaya untuk terlibat dalam realitas dengan melihat, menelisik dan menyentuh kepingan-kepingan peristiwa yang datang-timbul. Dalam arti ini, kerja filsafat tak lagi hanya duduk membaca buku di perpustakaan, melainkan juga terjun dalam realitas untuk kemudian diamati dan dianalisis sesuai dengan kerangka berpikir filosofis. Dengan ini pula, filsafat juga bisa melihat masyarakat secara lebih dekat dan bisa terlibat untuk menyelesaikan berbagai persoalannya.

Karena itu, filsafat dapat kembali pada hakikatnya sebagaimana diajarkan oleh para mendiang filsuf kuno, ketika filsafat tak hanya bergulat pada yang teoritis, melainkan juga berkecimpung pada yang praksis. Ketika filsafat turut menyelesaikan beragam persoalan dunia secara real dan bukan hanya menjadi kepuasan intelektual belaka. Dalam hal ini, filsafat tak menggunakan bahasa yang cenderung hanya bisa dipahami oleh orang tertentu saja, melainkan juga bisa dipahami oleh banyak orang.

Dengan saling memanfaatkan itulah, filsafat dan jurnalisme dapat memperkokoh bangunan tubuhnya. Dan dengan caranya masing-masing, keduanya dapat berguna untuk menerangi peradaban yang kian hari kian suram.

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//