• Nusantara
  • Keniscayaan Jurnalisme Bermutu di Era Algoritma

Keniscayaan Jurnalisme Bermutu di Era Algoritma

Jurnalisme bermutu menjadi kata kunci bagi pers yang ingin bertahan di tengah arus teknologi digital. Mereka hadir dalam media-media alternatif.

Ilustrasi. Sedikitnya 24 awak redaksi Narasi TV mengalami serangan digital sejak Jumat (23/9/2022). Serangan digital berupa peretasan ini yang terbesar sejak 4 tahun terakhir. (Foto: Aliansi Jurnalis Independen)

Penulis Iman Herdiana9 Mei 2023


BandungBergerak.idPeran pers sebagai lembaga yang menyuarakan kepentingan publik, mendapat tantangan serius di era digital saat ini. Pers dituntut melahirkan karya-karya jurnalistik bermutu sekaligus menyesuaikan diri dengan kemajuan zaman. Mereka juga harus berebut kue iklan dan algoritma global agar bisa tetap bertahan.

Anggota Dewan Pers Atmaji Sapto Anggoro mengatakan saat ini transformasi era digital bagi pers sudah berlalu. Sebaliknya, kata Ketua Komisi Kemitraan dan Infrastruktur Organisasi Dewan Pers tersebut, pers sudah menjadi bagian dari era digital itu sendiri.

“Transformasi digital ini adalah keniscayaan (bagi pers). Kalau tidak mengikutinya, jangan nangis-nangis kalau tertinggal,” kata Sapto, dalam webinar “Jurnalisme Berkualitas di Era Transformasi Digital: Peluncuran Studi Unpad dan SAIAC, Rekomendasi Peningkatan Persaingan Jurnalisme di Era Digital”, Senin (8/5/2023).

Perkembangan terkini dari era digital adalah kemajuan teknologi kecerdasan buatan (artificial intelligence/AI). Produk teknologi digital ini memungkinkan pemangkasan Sumber Daya Manusia (SDM) di dunia pers. Sebagai contoh, berita sudah bisa ditulis oleh AI atau robot.

“Tantangan media semakin berat. (Perkembangan teknologi digital) Itu tidak menunggu tahunan, bisa jadi minggu atu bulan depan berubah,” katanya.

Ada kabar positif di balik perkembangan teknologi digital, salah satunya kemudahan membentuk media online. Hingga saat ini, Dewan Pers memperkirakan ada sekitar 43 ribu media digital. Media daring ini bisa dibentuk oleh siapa saja, tidak harus selalu oleh orang yang memiliki latar belakang pendidikan jurnalisme.

Dari 43 ribu media digital tersebut, baru 1.728 media yang sudah terverifikasi Dewan Pers yang sebagian besar media siber, disusul 424 media cetak, sisanya televisi dan radio.

Sayangnya, di tengah banjir media daring, belum tentu mereka memproduksi karya-karya jurnalistik berkualitas. Kebanyakan media daring justru berusaha mengejar algoritma demi bisa menghasilkan iklan-iklan programatik.

Pers yang mengejar algoritma memiliki masalah tersendiri. Produk jurnalisme yang mereka hasilkan harus disesuaikan dengan algoritma, mulai dari judul hingga isi produk jurnalistiknya. Berita yang dibuat bukan lagi demi kepentingan publik, melainkan demi algoritma.

Ironisnya, Sapto menilai pers di era digital kalah cepat dibandingkan warganet (netizen). Ini misalnya terlihat pada kasus-kasus viral yang kemudian menjadi sumber pemberitaan pers, ini berlaku pada kasus jalan rusak di Lampung, penganiayaan David Ozora oleh Mario Dandy, kasus AKBP Achiruddin, dan lain-lain.

Fungsi pers sebagai lembaga kontrol sosial dan mengawal kepentingan publik sebagaimana diamanatkan UU Pers pun dipertanyakan.

Baca Juga: Pagebluk Covid-19 dan Tugas Jurnalistik
Yang Tidak Boleh Luput pada Jurnalisme Foto Humanisme
Jurnalisme Warga sebagai Media Advokasi Daerah Pelosok

Dilema Algoritma

Pers yang memberitakan berita-berita viral bukannya tanpa alasan yang kuat. Berita-berita viral dibikin untuk menembus algoritma digital agar peluang keterbacaan suatu berita oleh mesin pencari menjadi lebih besar. Akhirnya, keterbacaan oleh mesin pencari ini membuka peluang masuknya iklan-iklan algoritma.

Namun Sapto mengingatkan tentang pentingnya mendirikan pagar api antara iklan dan berita. Sayangnya, sistem algoritma ini membuat batas-batas api tersebut melebur sehingga pembaca sulit membedakan mana berita dan mana iklan.

“Dewan Pers selau mengimbau agar batas api ini diberlakukan, agar masyarakat tidak tertipu mana iklan mana berita,” kata Sapto.

Tumbuh suburnya media-media siber membuat mereka belomba-lomba mendapatkan kue iklan algoritma demi keberlangsungan hidup mereka. Menurut Sapto, selama 4 tahun terakhir belanja iklan di Indonesia naik dua kali lipat dan akan terus tumbuh. Tahun ini nilai belanja iklan mencapai 287 triliun rupiah, meningkat 5 persen dibandingkan tahun sebelumnya (YoY), 2022.

Namun dari nilai iklan itu, 70 persennya kembali ke platform-platform global, sedangkan pers hanya kebagian sisanya. Dengan kata lain, pendapatan dari iklan algoritma bagi pers tidak signifikan. Kondisi ini membuat media pers tidak berumur panjang. Banyak media-media siber yang berguguran.

Tentu tidak semua media-media siber tersebut tergantung pada algoritma. Masih ada pers yang tetap berusaha menghasilkan karya-karya jurnalistik bermutu, berpegangan pada kode etik jurnalistik, dan kritis. Nilai-nilai jurnalistik inilah yang menurut Sapto tidak akan tergantikan oleh robot atau kecerdasan buatan.

“Bila kita sepakat dengan jurnilme bermutu, penggalian data, berpikir analitis, kritis, dan berpegangan pada kode etik adalah kata kunci dalam perjuangkan jurnalisme berkualitas (di era digital),” kata Sapto.

Algoritma pada teknologi digital membuat keseragaman pada produk-produk jurnalistik yang dihasilkan pers, baik bentuk karya jurnalistik maupun tampilan platform mereka. Eni Mariani, peneliti media yang juga Kepala Departemen Fikom Unpad, dalam temuannya mengungkapkan bahwa tampilan situs-situs berita tidak jauh berbeda dengan situs-situs nonjurnalistik yang penuh dengan iklan programatik, popup, seperti situs judi online.

Di tengah riuh redam iklan programatik, menurut Eni masih ada pers yang konsisten tidak tergantung pada programatik. Mereka serius menghasilkan berita-berita berbasiskan standar jurnalistik, yakni mengedepankan kepentingan publik dengan jurnalisme berkualitas. Eni menyebut pers jenis ini sebagai media alternatif.

Hanya saja, tidak semua media alternatif yang menghasilkan konten-konten berkualitas tersebut telah terverifikasi atau terdaftar di Dewan Pers. Salah satu alasan mereka tidak terdaftar karena tidak bisa memenuhi sejumlah persyaratan verifikasi Dewan Pers, antara lain bentuk perusahaan mereka harus berupa PT.

“Jangan-jangan media alternatif menghasilkan konten-konten yang lebih berkualitas tapi dikhawatirkan mereka tidak terdaftar di Dewan Pers. Bagaimana Dewan Pers bisa akomodir media-media berkualitas (media alternatif) ini,” kata Eni, pada acara yang sama.

Editor: Redaksi

COMMENTS

//