Yang Tidak Boleh Luput pada Jurnalisme Foto Humanisme
Keluarga Mahasiswa Jurnalistik Universitas Islam Bandung menggelar pameran foto Manifesto: Photography for Humanity. Menyajikan kisah dan harapan orang-orang biasa.
Penulis Reza Khoerul Iman2 Maret 2023
BandungBergerak.id – Pada sekali waktu, Harry Surjana pada masa-masa awal bekerja sebagai fotografer di harian Pikiran Rakyat pernah mendapat tugas untuk memotret ke rumah duka pesepak bola legendaris Jawa Barat dan Nasional, Munaif Saleh yang pada waktu itu meninggal dunia.
Harry dengan semangat mudanya lantas pergi ke rumah duka yang berada di Sasak Gantung Bandung. Pada waktu itu, di rumah pemain legendaris itu telah berkumpul petinggi Komite Olahraga Nasional Indonesia (KONI) bersama para pejabat lainnya, kerabat dan keluarga yang tengah membacakan Surat Yasin.
Waktu itu Harry ingin memotret suasana keseluruhan di rumah duka tersebut. Namun ia kesulitan menemukan tempat yang bagus untuk mendapatkan potret secara keseluruhan, kecuali dengan naik ke atas dipan yang berdekatan dengan tempat jenazah di tempatkan. Tak ada pilihan lain, tanpa berpikir panjang lantas ia memotret di sana.
“Saya waktu itu naik supaya jenazah dan pejabat-pejabatnya ke ambil. Kalau saya ambil dari belakang, gak kelihatan pejabatnya karena mereka semua menghadap ke jenazah. Kalau ambil dari sisi gak kelihatan karena sempit. Akhirnya saya pilih yang naik ke dipan agar dapat foto yang menggambarkan suasana keseluruhan. Sebenarnya itu gak ada etikanya banget, sih,” ungkap Harry Surjana pada saat talkshow di sela pameran foto Manifesto: Photography for Humanity pada Selasa, (28/02/2023).
Akibat aksinya itu, Harry mendapatkan teguran dari seniornya karena dinilai sudah keluar dari etika dan tidak memiliki empati. Para seniornya lantas memberinya solusi dan kemungkinan-kemungkinan momen yang bagus untuk memotret. Ia pun baru menyadarinya dan mengakui merasa malu.
Kejadian itu menjadi sebuah pelajaran penting bagi Harry dalam memotret. Ia menekankan bahwa peran etika dan empati adalah poin yang utama dalam seluruh simpul jurnalisme, dalam hal ini khususnya jurnalisme foto.
Dengan etika, lanjut Harry, seorang jurnalis dapat mendapatkan hasil yang lebih, baik itu dalam hal informasi, tulisan, dan foto. Dengan menerapkan empati juga berarti ia telah berpihak pada kemanusiaan bukan kelompok tertentu.
“Hasilnya jurnalis dapat membuat karya yang lebih mendalam dan lebih humanis. Karya jurnalistik yang dibuat dengan empati bukan berarti mengeksploitasi penderitaan warga yang termarjinalkan. Namun menggambarkan perjuangan mereka dalam kehidupan,” ujarnya.
Baca Juga: Tips Berburu Beasiswa di Kampus UI
Persyaratan Mendapat Beasiswa Utusan Daerah IPB
Dekan FISS Unpas Menerbitkan Buku Antologi Haiku
Pola Pikir Guru Dituntut Berubah
Empati dalam Kerja Junalistik
Peran empati dalam kerja-kerja jurnalistik masih menjadi suatu hal yang sering kali luput untuk diterapkan, dan terkadang malah menimbulkan kesalahpahaman. Dalam jurnalisme foto misalnya, Harry menyebut masih ada fotografer yang memotret dengan sembunyi-sembunyi. Padahal untuk menghasilkan foto yang memiliki nilai empati dan humanisme perlu adanya interaksi dan kedekatan dengan subjek.
Hal ini ditekankannya supaya foto jurnalistik memiliki nilai humanisme dan tidak malah cenderung datar. Poin penting lainnya, dengan empat dan humanisme membuat karya foto jurnalistik dapat mendorong pembaca juga ikut berempati dan terdorong untuk membantu. Sekurangnya hal-hal penting itu yang mesti ditanamkan seorang jurnalis foto, terutama dalam memotret unsur humanisme.
Anis Astriani (20), salah satu pameris dari pameran foto Manifesto: Photography for Humanity, mengaku cukup mendapat banyak masukan setelah mendengar paparan dari Harry Surjana. Ia jadi menyadari apa saja yang menjadi catatan dalam foto yang diberi tajuk “Menyambung Hidup dengan Es Potong Keliling” tersebut.
Berinteraksi dengan subjek untuk menghasilkan suatu karya foto jurnalistik yang memiliki nilai empati dan humanis seperti yang diterangkan oleh Harry merupakan poin yang menjadi catatannya. Ia mengaku masih memiliki keraguan untuk berinteraksi dengan subjek foto, terlebih jika usianya terpaut cukup jauh.
“Jujur aja untuk aku sendiri masih ada kurangnya dalam hal berinteraksi dengan bapaknya. Jadi hasilnya masih belum dapat yang maksimal. Masih flat gitu,” ujar Anis kepada BandungBergerak.id.
Pengalaman Meliput dengan Empati
Harry Surjana sudah terbilang memiliki pengalaman yang begitu luas sebagai seorang jurnalis foto senior. Sudah tak ayal lagi, ia telah memiliki segudang pengalaman. Namun ia masih terus mengasah keahliannya dengan terjun memotret ke lapangan.
Untuk memiliki kesadaran berempati dalam memotret, Harry menyebut bukanlah suatu proses yang sebentar dan mudah. Perlu renungan, evaluasi, dan sering berdiskusi dengan sesama jurnalis foto yang lain untuk mengetahui hal yang kurang dan yang perlu di perbaiki.
Harry memberi contoh lagi. Kisahnya dari pengalaman saat meliput operasi Gerakan Aceh Merdeka (GAM) pada tahun 2003. Sebelum berangkat ke Aceh yang ia pikirkan adalah berusaha mendapat foto kondisi perang, tembak-menembak, atau bangunan yang dibakar. Foto-foto yang diniatkannya dari Bandung memang berhasil didapat. Namun setelah dipikirkan ulang, ia merasa bukan hanya foto ini yang seharusnya ia ambil, tapi foto orang-orang yang tidak bersalah dan mendapat imbas dari konflik yang terjadi yang seharusnya ia dapatkan juga. Menurutnya apabila hanya foto-foto perang saja yang ia ambil, tidak ada nilai empati di dalamnya.
Pengalaman yang lain, pada saat Harry meminta izin untuk memotret seorang ibu yang tengah menyuapi anaknya untuk foto ilustrasi. Pada suatu waktu, fotonya dipergunakan untuk foto ilustrasi berita gizi buruk sehingga ia menuai protes dari ibu tersebut.
Harry menegaskan bahwa tujuan memotret itu harus pasti, jangan sampai digunakan dengan konteks yang berbeda yang akhirnya malah menyebabkan kesalahpahaman. Alih-alih mendapatkan empati dari pembaca, tapi malah menuai kecaman.
“Kegiatan kita di lapangan sangat penting untuk pengalaman sebagai jurnalis foto. Saya pun memiliki kesadaran empati dalam memotret setelah terjun lama di lapangan sebagai jurnalis foto,” ujar Harry.
Pameran Fotografi Manifesto: Photography for Humanity
Penyelenggaraan pameran foto sudah jadi agenda tahunan Keluarga Mahasiswa Jurnalistik (KMJ) Universitas Islam Bandung (Unisba). Pada pameran foto tahun ini KMJ Unisba mengangkat tema Manifesto: Photography for Humanity yang diselenggarakan di Student Centre Unisba sejak tanggal 28 Februari sampai 1 Maret 2023.
Manifesto sendiri memiliki arti pernyataan terbuka tentang tujuan dan pandangan seseorang atau suatu kelompok. Kata manifesto dipilih karena berawal dari kebiasaan KMJ Unisba yang selama ini meliput dan memotret orang-orang biasa. Harapannya, suara-suara, keluh kesah, aspirasi, atau harapan dari orang-orang tersebut dapat diangkat kisahnya.
“Tajuk ini juga jadi suara-suara subjek yang kami tampilkan dalam pameran foto ini,” ucap Fikra Zami selaku Ketua Pelaksana pameran kepada BandungBergerak.id.
Pameran foto ini memuat 41 foto dari 11 pameris dan dikuratori oleh Andri Gurnita. Melalui pameran foto ini juga, KMJ Unisba beritikad untuk tetap berpihak pada kelompok minoritas dan merangkul mereka agar tercipta kesetaraan di tengah stigma yang beredar di masyarakat.