Jurnalisme Warga sebagai Media Advokasi Daerah Pelosok
Aktifnya jurnalisme warga yang mematuhi Kode Etik Jurnalistik merupakan senjata di daerah 3T untuk mengawal kewajiban yang harus dijalankan pemerintah.
Muhammad Farrel Fauzan
Mahasiswa Ilmu Komunikasi, Universitas Pendidikan Indonesia.
19 Mei 2022
BandungBergerak.id - Pada tahun 2015, Organisasi Perserikatan Bangsa Bangsa membuat sebuah Tujuan Pembangunan Keberlanjutan (Sustainable Development Goals) yaitu, program komitmen global dalam mencapai pembangunan keberlanjutan yang berdasarkan pada kesejahteraan ekonomi, pemeliharaan satu generasi ke generasi berikutnya di masyarakat, pemeliharaan lingkungan hidup, dan menjamin keadilan sosial di masyarakat (Kementerian PPN/Bappenas, 2020).
Program ini mengusung 17 goals sebagai indikator ketercapaian yang di antaranya adalah menjamin kesejahteraan khususnya, dalam bidang pendidikan di masyarakat pada goals ke-4. Goals ini juga berkaitan dengan tujuan negara Indonesia yang termaktub dalam Undang-Undang Dasar 1945 dalam Alinea keempatnya yaitu, "Mencerdaskan kehidupan bangsa". Hal ini juga diturunkan dalam pasal 31 ayat 1 Undang-Undang Dasar yaitu, "Setiap warganegara berhak mendapatkan pendidikan yang sesuai".
Dengan tercantumnya pasal tersebut, pemerintah wajib untuk mewujudkan indikator dari Sustanaible Development Goals dengan prinsip “no one left behind” untuk mendapatkan akses pendidikan yang setara tanpa diskriminasi di seluruh Indonesia dan memberikan pendidikan yang layak agar nantinya berpengaruh pada kesejahteraan individu dan negara.
Dalam implementasinya, memperbaiki kualitas pendidikan Indonesia tentu bukan hanya tanggung jawab pemerintah saja, melainkan seluruh warga negara Indonesia wajib berpartisipasi memperbaiki kualitas pendidikan Indonesia. Salah satu caranya, membangun komunitas yang berinisiatif memberikan program mengajar atau biasanya disebut volunteer, khusus untuk mengajar yang diutamakan ke daerah 3T (Terdepan, Terluar, Tertinggal).
Permasalahan 3T sendiri menurut Cynthia (2009) adalah belum sepehuhnya program pemerintah menjangkau lapisan masyarakat. Lebih rinci permasalahan daerah 3T menurut Kemendibudristek (2021) di antaranya adalah; belum tersedianya layanan pendidikan yang layak di sekitar wilayah 3T, minimnya akses layanan pendidikan, minimnya jumlah pendidik, distribusi guru tidak seimbang, dan prasarana yang tidak memadai. Dengan inisiatifnya gerakan seperti salah satu gerakan mengajar 'Gerakan Mengajar Desa', atau dengan berpartisipasi mengikuti program yang disediakan oleh Kementerian Pendidikan Kebudayan Riset Teknologi yaitu program "Kampus Mengajar", mudah-mudahan dapat menyelesaikan permasalahan akses pendidikan yang berada di pelosok.
Namun dalam sistem demokrasi, warga negara tidak hanya bisa mengajar, melainkan juga berhak melakukan pengawasan. Mengawasi dan mengawal kewajiban pemerintah menjadi kunci penting agar permasalahan pelayanan pendidikan di daerah 3T sekaligus indikator ke-4 Sustainable Development Goals benar-benar tercapai. Menjadi penting pula sebuah pengawasan untuk mengawal pengeluaran fiskal pemerintah khususnya Kemendikbudristek agar tidak bermasalah dan benar-benar secara merata untuk membangun pelayanan publik, mengurangi kesenjangan pengajar khususnya guru honorer, menghilangkan marjinalisasi kepada rakyat desa, atau eksploitasi dalam program-program sektor pendidikan.
Mengacu pada dasar hukum, amanah ini tertuang dalam pasal 4 poin ‘a’ UU no 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional di mana pemerintah wajib menyelenggarakan pendidikan yang demokratis dan menjunjung Hak Asasi Manusia. Ini juga berkaitan dalam UU no 6 tahun 2008 tentang desa di pasal 4 poin ‘h’ bahwa, desa berhak akan kemajuan perekonomian dan mengatasi kesenjangan dan menjadi salah satu goals di SDG’s 30 ke-10 yaitu mengurangi kesenjangan.
Untuk mengawasi kebijakan, dan pengeluaran fiskal pemerintah, dibutuhkan informasi yang menyebar ke masyarakat luas dengan memanfaatkan teknologi media baru, salah satunya, dengan memulai aktivitas jurnalisme warga atau citizen journalism sebagai watchdog atau ‘anjing pengawas’ (Natalia, 2019). Kegiatan jurnalisme warga sendiri meliputi partisipasi pembuatan berita atau melaporkan dan menganalisis informasi ke media sosial oleh warga yang berdasarkan fakta (tanpa rekayasa), dalam mengawal pemerintah untuk menyelesaikan masalah kualitas pendidikan di Indonesia khususnya di daerah 3T.
Mengapa Jurnalisme Warga Penting?
Pernahkah kamu ‘iseng’ scroll dan melihat salah satu akun Tiktok yang memviralkan tragedi-tragedi yang biasanya lebih cepat dari media nasioanl? Atau mungkin pernah membaca informasi di akun Instagram @infobandungraya? Akun tersebut memberikan informasi tentang sekitar Kota Bandung yang sumber informasinya adalah berita yang dibuat oleh warga sekitar. Atau bisa kita lihat juga akun Instagram @forumpancoranbersatu, yang menampilkan kegiatan warga Pancoran, Jakarta yang menjadi korban penggusuran akibat sengketa lahan dengan PT. Pertamina Persero?
Semua akun media sosial tersebut merupakan beberapa contoh bentuk aktivitas jurnalisme warga. Cepatnya perkembangan teknologi membuat jurnalisme saat ini hanya berbasis homeless media atau ‘media yanpa rumah’ dan sudah banyak dibuat di media sosial untuk memenuhi kebutuhan informasi secara cepat. Laporan ini biasanya dibuat untuk meraih simpati atau suatu dukungan lewat media massa dan membentuk opini publik lewat sebuah laporan, informasi atau berita sebagaimana menurut Iswandi Syahputra, (2013).
Jurnalisme warga sendiri merupakan genre jurnalisme baru yang memanfaatkan teknologi dan melibatkan partisipasi warga dalam aktivitas produksi berita, informasi, visual, dan audiovisual yang berdasarkan Kode Etik Jurnalistik di sekitar mereka (Wibawa, 2013). Menurut Darajat Wibawa (2013), tujuan jurnalisme warga adalah mewadahi warga berpartispasi aktif melakukan kegiatan jurnalistik untuk menyuarakan pendapat.
Kegiatan jurnalisme warga mencoba menarik perhatian khalayak dengan menginformasikan atau melaporkan sekitar mereka dan menitikberatkan pada ‘inilah yang terjadi di desa kita’. Karakteristik yang biasanya menonjol dari genre jurnalisme warga ini salah satunya adalah berbentuk homeless media atau media tuna wisma (Remotivi, 2017) yaitu istilah bagi media yang tidak memiliki website pribadi, tidak perlu berbadan hukum, dan hanya perlu memanfaatkan blogspot terkadang hanya memanfaatkan media sosial pribadi yang digunakan khusus untuk memuat berita yang dibuat oleh warga.
Tidak hanya memproduksi berita, menurut J, D Lasica (2003) jurnalisme warga lebih luas dari sebatas melaporkan dan membuat berita, tapi juga turut memberikan komentar di kolom yang telah tersedia di website berita nasional, kolom media sosial pemerintahan, atau kolom yang disediakan di blogspot jurnalisme warga itu sendiri.
Dari contoh bentuk jurnalisme warga ini, kegiatannya terlihat memiliki beberapa keunggulan untuk dibuat dan dikembangkan di pelosok desa 3T dan digunakan untuk mengawal hak-hak warga dalam mendapatkan kualitas pendidikan yang layak di daerah 3T. Keunggulan tersebut yaitu, pertama, meningkatkan partisipasi dan kepentingan publik yang lebih luas untuk mengawasi pemerintah dan lebih demokratis dengan menyuarakan kesenjangan kualitas pendidikan di daerah 3T tanpa harus menjadi anggota pers. Hadirnya warga sebagai subjek yang memberitakan tidak perlu ketergantungan dengan media nasional yang memakan waktu dan ongkos akomodasi untuk ke pelosok.
Kedua, mudah dan hemat ongkos untuk menyampaikan kebenaran tanpa perlu menghabiskan biaya membuat web dan desain-desain lainya. Ini merupakan keunggulan dari homeless media. Ketiga, terhindar dari birokrasi yang rumit. Keempat, kecepatan informasi dan independen yang langsung dari sumbernya tanpa mengandalkan media nasional yang sibuk dengan liputan terpusat dan dipenuhi kepentingan dari kontrol penguasa korban dari hegemoni media.
Keunggulan tersebut membuat jurnalisme warga dapat berfungsi untuk membantu warga desa 3T mengawal hak mereka dari jauh dan memperoleh pendidikan yang layak. Peran jurnalisme warga di antaranya adalah berfungsi untuk mengadvokasi dengan menggiring opini publik untuk mendesak memenuhi hak-hak para pengajar dan pelajar kepada pemerintah.
Fungsi advokasi ditujukan kepada berita yang kurang mengenakkan seperti memberitakan pelayanan publik yang kurang layak atau mengadvokasi seperti pelajar dan pengajar yang terdampak dari kesenjangan publik dan memberikan pembelaan kepada mereka agar suara para anak putus sekolah menurut Kemendikbudristek pada tahun 2021 mencapai 75.303 dapat didengar publik dan tidak terjadi frustasi bagi mereka yang ingin menikmati pendidikan yang layak.
Selain pelajar, pengajar menjadi faktor utama demi masa depan pendidikan Indonesia. Saya berpendapat bahwa “Tanpa guru yang berkualitas, tidak ada murid yang cerdas”. Inilah yang nasib miris yang masih menimpa guru honorer di Indonesia seperti cerita tentang Pak Munir (53) yang membakar sekolah karena uang honornya yang tidak dibayar selama 24 tahun (Kompas.com, 2022). Ketika peristiwa itu viral, Dinas Pendidikan Garut baru membayar honornya sebesar 6.000.000 yang baru dibayar selama 24 tahun. Hal ini sungguh miris mengetahui pendidikan yang layak juga berawal dari guru yang sejahtera.
Baca Juga: Komunitas Kota Bandung dalam Arus Digital
NGULIK BANDUNG : Saling Memaafkan, Tradisi Lebaran Khas Nusantara
Menggambar Jurig Jalan Asia Afrika
Memecahkan Keheningan Massa
Maka dari itu, jurnalisme warga harus berdiri dan berpihak untuk memberikan advokasi berupa liputan dan menyebarkan ke publik melalui media sosial dan memecahkan keheningan massa untuk menjadi desakan publik agar pemerintah memperbaiki nasib guru honorer yang miris khususnya di daerah 3T.
Fungsi menggiring opini publik masyarakat dalam mengevaluasi kinerja pemerintah sangat dibutuhkan untuk memberikan suara dan memecah keheningan masyarakat (Triadi.dkk, 2015). Hal ini dilakukan dengan memberikan pemberitaan ke media sosial dan membuat dukungan massa untuk memberi desakan kepada Kemendikbudristek dalam membenahi pendidikan yang belum layak dan memperbaiki nasib anak putus sekolah di daerah 3T. Inilah tugas jurnalis warga untuk memecah keheningan di masyarakat tersebut dengan cara meliput kesenjangan yang terjadi untuk menggiring opini masyarakat untuk mengevelauasi dan mendesak pemerintah memperbaiki fasilitas juga memberikan program-program yang layak beserta akses informasi yang memadai di daerah 3T.
Akar permasalahan dari desa 3T sendiri adalah keheningan di mana akses informasi untuk dapat sampai ke pelosok desa 3T sangat minim. Permasalahan ini merupakan permasalahan yang harus dipecahkan bekerja sama antara warga dan pemerintah, karena dalam tatanan masyarakat. Emile Durkheim mengatakan bahwa kita saling berhubungan meskipun menyelesaikan dengan cara yang berbeda.
Aktifnya jurnalisme warga yang mematuhi Kode Etik Jurnalistik merupakan senjata di desa 3T untuk mengawal kewajiban pemerintah dalam pelaksanaan pendidikan yang layak. Jurnalisme warga sekaligus sebagai kritik yang sehat dan digunakan untuk menyebarkan informasi kepada publik. Sehingga opini publik berubah menjadi desakan kepada pemerintah agar menyelesaikan amanahnya dalam menjalankan mewujudkan bersama Indikator SDG’s 2030 ke-4 dan ke-10, yaitu penuntasan kesenjangan dan memberikan pendidikan yang layak untuk rakyat.