• Berita
  • Komunitas Kota Bandung dalam Arus Digital

Komunitas Kota Bandung dalam Arus Digital

Teknologi digital di mata Komunitas Aleut, Great UPI dan Komunitas Pendaki Gunung Bandung. Internet dipakai untuk mengarusutamakan isu yang mereka garap. 

Diskusi bertajuk Suara Komunitas dalam Payung Literasi Digital, di Bandung, Rabu (05/18/2022), menghadirkan pegiat dari Komunitas Aleut (Alex Ari (tengah)), Great UPI (Nida) dan Komunitas Pendaki Gunung Bandung Gan Gan Jatnika. (Foto: Reza Khoerul Iman/BandungBergerak.id)

Penulis Reza Khoerul Iman19 Mei 2022


BandungBergerak.id – Semenjak terjadinya revolusi digital yang ditandai dengan peralihan teknologi mekanik dan analog menjadi digital pada tahun 1980, secara lambat laun segala kerja manusia dan akses mendapatkan informasi semakin mudah. Hingga saat ini, tren era digital tersebut semakin berkembang dan banyak memberikan perubahan yang sangat besar pada segala bidang kehidupan di dunia, satu di antaranya yaitu wajah komunitas di Kota Bandung.

Hari ini segala aktivitas komunitas di Kota Bandung tidak akan lepas dari kerja teknologi digital, baik itu untuk penyampaian informasi kegiatan atau pelaksanaan kegiatan dari komunitasnya tersendiri. Namun, terbantunya segala kerja komunitas di era digital tidak sepenuhnya menghilangkan seluruh rintangan dan tantangan kerjanya, melainkan malah memunculkan permasalahan, rintangan, dan tantangan lainnya.

Dalam hal ini, BandungBergerak.id bersama Perkumpulan Mitra TIK Indonesia (ICT Watch), Suara.com, Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo), dan Gerakan Nasional Literasi Digital Siberkreasi mengusung diskusi untuk membantu upaya pengembangan Literasi Digital bagi komunitas dan masyarakat umum di Kota Bandung yang bertajuk “Suara Komunitas dalam Payung Literasi Digital”, Rabu (05/18/2022).

Tiga komunitas di Kota Bandung itu antaranya Komunitas Aleut (komunitas sejarah), Great UPI (pegiat di bidang isu gender dan kesetaraan), dan Komunitas Pendaki Gunung Bandung (KPGB). Mereka menjadi narasumber pada diskusi tersebut untuk membagikan pengalaman aktivitas komunitasnya menggunakan internet.

Perwakilan dari Great UPI, Nida menyatakan bahwa selama ini pemanfaatan internet sangat membantu Great UPI dalam proses pencarian dan pengolahan data terkait isu-isu gender. Selain itu internet juga sangat membantu mereka dalam proses mengkampanyekan edukasi terkait isu gender kepada publik melalui media.

“Proses memainstreamkan isu gender ini tidak bisa dilakukan secara tiba-tiba, oleh karena itu dalam mengawal isu gender ini kami juga berjejaring di nasional. Makanya internet ini sangat memudahkan kami untuk mengawal isu ini, seperti dapat mudah mengetahui info dari belahan nasional lainnya,” tutur Nida, pada saat diskusi.

Namun di sisi kemudahan tersebut, ada rintangan dan tantangan baru yang mesti mereka hadapi dalam berjejaring di dunia internet, seperti berlakunya pasal UU ITE yang dapat menjadi bumerang. Dalam mengatasi hal ini, Great UPI mengatasinya dengan melakukan pengedukasian kepada setiap anggotnya agar memiliki etika dalam berjejaring di internet.

Kemudian manfaat yang didapatkan melalui internet tersebut juga dirasakan halnya oleh Komunitas Aleut dan KPGB dalam proses pencarian, pengolahan, dan penyebaran informasi terkait kegiatannya. Proses edukasi terkait sejarah, pendakian, dan gunung kini dapat mereka sebar secara luas dengan mudah pada era digital ini.

“Pada akhirnya kanal digital ini sangat membantu kami dalam menyampaikan info kegiatan, berbagi berita sesama anggota, bagian kampanye kepedulian lingkungan, menyebar info dan edukasi seputar pendakian, catatan perjalanan, serta ulasan suatu tempat/gunung. Selain itu fungsi kanal digital juga dapat dijadikan sarana untuk membangun simpati dan empati ketika ada suatu bencana terjadi,” ungkap pegiat KPGB, Gan Gan Jatnika.

Namun di sisi lain, maraknya penyebaran informasi terkait sejarah, gunung, atau informasi pendakian di jagat digital berakibat pada banjirnya informasi yang tidak dapat dibendung dan disaring kebenarannya. Hal ini menjadi rintangan dan tantangan bagi komunitas tersebut dalam proses mencari dan mengolah data dari internet, bahkan mereka dapat berperan menjaga informasi yang ada di internet agar tidak salah kaprah sehingga tidak ada orang yang termakan hoaks.

“Kalau komunitas sejarah kebanyakan mengacu pada website-website dari Belanda, namun kembali lagi kita itu harus tetap kritis pada setiap informasi yang disediakan. Pada akhirnya banyak sih informasi yang keliru yang kami dapatkan di internet. Hal ini biasanya berawal dari satu informasi yang keliru kemudian banyak dikonsumsi dan disebar oleh banyak orang tanpa melakukan verifikasi dan kritik terlebih dahulu,” tutur pegiat Komunitas Aleut, Alex Ari.

Baca Juga: Menggambar Jurig Jalan Asia Afrika
Keliru sejak Awal Peruntukan, Teras Cihampelas Bisa Membahayakan Pengguna Jalan
Potensi Ekonomi Sampah Kota Bandung Bisa Mencapai Ratusan Juta Per Hari

Diskusi bertajuk Suara Komunitas dalam Payung Literasi Digital, di Bandung, Rabu (05/18/2022), menghadirkan pegiat dari Komunitas Aleut, Great UPI dan Komunitas Pendaki Gunung Bandung. (Foto: Reza Khoerul Iman/BandungBergerak.id)
Diskusi bertajuk Suara Komunitas dalam Payung Literasi Digital, di Bandung, Rabu (05/18/2022), menghadirkan pegiat dari Komunitas Aleut, Great UPI dan Komunitas Pendaki Gunung Bandung. (Foto: Reza Khoerul Iman/BandungBergerak.id)

Kiat Melawan Hoaks

Banjirnya arus informasi di jagat digital menjadikan kebenaran suatu informasi menjadi rawan terhadap hoaks. Data Kominfo menunjukkan, saat ini lebih dari 2.000 hoaks lokal (berbahasa Indonesia) sejak Januari 2020 hingga April 2022 (400 lebih di antaranya hoaks tentang vaksin). Jika dirata-rata, 4 s/d 5 hoaks baru per hari yang beredar.

Perwakilan dari ICT Watch, Abigail Bernadette Octavia mengungkap bahwa penyebaran berita hoaks ini kerap terjadi karena orang malas untuk mencari verifikasi berita tersebut dan ketika terverifikasi sebagai berita hoaks mereka malu untuk menyampaikan bahwa berita tersebut ternyata keliru, sehingga orang yang telah menerima berita tersebut akan terus termakan hoaks karena tidak diberi penjelasan yang sebenarnya.

“Kenapa orang lebih mudah menyebarkan berita bohong karena ketika sudah ketahuan bahwa berita yang mereka sebar itu adalah berita bohong, verifikasinya itu gak akan mereka sebari juga karena malu,” ucapnya.

Dalam hal ini, setidaknya diperlukan pendekatan edukasi, pendampingan, dan hukum supaya penyebaran hoaks dapat diminimalkan kasusnya. Munculnya beberapa situs terkait pemberian edukasi digital dan situs cek berita diharapkan agar orang tidak mudah lagi termakan hoaks.

Selain itu diperlukan juga sosialisasi terkait hukuman yang dapat menjerat para penyebar hoaks, yaitu terancam pasal 28 ayat 1 undang-undang informasi transaksi elektronik atau undang-undang ITE. Mereka dapat diancam pidana penjara paling lama selama enam bulan atau denda paling banyak Rp 1 miliiar, berdasarkan pasal 45A Ayat (1) UU 19/2016.

Semua upaya tersebut merupakan kiat agar penyebaran hoaks dapat diminimalkan seminim mungkin, terlebih pada hari ini sampai ke depannya penggunaan teknologi digital tidak akan terpisahkan dengan kehidupan sehari-hari.

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//