Laporan Situasi Kebebasan Pers Indonesia 2023 oleh AJI: Indonesia Mengalami Krisis
Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia menyatakan tahun ini kebebasan pers Indonesia berada dalam kondisi krisis. Pers dalam cengkeraman pengusaha dan penguasa.
Penulis Ridho Danu Prasetyo31 Januari 2024
BandungBergerak.id - Menyambut riuhnya tahun politik yang menghadirkan Pemilu, Pilpres, hingga Pilkada sekaligus pada tahun ini, media dan jurnalis menjadi pemegang peran krusial untuk mencerdaskan dan melayani publik. Namun, Catatan Tahunan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia menyatakan bahwa kondisi kebebasan pers saat ini berada dalam kondisi krisis.
Selaras dengan AJI, riset internasional yang dilakukan oleh Reporters Without Borders (RSF) juga menyatakan bahwa pers Indonesia masih berada di peringkat 108 dari 180 negara dengan kategori Buruk. Situasi buruknya kebebasan pers di Indonesia tak berubah dan terus stagnan sejak dimulainya era reformasi 25 tahun silam.
Menghadapi tahun politik, kualitas demokrasi di Indonesia saat ini sedang menurun dengan tumbuh suburnya oligarki dan politik dinasti. Pada saat inilah media dan jurnalisme berkualitas dibutuhkan untuk memainkan peran lebih jauh untuk menjaga transparansi dan akuntabilitas.
“Dalam krisis ini, peran media independen dan kritis jauh lebih dibutuhkan dibanding sebelumnya. Namun, menjadi sulit beroperasi dalam situasi kebebasan pers dan demokrasi yang menyusut sepanjang 2023,” jelas Ketua Umum AJI Indonesia, Sasmito, dalam peluncuran Laporan Kebebasan Pers AJI melalui Zoom, Rabu, 31 Januari 2024.
Sasmito juga menyoroti turunnya Indeks Kebebasan Pers (IKP) yang dirilis Dewan Pers pada 2023 yang menghasilkan nilai 71,57 saja, turun 6,3 poin dari nilai 2022 yang berada di angka 77,87. “Ini menjadi penurunan pertama IKP dalam enam tahun terakhir,” ujarnya.
Sekretaris Jendral AJI, Ika Ningtyas yang menjadi pemantik diskusi menyebutkan salah satu faktor yang menyebabkan menurunnya kebebasan pers adalah semakin banyaknya konsentrasi kepemilikan media yang terhubung dengan partai politik atau oligarki media.
Beberapa contoh suburnya oligarki media adalah terus berdirinya MNC Group yang dimiliki oleh Hary Tanoe dari Perindo, Media Group yang dimiliki Surya Paloh dari NasDem, Viva Group yang dimiliki Aburizal Bakrie dari Golkar, hingga Mahaka Media yang dimiliki oleh Erick Thohir, Menteri BUMN.
“Fenomena oligarki media inilah yang kemudian mengubah media bukan melayani kepentingan publik, tapi menjadi corong bagi kepentingan pemiliknya,” ucap Ika membuka diskusi.
Faktor selanjutnya yang menjadi perhatian adalah bagaimana model bisnis yang berjalan di Indonesia adalah berbasis klik yang kemudian memproduksi jurnalisme bermutu rendah. Model bisnis ini sangat masif ditemukan terutama di media online.
Masifnya Kekerasan terhadap Jurnalis
AJI Indonesia berhasil mendokumentasikan 89 kasus kekerasan terhadap jurnalis sepanjang tahun 2023, dengan 83 orang jurnalis, 5 kelompok jurnalis, dan 15 media menjadi korban kekerasan. Angka kekerasan terhadap jurnalis terus meningkat dibanding tahun 2022 yang berjumlah 61 kasus dan 2021 sebanyak 41 kasus.
Dari 89 kasus yang terdata, bentuk kekerasan yang paling banyak terjadi adalah teror dan ancaman, kemudian kekerasan fisik dan serangan digital. Pelaku kekerasan pun didominasi oleh aktor negara seperti kepolisian, aparatur negara, dan TNI sejumlah 36 kasus, dan 24 kasus dari pihak yang tidak dapat diidentifikasi, utamanya pada kasus serangan digital.
Laporan AJI juga menyebutkan bahwa kekerasan terhadap jurnalis paling banyak terjadi ketika melakukan liputan terkait isu akuntabilitas pemerintah dan korupsi pejabat publik yaitu sejumlah 33 kasus. Menjadi ironi ketika jurnalis mencoba menguak kasus di pemerintahan, justru berakhir menjadi korban kekerasan oleh aparat negara.
“Sebagian besar kasus sudah dilaporkan ke pihak berwajib yaitu kepolisian. Tapi sampai saat ini belum ada kelanjutan ataupun penetapan tersangka,” ucap Sasmito.
Sasmito juga menuturkan bahwa dunia kerja pers saat ini belum ramah gender. Riset yang dilakukan AJI, hampir 80 persen jurnalis perempuan pernah menjadi korban pelecehan seksual dengan berbagai bentuk. Kasus seperti pelecehan maupun kekerasan seksual dalam proses liputan lapangan jurnalis hingga saat ini masih belum memiliki panduan penyelesaian kasus yang jelas.
“Kita coba mendorong Dewan Pers terlebih dahulu, agar bisa menjadi panduan bagi perusahaan media mengikuti untuk menindak para pelaku pelecehan seksual di dunia kerja pers,” sambungnya.
Dalam laporan “Kebebasan Pers Memburuk Di Tengah Pandemi: Catatan AJI atas situasi kebebasan pers di Indonesia 3 Mei 2020 - 3 Mei 2021” dengan editor Ika Ningtyas disebutkan, serangan digital menjadi jenis kekerasan baru yang menghambat kebebasan pers. Jenis kekerasan pada jurnalis yakni kekerasan seksual, utamanya menimpa jurnalis perempuan. Survei yang dilakukan AJI Jakarta (2020) menyebut terdapat 25 dari 34 jurnalis yang menjadi responden, mengaku pernah mendapatkan kekerasan seksual saat menjalankan kerja-kerja jurnalistiknya.
“Hal ini berdampak menghambat jurnalis melaksanakan kerja-kerja jurnalistik serta mengancam partisipasi gender tertentu di dunia jurnalisme,” demikian laporan AJI.
Baca Juga: AJI: Selama Pandemi Covid-19, Kekerasan terhadap Jurnalis Meningkat
Aliansi Sipil untuk Kebebasan Berekspresi Kecam Tindakan Represif Polisi Menangani Demonstrasi Anti-UU KUHP di Bandung
Aliansi Sipil Bandung Menolak Sosialisasi Formalitas RKUHP, Mahasiswa Kembali Turun ke Jalan Menyerukan Pembatalan Kenaikan Harga BBM
Kesejahteraan Jurnalis dan Gelombang PHK
Dalam aturan verifikasi media, Dewan Pers mewajibkan perusahaan media untuk menggaji jurnalis minimal pada angka Upah Minimum Provinsi (UMP) dan memberlakukan 13 kali gaji dalam setahun. Kenyataannya, riset yang dilakukan AJI mendapati temuan bahwa 50 persen jurnalis lepas di Indonesia masih menerima upah dibawah UMP setiap bulannya.
“Media-media itu (yang melanggar) seharusnya tidak bisa lolos verifikasi. Ada yang hanya membayar jurnalisnya 15 hingga 30 ribu (rupiah) saja per berita yang dihasilkan,” ucap Sasmito, membacakan laporan milik AJI.
Isu kesejahteraan ekonomi bagi jurnalis yang kerap tak dipenuhi oleh perusahaan media kemudian diperparah oleh omnibus law yang kemudian disahkan menjadi Undang-Undang Cipta Kerja oleh DPR pada Mei 2023 silam. UU ini kemudian melanggengkan eksploitasi kerja jurnalis oleh perusahaan media dan mempermudah mereka untuk melakukan PHK dengan pesangon yang lebih rendah.
Laporan AJI juga menyebutkan disrupsi digital mengoyak bisnis media yang kini terlihat dampaknya yaitu tumbangnya berbagai media raksasa seperti media cetak seperti Republika Cetak dan Koran Sindo. Tak berhenti di sana, gelombang PHK massal juga terjadi di perusahaan media seperti NET TV, Metro TV, CNN TV, Tribun, Viva Group, hingga Tirto.
Data yang dihimpun oleh AJI menghasilkan jumlah pekerja media yang terkena gelombang PHK sepanjang tahun 2023 mencapai kurang lebih 1.000 orang. Beban yang tinggi tanpa hak yang terpenuhi kemudian berdampak pada kesehatan mental pada jurnalis. Survei AJI mencatat sebanyak 35 persen responden jurnalis mengalami tekanan mental yang sudah mendekati tingkat depresi.
Menutup diskusi, Pemantau Regulasi dan Regulator Media (PR2Media) Masduki menegaskan, tak hanya kualitas dari produk jurnalistik yang harus didorong dalam dunia pers. Melainkan, perusahaan media juga harus ditegaskan untuk menyejahterakan kehidupan jurnalis.
“Jurnalisme Berkualitas itu memang dibutuhkan, tapi dibutuhkan juga ekosistem yang mendukung tumbuhnya jurnalisme tersebut,” tutup Masduki yang juga mantan Ketua AJI Yogyakarta.
*Kawan-kawan yang baik bisa membaca lebih lanjut tulisan Ridho Danu Prasetyo atau artikel-artikel lain tentang Kebebasan Pers