• Opini
  • Bahaya Berselancar dalam Arus Banjir Informasi

Bahaya Berselancar dalam Arus Banjir Informasi

Media sosial membanjiri masyarakat dengan video singkat sesuai selera pengguna. Mendorong masyarakat lebih suka mendapatkan informasi dengan instan.

Munanda Okki Saputro

Mahasiswa S-2 Program Studi Sosiologi Universitas Sebelas Maret Surakarta. Pegiat Monolog Pejalan serta ruang puisi Kelompok Selokan.

Manusia dewasa ini tidak bisa lepas dari gawai dan mengakses media sosial, (11/72022). Pesatnya teknologi digital membuka peluang besar untuk profesi pembuat konten. (Foto Ilustrasi: Choirul Nurahman/BandungBergerak.id)

8 Februari 2024


BandungBergerak.id – Perkembangan teknologi komunikasi dan informasi telah membawa perubahan signifikan dalam cara kita mendapatkan dan mengonsumsi informasi. Era digital membuka akses tanpa batas terhadap berbagai peristiwa global, mulai dari perang hingga gosip selebriti mancanegara, yang dapat diakses kapan saja dan di mana saja. Internet, sebagai jembatan nyata era globalisasi, telah merangkul lebih dari 213 juta pengguna di Indonesia pada tahun 2023, setara dengan 77% penduduk, dan terus meningkat sejak 2013 dikutip dari Databoks.

Pentingnya internet sebagai sumber informasi membuat setiap gawai terhubung menjadi pintu masuk tak terelakkan untuk berbagai jenis informasi, termasuk iklan, berita, dan konten dari berbagai platform sosial media. Transformasi sosial media dari sekadar tempat berkomunikasi menjadi media informasi utama  dengan munculnya akun-akun berbasis konten dan influencer, membawa dampak besar.

Masyarakat berlomba-lomba untuk mempublikasikan gagasan dan informasi dengan berbagai motif, mulai dari kebutuhan bisnis, edukasi, hingga personal branding. Namun, motif dari informasi yang berseliweran di media sosial sering kali sulit untuk dianalisis dengan akurat.

Kondisi arus informasi yang kencang ini membawa masyarakat digital ke dalam situasi yang dikenal sebagai "banjir informasi." Neil Postman dalam bukunya "Amusing Ourselves to Death" (1985) mengingatkan kita bahwa tidak hanya kelebihan informasi yang menjadi masalah, tetapi juga kelebihan hiburan dapat merusak kemampuan masyarakat untuk memahami isu-isu serius.

Baca Juga: Mempersenjatai Media Sosial
Anak Muda Diharapkan Aktif Berkomunikasi Politik di Media Sosial
Digitalisasi, Media Sosial, dan Dampaknya pada Keagamaan

Banjir Informasi

Dalam upaya untuk menghadirkan hiburan yang lebih efisien, beberapa platform media sosial mengenalkan model baru, seperti video singkat yang memberikan inti cerita tanpa harus menyita banyak waktu. "Langsung ke intinya saja" menjadi moto yang seolah diadopsi oleh setiap pengguna dan algoritma yang cerdas secara otomatis menyesuaikan konten dengan selera pengguna. Fenomena ini menciptakan karakteristik masyarakat tontonan, di mana preferensi terhadap konten singkat dan langsung menjadi dominan.

Banjir informasi, sebagaimana dijelaskan oleh Postman, menjadi semacam rambu kuning yang memperingatkan kita untuk menjadi lebih selektif. Dalam pola arus informasi media sosial, bias sering terjadi. Kita bisa menjadi subjek atau objek tanpa disadari.

Pendapat Chomsky tentang "manufacturing consent" menunjukkan bahwa proses pikiran kita dapat dimanipulasi oleh media, dan kita bisa saja menjadi terkontrol oleh informasi yang kita konsumsi. Di balik penyedia informasi, terdapat aktor dengan kepentingan tertentu yang mendukung strategi media menggunakan teknik framing. Teknik ini memanipulasi realitas yang disajikan agar sesuai dengan keinginan penyedia informasi.

Kondisi kencangnya arus informasi mendorong masyarakat untuk mencari solusi instan atau tip untuk berbagai permasalahan sehari-hari. Kehadiran platform media sosial dengan konten edukasi, seperti YouTube, memberikan akses luas ke berbagai tutorial, mulai dari memasang gas hingga memahami teori konspirasi.

Dilema Banjir Informasi

Namun, kekhawatiran muncul terkait kebiasaan instan dalam mempelajari sesuatu. Masyarakat lebih suka memperoleh informasi secara instan melalui video singkat daripada melalui proses membaca buku yang memerlukan waktu dan dedikasi lebih lama. Pertanyaan muncul, mengapa harus membaca buku jika kita bisa mendapatkan informasi secara audio visual sekaligus? Pertanyaan ini mencerminkan dilema yang pernah dialami banyak orang.

Namun, kekurangan dari mempelajari suatu materi hanya dari konten video adalah kurangnya pemahaman mendalam. Membaca buku memberikan keuntungan lebih, karena kita dapat meresapi susunan penuh dari teori atau pemikiran yang ingin kita kuasai. Buku memberikan pemahaman tentang bagaimana argumen dibangun, tesis terbentuk, dan bagaimana paradigma berpikir dapat terbentuk secara runtut.

Namun, ini bukan berarti kita harus sepenuhnya menolak konten edukasi dalam bentuk audio visual. Sebagai gantinya, konten edukasi bisa kita posisikan sebagai pemantik motivasi untuk belajar lebih lanjut atau sebagai perkenalan awal sebelum mendalami suatu materi. Juga sebaliknya konten edukasi juga harus dibuat dengan riset mendalam agar tidak sembarangan menyebarkan informasi yang dapat menyesatkan. Bahaya terbesar di era digital adalah "matinya kepakaran," di mana keberadaan informasi yang melimpah tidak diimbangi dengan pengetahuan yang mendalam.

Meskipun setiap orang memiliki hak yang sama untuk menyampaikan pikirannya, memiliki basis pengetahuan yang kuat dapat menjadi jaminan bahwa informasi yang disebarkan memiliki pertanggungjawaban. Perkembangan teknologi informasi adalah kenyataan yang tak terhindarkan, namun masyarakat harus memiliki kemampuan analisis yang lebih baik agar tidak tersesat dalam arus banjir informasi. Sehingga, menghadapi realitas ini, bukanlah masalah teknologi, tetapi bagaimana kita sebagai konsumen mengelolanya.

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//