• Narasi
  • Maraknya Perjudian dan Kegelisahan Niskala Wastukancana

Maraknya Perjudian dan Kegelisahan Niskala Wastukancana

Jauh sebelum judi online, masyarakat Indonesia dan Asia Tenggara umumnya telah mengenal sejumlah jenis perjudian. Kata kuno dari judi atau bertaruh adalah botoh.

Ojel Sansan Yusandi

Penulis buku Bandoeng Waktoe Itoe, pegiat Klab Belajar Merdeka, dan Veskil

Salah satu Prasasti Kawali di Situs Astana Gede Kawali di Ciamis mencatat larangan berjudi. (Sumber: galuhvirtual.ciamiskab.go.id)

12 Februari 2024


BandungBergerak.id – Kapan dan di mana pun, perjudian merupakan salah satu penyakit sosial yang kerap menggelisahkan. Penyelenggaranya, sang bandar, paham betul bahwa manusia akan selalu merasa kekurangan dalam hal keuangan. “Mengundi nasib dengan anak panah”—begitu masyarakat Arab kuno menyebutnya—walau dilarang oleh agama, tetap saja menggiurkan. Dan memang, siapa yang tak mau menerima rezeki instan yang disebut uang panas itu?

Jauh sebelum slot, judi online, kini, masyarakat Indonesia, juga masyarakat Asia Tenggara umumnya, telah mengenal sejumlah jenis perjudian. Ada yang berbentuk sabung ayam, adu kemiri (ngadu muncang kata orang Sunda), main kartu (kaum wanita juga kerap melakukannya; yang rupanya diilhami dari orang Tionghoa), main dadu, dan adu domba (di Priangan kemudian). Sabung ayam sendiri merupakan “permainan” bergengsi yang digemari oleh segala lapisan masyarakat, dari mulai raja hingga petani.

Sultan Aceh di awal abad ke-17, menurut kesaksian penulis Eropa, kerap membawa ayam jantan jagoannya ketika berada di gajah tunggangannya, di atas mahligai yang bertengger di atas punggung binatang agung itu. Memang belum ada catatan apakah Sang Sultan menyabung ayam untuk taruhan atau sekadar untuk permainan yang menghibur; yang pasti menurut Reid (2011a: 220) merupakan kemenangan simbolis sang raja yang merupakan suatu bagian penting dari segenap ritus penobatan. Sementara itu, Sultan Agung Mataram, menurut utusan VOC tahun 1623, merupakan pelindung utama dari perlombaan adu kemiri, tapi ia menghukum keras beberapa jago lomba kemiri yang bermain dengan menggunakan buah kemiri yang tidak memenuhi seleranya.

Raffles dalam buku legendarisnya, The History of Java (1817), menulis pula fenomena sabung ayam di masyarakat Jawa abad ke-19. Ia menulis bahwa sabung ayam dipraktikkan oleh semua kalangan sosial. Orang Jawa, lanjutnya, sehari-hari merupakan masyarakat yang pemalu, selaku tertunduk, tak banyak bicara. Namun mereka akan berubah seratus delapan puluh derajat saat terlibat atau menyaksikan sabung ayam: mereka tiba-tiba menjadi tak sabaran, beringas, dan penuh amok (terutama bagi yang kalah bertaruh). Harap diingat kembali bahwa Pararaton mencatat kematian Raja Tumapel Anusapati disebabkan oleh tusukan keris made in Mpu Gandring oleh Tohjaya saat sabung ayam di lapangan istana. Anusapati, anak Tunggul Ametung dan Ken Dedes itu, tewas seketika oleh anak Ken Arok dan Ken Umang pada 1249 M. Kutukan Mpu Gandring “terbukti” manjur.

Crawfurd pun, dari mana Raffles memperoleh sebagian informasi untuk buku The History of Java darinya, mencatat (Reid, 2011a: 225) bahwa “Penduduk Kepulauan Hindia (baca: Indonesia dan Filipina) sangat gemar akan perlombaan … Pada hari pasar, di setiap bagian negeri di mana perjudian terbuka tidak dilarang secara mutlak, lelaki dan perempuan, tua dan muda, membagi diri mereka dalam kelompok-kelompok di jalan-jalan pasar, untuk melakukan perlombaan. Saat itu watak penduduk tampaknya berubah sama sekali, sebab pembawaan mereka yang penuh kesungguhan, ketertiban dan ketenangan berubah menjadi ketidaksenangan kegairahan dan hiruk-pikuk.”

Reid dalam Asia Tenggara dalam Kurun Niaga (1450-1680) Jilid I: Tanah di Bawah Angin (2011a: 220) menulis: “… bahwa sabung ayam selalu mempunyai makna penting dalam pesta keramaian candi, penyucian, serta ziarah. Darah ayam sabungan dipandang sebagai korban untuk menyenangkan dewa-dewa, yang selalu dihimbau sebelum acara sabungan dimulai.” Salah satu penyebab dari besarnya perhatian raja untuk melakukan acara-acara demikian, lanjut Reid, boleh jadi merupakan kebutuhan akan korban darah demi mengundang kesuburan, demi upacara penyucian, dan demi merayakan keberhasilan perang. Di masa-masa silam, darah hewan aduan mungkin telah dipandang sebagai pengganti darah manusia.   

Baca Juga: Mengapa Pengguna Jasa Prostitusi Online di Indonesia selalu Lolos dari Jerat Hukum?
Tidak Ada Urgensinya Legalisasi Perjudian di Indonesia
Prasasti Cikapundung Tenggelam dalam Dinding Kota

Taruhan (Bobotoh) di Tanah Sunda

Dalam Babad Pasir Luhur disebutkan bahwa Raden Kamandaka, nama samaran Banyakcatra yang berasal dari Kerajaan Pajajaran, tur keliling desa untuk menantang para jagoan sabung ayam di desa-desa yang ia kunjungi guna mencari perhatian Kerajaan Pasirluhur dari mana Dewi Ciptarasa, kekasihnya, berasal. Ayam jagoannya, yang dinamai Si Mercu, selalu menang melawam jago-jago di desa-desa lain. Banyakcatra sendiri dalam pustaka Sanghyang Siksa Kandang Karesian disebutkan sebagai salah satu judul pantun Sunda (selain Silihwangi, Haturwangi, dan Anggalarang).   

Kata kuno dari judi atau bertaruh adalah botoh (ejaan yang lebih kuna: bwatwah) atau bobotoh (bwabwatwah). Kata botoh atau bobotoh tercantum dalam sejumlah prasasti zaman Jawa Kuna, juga tertulis dalam sejumlah naskah Sunda Kuna; dengan begitu merupakan kata asli di Pulau Jawa. Kata ini kemudian mengalami pelebaran makna menjadi pendukung sebuah klub olahraga atau pertandingan, misalnya bobotoh Persib. Satu hal yang tak berubah adalah bahwa baik taruhan maupun pertandingan tersebut sama-sama menyangkut “harga diri” pribadi atau golongan. Tak jarang para bobotoh mengamuk jika klub idola mereka kalah atau dianggap dicurangi wasit atau hakim garis.

Solidaritas kelompok saat pertandingan dua klub sepak bola, terutama jika sang lawan merupakan musuh bebuyutan, rupanya bisa disandingkan dengan acara sabung ayam dahulu kala. Reid (2011a: 226) mengungkapkan bahwa sabung ayam merupakan dramatisasi hidup tentang solidaritas kelompok yang diorganisasi secara vertikal, dan tentang permusuhan yang timbul dalam perlombaan status yang tidak berkesudahan melawan kelompok-kelompok lainnya.

Sabung ayam memang merupakan ajang judi yang paling popular, lanjut Reid, atas nalar yang mungkin berkaitan dengan kuatnya identifikasi ayam jantan dengan ego lelaki. Seorang pendeta Spanyol menyatakan bahwa orang Filipina lebih sayang ayamnya daripada istri dan anaknya (Reid, 2011a: 225-226). Lebih lanjut Reid menulis, keramaian pasar taruhan yang tampaknya begitu gaduh tidaklah terutama didorong oleh keinginan untuk menang besar, melainkan oleh keinginan mengidentifikasikan diri dengan kelompok keluarga, golongan, atau dewa pemilik ayam sabungan.

Larangan Berjudi oleh Niskala Wastukancana

Rupanya, kegemaran masyarakat Sunda akan berjudi berlaku pula di saat pemerintahan Raja Galuh Niskala Wastukancana (kakek dari Sri Baduga Maharaja, Raja Sunda yang beribukota di Pakwan-Pajajaran). Hal tersebut bisa kita ketahui dari bunyi Prasasti Kawali III, satu dari enam prasasti batu yang terdapat di Kabuyutan Kawali, Ciamis kini. Niskala Wastukancana, yang memerintah Kerajaan Galuh di ibukota Kawali antara 1371-1475 M, cukup gelisah mengetahui betapa masyarakat di wilayah kekuasaannya begitu keranjingan berjudi.

Prasasti Kawali III merupakan temuan baru pada 1995 oleh juru kunci situs. Terdapat enam baris tulisan pada bagian muka prasasti ini, yang berbunyi: bani poro, tigal nu atis tina rasa, aya ma nu ngosi dayoh bawo, ulah botoh bisi kokoro. Artinya: berani (menahan) kotoran, tinggallah kesejukan rasa, semoga ada yang mengisi (kehidupan) kota, janganlah berjudi nanti jatuh miskin. Larangan atas perjudian begitu ditekankan oleh Sang Raja Galuh tersebut, sehingga harus dicantumkan dalam sebuah prasasti. Berjudi (taruhan), dengan kata lain, akan hanya membuat sang pelaku ketagihan, jatuh miskin, dan banyak utang.

Tak cuma dalam Prasasti Kawali (Prasasti Astana Gede), larangan perjudian secara tersirat terdapat pula pada pustaka Sunda Kuna yang berjudul Sanghyang Siksa Kandang Karesian (1518 M). Lembar XXIX naskah tersebut menyebutkan: Hamo sieup dipikakolotan ngara(n)na pinah ing buta raksasa. Beunang bobotoh, beunang babalanjaan, hamo yogya dipikakolotan. Ngara(n)na wineh ing cipta ambara. Hengan pamere indung, pamere bapa, pamere pangguruan, wenang dipikakolotan. Ngara(n)na dewa rumaksa di urang. Artinya: Yang tidak layak dijadikan pusaka disebut makanan raksasa. Hasil judi, hasil belanja (di sini artinya masih spesifik: jual-beli barang perhiasan), tidaklah layak dijadikan pusaka. Yang demikian disebut diberikan kepada langit. Tetapi pemberian ibu, pemberian bapak, pemberian perguruan, boleh dijadikan pusaka. Yang demikian disebut dewata melindungi diri kita.

Sekarang, pilihan berada di tangan kita sendiri. Apakah akan terus keranjingan judi online (slot), atau sudahi saja semua aktivitas botoh tersebut, yang jelas-jelas takkan mendatangkan barokah. Peluang memang akan tetap lebih kecil ketimbang peluang kalah. Dan bila kalah, yang jadi korban bukan hanya diri kita, tetapi juga keluarga yang justru harus kita nafkahi.

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//