• Opini
  • Mengapa Pengguna Jasa Prostitusi Online di Indonesia selalu Lolos dari Jerat Hukum?

Mengapa Pengguna Jasa Prostitusi Online di Indonesia selalu Lolos dari Jerat Hukum?

Prostitusi diatur dalam UU ITE dan UU Pornografi. Pemidanaan hanya dilakukan kepada penyedia layanan prostitusi online, tidak pada pengguna jasa.

Jeni Stemsia Susanti Auli Rohi

Mahasiswi Universitas Katolik Parahyangan (Unpar).

Tampak depan Lapas Sukamiskin, Jalan A.H. Nasution, Arcamanik, Kota Bandung, Senin (18/7/2022). Lapas Sukamiskin merupakan penjara bersejarah yang dibangun Belanda. (Foto Ilustrasi: Choerul Nurahman/BandungBergerak.id)

19 Juli 2022


BandungBergerak.id - Perkembangan teknologi dan informasi saat ini berimplikasi dalam perubahan sosial di masyarakat. Perubahan ini terjadi juga pada ranah pekerja seks komersial (PSK) di mana prostitusi melalui internet oleh para perlaku dan penikmat prostitusi semakin mudah untuk melakukan transaksi. Berawal dari perkenalan, saling tukar kontak hingga ke tahap kesepakatan harga. Maka muncullah istilah prostitusi online yang melibatkan beberapa pihak antara lain penyedia jasa, pengguna jasa, dan PSK.

Pemerintah Indonesia kurang tegas dalam melarang adanya praktik-praktk pekerja seks komersial. Perbuatan ketidaktegasan oleh pemerintah dapat dilihat pada KUHP. Pasal yang tertera pada KUHP hanya mengatur tentang mereka yang membantu serta penyediaan pelayanan seks secara ilegal, artinya larangan hanya bagi mucikari saja, namun tidak untuk pengguna jasa pekerja seks komersial (PSK) karena tidak ada satu pasal pun dalam KUHP yang mengatur tentang pengguna jasa PSK.

Perlu adanya ketegasan hukum dalam hal prostitusi. Di sisi lain, banyak korban dari kasus kekerasan seksual prostitusi online ini, mulai dari usia di bawah umur ataupun dengan umur yang cukup dengan alasan adanya ancaman, keterpaksaan, dan lain sebagainya.

Tak Ada Pasal untuk Pengguna Jasa Prostitusi Online 

Prostitusi diatur dalam UU Nomor 19 tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) serta UU Nomor 44 tahun 2008 tentang Pornografi. Terkait dengan pemidanaan yang diatur pada KUHP dan UU tersebut menerangkan pemidanaan kepada penyedia layanan saja. KUHP dan UU tersebut tidak ada yang mengatur ketentuan pemidanaan terkait pengguna jasa pada tindak pidana prostitusi online.

Mengenai penjelasan Pasal pada KUHP, UU ITE serta UU Pornografi tidak ada berlaku khusus dalam menjerat serta mengatasi prostitusi bisnis online, sehingga penggunaan jasa prostitusi tersebut tidak dapat dijerat menurut hukum positif di Indonesia. Seharusnya secara lebih terperinci di dalam UU ITE dan UU tentang Pornografi dapat menjerat subjek prostitusi tersebut secara keseluruhan.

Menurut KUHP, tidak ada pasal yang dapat digunakan untuk menjerat pengguna jasa seks komersial dan pekerja seks komersial itu sendiri. Dapat dilihat dalam Pasal 296 serta Pasal 506 KUHP tidak ada ditujukan terhadap pengguna jasa seks komersial dan pekerja seks komersial, akan tetapi mengacu terhadap mucikari.

KUHP pada masa kini sudah sepatutnya direvisi, karena dengan merevisi KUHP dapat memperkuat serta menerangkan semua tindakan yang bersifat kesusilaan. Menurut Pasal 27 yang memuat tentang perbuatan-perbuatan yang dilarang, menyebut kata kesusilaan yang menyangkut hal-hal yang berkaitan dengan pornografi. UU tersebut tidak menjelaskan terhadap sanksi pidana bagi para pengguna jasa atas tindak pidana prostitusi online.  

Dalam UU Pornografi, hanya membatasi pihak-pihak yang dapat dikenakan adalah sanksi bagi pelaku penyedia jasa yang terdapat dalam Pasal 30, sanksi untuk mendanai atau memfasilitasi dalam Pasal 33, sanksi buat pekerja seks komersial dalam Pasal 34. Berdasarkan peraturan UU Pornografi tersebut dapat dikatakan bahwa belum adanya penjelasan secara pasti yang mengatur tentang pengguna jasa seks komersial sehingga bila ini dibiarkan begitu saja maka akan mengakibatkan prostitusi online semakin marak di Indonesia dan hal ini juga akan berdampak pada lingkungan sekitar.

Baca Juga: Membedah PSK dengan Kacamata Hukum
Pergeseran Citra Ronggeng, dari Tokoh Spiritual Terhormat hingga Identik dengan Pelacuran
Kekerasan Seksual Termasuk Pelanggaran HAM Berat

Mengingat kembali bahwa pertanggungjawaban merupakan suatu prinsip yang mendasar di dalam hukum pidana. Ketentuan hukum positif yang ada di Indonesia hanya bisa mengenakan pertanggungjawaban pidana bagi mereka yang membantu serta penyedia pelayanan seks secara ilegal, artinya pertanggungjawaban pidana hanya diberikan untuk mucikari, serta pekerja seks komersial, sebaliknya tidak ada pasal yang diaturnya pengguna jasa seks komersial.

Dalam pelaksanaannya, penanggulangan prostitusi lebih banyak dilakukan dengan menertibkan dan menangkap wanita pekerja seks komersial, sedangkan laki-laki pengguna jasa seks komersial jarang ditangkap bahkan tidak pernah ditangkap oleh aparat penegak hukum. Pemerintah Indonesia tidak secara tegas melarang adanya praktek prostitusi, karena pengaturan mengenai tindak pidana prostitusi online tidak mengatur ketentuan mengenai sanksi pidana bagi pengguna jasa seks komersial, sehingga pengguna jasa prostitusi online tidak dapat dipertanggungjawabkan secara pidana, dan mereka yang menggunakan jasa pekerja seks komersial pun dapat dengan leluasa tanpa takut terjerat sanksi hukum pidana.

Dilihat dari penjelasan pasal pada KUHP, UU Pornografi, serta UU ITE tidak berlaku spesifik untuk menjerat serta menanggulangi bisnis prostitusi online, tidak ada yang mengatur mengenai pengguna jasa pada prostitusi online, maka pengguna jasa prostitusi itu tidak bisa dikenakan pertanggungjawaban secara pidana serta dijerat berlandaskan hukum positif di Indonesia. Pembahasan mengenai aturan pidana telah memberi peringatan kepada para pembuat undang-undang terkait pengaturan yang belum ada dan dimungkinkan akan ada untuk kemudian berlaku nasional. Analisis pertanggungjawaban pidana dalam teori menjelaskan bahwa pertanggungjawaban pidana hanya bisa berlaku jika sebelumnya seseorang sudah pernah melakukan tindak pidana.

Dalam konteks perundangan juga dikatakan bahwa ada tidaknya pidana ditentukan oleh peraturan perundang-undangan, yang diinterpretasikan bahwa tidak ada pertanggungjawaban pidana tanpa aturan hukum yang mengaturnya terlebih dahulu. Terhadap pengguna jasa prostitusi tidak dapat dipidana karena unsur-unsur tersebut di atas telah menjabarkan kelemahan hukum pidana dewasa ini. Kemudian dalam pemikiran hukum yang akan datang (ius constituendum) “hukum yang dicita-citakan oleh pergaulan hidup serta negara” tetapi belum sebagai kaidah berbentuk undang-undang atau peraturan lain, yaitu Bab XVI tentang Tindak Pidana Kesusilaan RKUHP Tahun 2015 belum mengatur perihal pidana terhadap mereka.

Pemikiran tentang perlunya aturan yang mengatur gejala sosial terhadap prostitusi khususnya bagi para pengguna jasa ialah dasar yang kuat karena tindakan tersebut telah lumrah terjadi dan merupakan suatu fenomena keterpurukan bagi masyarakat banyak dan hukum khususnya pidana, diharapkan mengatur hal tersebut.

Pentingnya Pasal Pengguna Jasa Prostitusi

Perilaku buruk dalam masyarakat yaitu penggunaan jasa prostitusi yang terus menerus secara signifikan bertumbuh dan berkembang akan mengakibatkan buruknya citra bangsa, demikian dengan para penegaknya yang terlihat tidak dapat berbuat apa-apa karena terhalang oleh belum adanya aturan yang mengatur mengenai pidana kepada para pengguna jasa prostitusi karena KUHP sampai saat ini belum mengatur secara tegas serta jelas mengenai pengguna jasa prostitusi.

Pengaturan tindak pidana pengguna jasa terkait prostitusi online menurut hukum positif di Indonesia belum spesifik diberlakukan untuk menjerat serta ditanggulangi bisnis prostitusi online, sebab terkait pengguna jasa pada online prostitusi tidak ada diatur, pengguna jasa prostitusi sehingga tidak bisa dijerat berlandaskan hukum positif di Indonesia.

Apabila tidak ada hukum positif yang mengatur maka para pengguna jasa prostitusi akan merasa aman dan tetap leluasa membeli jasa untuk kepuasan mereka semata, sementara hal tersebut bertentangan dengan berbagai aspek norma terutama norma hukum dalam masyarakat. Oleh karena itu diperlukan pembaharuan hukum pidana, terkait pertanggungjawaban pidana bagi para pengguna jasa prostitusi.

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//