• Opini
  • Bandung Darurat Bencana, Pemerintah Perlu Memperhatikan Lansia dan Disabilitas Selama Bencana

Bandung Darurat Bencana, Pemerintah Perlu Memperhatikan Lansia dan Disabilitas Selama Bencana

Disabilitas dan lansia merupakan kelompok rentan yang nyawanya paling terancam selama bencana terjadi.

Dhika Marcendy

Penerjemah Paruh Waktu di Human Rights Watch

Tim SAR membawa warga korban banjir mengungsi dari Kampung Babakan, Desa Citeureup, Kecamatan Dayeuhkolot, Kabupaten Bandung, 12 Januari 2024. (Foto: Prima Mulia/BandungBergerak.id)

26 Februari 2024


BandungBergerak.id – Krisis iklim dunia semakin parah. Berbagai tempat di belahan dunia sudah terdampak krisis iklim, salah satunya Indonesia. Krisis iklim menyebabkan cuaca ekstrem yang berbahaya seperti banjir, udara panas, angin puting beliung, dan bencana lainnya. Tentu saja, seluruh masyarakat merasakan dampaknya, namun kita tak boleh menutup mata bahwa ada kelompok rentan seperti lansia, disabilitas, ibu hamil, perempuan, anak-anak, dan masyarakat adat yang juga menjadi korban bencana ini. Lansia dan disabilitas adalah kelompok yang paling berisiko menghadapi kematian selama bencana karena mereka menghadapi masalah besar dalam mengakses informasi darurat dan peringatan.

Belakangan ini kota dan kabupaten Bandung terdampak bencana yang serius. Pemerintah Kota Bandung dan Kabupaten Bandung perlu memperhatikan kelompok rentan yang terdampak bencana dan mengambil tindakan secepatnya.

Baca Juga: Kesaksian Warga ketika Gang Kampung Braga Dicekam Banjir
Banjir Bandung Selatan, Warga Berharap Benteng Sungai Diperkuat
Rancaekek dan Sekitar Bandung Timur Sering Dilanda Angin Puting Beliung, Alih Fungsi Lahan dan Pemanasan Global Menjadi Faktor Pemicunya

Dua Bencana yang Melanda Bandung di Awal 2024

Kota Bandung dan Kabupaten Bandung sudah jadi langganan banjir bertahun-tahun. Daerah Gedebage sudah 15 tahun dilanda banjir setiap tahunnya. Apa lagi daerah Kabupaten Bandung seperti Baleendah, Dayeuhkolot, dan Bojongsoang sudah menghadapi banjir selama 30 tahun lebih. Pada tahun 2024, Kepala Dinas Sumber Daya Air dan Bina Marga (DSDABM) Kota Bandung, Didi Ruswandi mengatakan, saat ini ada 12 titik rawan genangan. Margahayu, Cibaduyut, Pasirkoja, Leuwipanjang, dan Citarip bahkan berpotensi dilanda banjir setinggi 60 sentimeter, ujarnya.

Pada tahu 2023 lalu, Pemerintah Kota Bandung menyatakan bahwa penyebab utama banjir di Bandung adalah sampah. Penyumbatan aliran drainase menyebabkan air tak mengalir dan akhirnya meluap. Pemerintah Kota Bandung juga mengatakan bahwa masyarakat dinilai tak kooperatif dalam penanggulangan banjir.

Sementara itu, alih fungsi daerah serapan, penyempitan saluran air, luapan sungai, dan tanggul jebol adalah penyebab banjir di awal tahun 2024 ini.

Banjir di Bandung bahkan sudah pada tahap destruktif. Dalam sebuah video yang di rilis oleh tvOneNews memperlihatkan beberapa pengendara motor hanyut terseret oleh derasnya arus banjir di daerah Sukajadi, Kota Bandung. Nono Suharno, seorang warga Kabupaten Bandung, pasrah melihat pagar rumahnya rusak diterjang arus banjir yang diakibatkan oleh tanggul jebol. Belasan rumah di Dayeuhkolot Kabupaten Bandung rusak dan beberapa motor warga hanyut belum ditemukan, bahkan Cucu, pemilik rumah yang rusak, sempat hanyut terbawa arus banjir tersebut. Di Braga, Kota Bandung, 11 rumah rusak parah dan 29 lainnya rusak ringan.

Pada level seperti ini, banjir tak hanya merusak rumah warga tapi juga berbahaya bagi warga. 7.027 orang terpaksa mengungsi karena rumahnya terendam banjir. Dari ribuan orang tersebut kemungkinan ada kelompok rentan seperti disabilitas, lansia, orang hamil, dan anak-anak yang perlu diperhatikan lebih selama banjir (termasuk segala macam bencana) berlangsung. Pemerintah tak bisa sepenuhnya menyerahkan disabilitas, lansia, orang hamil, dan anak-anak pada keluarga atau pengasuhnya karena keluarga dan pengasuh perlu untuk menyelamatkan diri mereka sendiri selama bencana.

Meski pun warga Bandung “sudah terbiasa” dengan banjir, bukan berarti mereka selalu siap atau bahkan berpasrah terhadap bencana yang mereka hadapi.

Pada Rabu, 21 Februari 2024, Kabupaten Bandung, juga Kabupaten Sumedang, diterjang angin puting beliung. Menurut Humas BPBD Jawa Barat, angin puting beliung tersebut terjadi di lima kecamatan yaitu: Kecamatan Cimanggung dan Jatinangor (Kabupaten Sumedang), serta Kecamatan Rancaekek, Cileunyi, dan Cicalengka (Kabupaten Bandung).

Ada 1.359 orang di Kabupaten Bandung yang terdampak bencana ini, bahkan 21 orang terluka. Ada 18 bangunan pabrik dan toko, 223 rumah rusak ringan, 119 rumah rusak sedang, dan 151 rumah rusak berat di Kabupaten Bandung.

BNPB berjanji akan memberikan bantuan dana bagi warga yang rumahnya terdampak bencana angin puting beliung ini. Selain itu juga BNBP juga akan memberikan bantuan dasar seperti makan, peralatan, dan tenda bagi para warga terdampak.

Namun lagi-lagi, tampaknya pemerintah tak memberi perhatian khusus pada disabilitas dan lansia dalam bencana ini.

Saya yakin di antara ribuan korban bencana tersebut terdapat kelompok rentan, khususnya disabilitas dan lansia, yang belum mendapatkan pelayanan atau bantuan khusus. Pemerintah perlu segera bertindak kondisi kelompok rentan yang terdampak bencana ini.

Kenapa Kelompok Rentan perlu Diperhatikan saat Bencana?

Kelompok rentan yang saya maksud adalah disabilitas, lansia, anak-anak, perempuan, dan orang hamil, yang hidupnya terancam dan dalam kondisi miskin. Dalam tulisan ini saya akan berfokus pada disabilitas dan lansia saja karena menurut PBB mereka menghadapi masalah yang unik selama bencana alam terjadi.

Selama bencana, bencana hidrometeorologi dan meteorologi yang melanda Bandung, disabilitas dan lansia menghadapi risiko kematian yang tinggi, juga rentan secara fisik maupun mental, yang diperparah oleh kemiskinan dan kondisi terisolasi. Orang dengan disabilitas dan lansia sangat kesulitan dalam mengakses peringatan dan informasi darurat selama bencana, bahkan mereka mungkin juga kesulitan dalam menerima bantuan kemanusiaan setelah bencana terjadi. Disabilitas membutuhkan bantuan khusus dan waktu tambahan selama proses evakuasi, namun tampaknya mereka tak banyak menerima bantuan khusus dan minim akses terhadap peringatan bencana. Lansia juga menghadapi masalah serupa, lebih spesifik lagi mereka memerlukan bantuan kesehatan yang memadai dan pelayanan khusus selama bencana terjadi.

Disabilitas dan lansia merupakan kelompok yang nyawanya paling terancam selama bencana terjadi. Perlindungan yang kurang memadai seperti kurangnya bantuan evakuasi, tempat berlindung yang kurang inklusif, dan kurangnya perawat semakin meningkatkan risiko kematian mereka. Terlebih lagi, disabilitas dan lansia dengan kondisi fisik yang rentan atau sedang menjalani perawatan medis, kondisinya akan semakin parah tanpa bantuan medis yang memadai.

Bencana banjir sangat berdampak pada kondisi kesehatan fisik orang-orang secara umum, terutama disabilitas dan lansia. Disabilitas dan lansia memiliki kondisi fisik khusus terhadap bencana karena bencana bisa meningkatkan risiko penyakit atau bahkan komplikasi. Dalam beberapa kondisi bahkan perubahan cuaca yang cukup ekstrem dapat mempengaruhi fisik mereka. Ditambah lagi faktor sosial, seperti yang sudah saya utarakan sebelumnya, mereka kekurangan akses terhadap informasi dan peringatan sebelum, selama, dan setelah bencana terjadi. Perawatan sesudah bencana juga perlu ditingkatkan untuk memperbaiki pengobatan disabilitas dan lansia yang tertunda selama bencana terjadi. Orang dengan disabilitas visual, pendengaran, intelektual, dan kognitif (atau bahkan seorang dengan multiple disabilities) merupakan kelompok paling rentan selama banjir, atau bencana yang berhubungan dengan air, karena tak ada informasi yang aksesibel untuk mereka.

Bukan hanya kesehatan fisik, kesehatan mental para disabilitas dan lansia juga terdampak selama bencana. Adanya marginalisasi, kurang eratnya hubungan sosial, kemiskinan, kekurangan akses informasi/peringatan yang aksesibel, perlindungan dan perawatan, perasaan ekslusif, rasa takut gagal menyelamatkan diri, perasaan bersalah atas bencana yang terjadi dapat meningkatkan stres para disabilitas dan lansia. Dan juga, pada saat yang bersamaan, pelayanan kesehatan mental dan psikososial yang mungkin tak disediakan sama sekali.

Apa yang Seharusnya Pemerintah Lakukan?

Ada beberapa hal yang pemerintah perlu lakukan untuk memperhatikan disabilitas dan lansia sebelum, selama, dan sesudah bencana. Pertama, pemerintah perlu memastikan disabilitas dan lansia, terutama yang tinggal di wilayah rawan bencana, terlibat dalam diskusi tentang perubahan iklim, termasuk persiapan mitigasi, adaptasi dan kesiapan bila bencana terjadi.

Kedua, pemerintah harus memastikan secara terus menerus bantuan kesehatan untuk disabilitas dan lansia, menyediakan beberapa tenaga kesehatan, dapur umum, dan memberikan mereka tempat berlindung saja tak cukup.

Ketiga, pemerintah harus memperbaiki metode komunikasi darurat yang inklusif. Kemudian pemerintah perlu memastikan informasi mitigasi dan adaptasi tersedia untuk segala jenis disabilitas dan lansia.

Keempat, pemerintah juga sebaiknya melakukan pengumpulan data tentang masyarakat yang tinggal di daerah rawan bencana. Data yang dipilah berdasarkan usia, disabilitas, gender, dan semua data yang relevan dengan penanganan dan penanggulangan bencana.

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//