• Kolom
  • SUBALTERN #41: Marginalisasi dalam Kognisi Manusia

SUBALTERN #41: Marginalisasi dalam Kognisi Manusia

Marginalisasi telah menyebabkan berbagai hal buruk dalam sejarah peradaban manusia. Namun, marginalisasi sudah selalu ada dalam kognisi manusia.

Derry Sulisti Adi Putra

Mahasiswa Sastra Indonesia UGM, Lingkar Belajar Pergerakan, juga pegiat Kelas Isolasi

Warga tuna wisma bersama anaknya di atas gerobak melintasi jalanan di Bandung, Jawa Barat, (29/10/2021). (Foto: Prima Mulia/BandungBergerak.id)

27 Februari 2024


BandungBergerak.id“Manusia akan menjadi lebih baik ketika kau tunjukkan seperti apa ia sesungguhnya.”—Anton Chekhov

“Marginalisasi” merupakan suatu istilah yang akhir-akhir ini sangat ramai dibicarakan, terutama menjelang berakhirnya Kolonialisme dan Perang Dunia Kedua. Kolonialisme dan Perang Dunia Kedua, barangkali, merupakan. Dua hal itu, yang layak disebut sebagai dua dosa besar, membuat manusia menginsyafi dirinya sebagai pihak yang telah saling meminggirkan satu sama lain. Sebagai usaha menebus dosa-dosa itu, manusia melahirkan beragam ide yang, pada intinya, mencita-citakan kesetaraan dan kedamaian antar umat manusia. Seperti apa ide-ide itu?

Satu ide yang barangkali cukup banyak dibahas adalah teori-teori pascakolonial. Dalam teori-teori tersebut, para bekas penjajah dituding telah melakukan kesalahan yang berat, yaitu membuat masyarakat bekas jajahan tetap hidup dalam wacana penjajahan. Kemudian, lahir pula ide soal multikulturalisme yang berupaya memberi ruang bagi semua kultur untuk saling hidup berdampingan dalam damai. Gelagat dari ide ini adalah pengecekan ulang kondisi manusia dan menemukan bahwa umat manusia sungguh beragam. Pada akhirnya, pemikiran ini bermuara pada satu hal, yaitu upaya untuk membebaskan manusia dari segala belenggu dan hidup dengan damai dalam perbedaan.

Karena ide-ide tersebut sesungguhnya merupakan jalan penebusan “dosa” marginalisasi, ide-ide tersebut hendak membawa manusia terlepas dari segala tindak peminggiran dan pengutamaan. Satu hal yang dipresuposisikan oleh pemikiran ini adalah bahwa keluar dari segala tindak peminggiran dan pengutamaan merupakan hal yang dapat dilakukan sejak dalam pikiran. Pertanyaan yang layak diajukan atas presuposisi itu adalah: sungguhkah demikian? Tulisan ini ada untuk mengajukan pertanyaan tersebut. Jawaban dari pertanyaan tersebut berimplikasi pada pemahaman tentang kapabilitas manusia untuk berlaku adil, tidak diskriminatif, dan hidup dalam damai.

Meskipun demikian, temuan-temuan dalam sains kognitif mengatakan sesuatu yang agak berbeda. Apa yang ditemukan oleh para peneliti di bidang linguistik kognitif, psikologi kognitif, dan neurosains menunjukkan bagaimana tindak mengutamakan satu hal dan meminggirkan hal lain merupakan hal yang wajar, bahkan niscaya, dalam pikiran manusia. Poin tersebut merupakan poin pertama yang hendak dijelaskan dalam tulisan ini.

Kemudian, bila tindak memarginalkan sudah selalu dimiliki oleh manusia, apakah hidup dalam kesetaraan dan kedamaian merupakan hal yang sama sekali mustahil? Kekhawatiran semacam ini dapat dipahami. Dalam sejarah, marginalisasi dilakukan dengan dalih bahwa terdapat pihak yang lebih utama, lebih unggul, atau lebih beradab dari yang lain. Namun, tulisan ini hendak menunjukkan bahwa sekalipun marginalisasi merupakan hal yang niscaya ada dalam pikiran manusia, hidup dalam kesetaraan dan kedamaian tetap merupakan hal yang mungkin. Ini adalah poin kedua dari tulisan ini.

Urgensi dari pembahasan ini bukan untuk membenarkan marginalisasi. Tentu saja, marginalisasi telah menyebabkan berbagai hal buruk dalam sejarah. Akan tetapi, perlu disadari, sebagaimana seks merupakan insting dari manusia dan, dengan fakta itu, kita membuat aturan tentangnya, tindak marginalisasi mesti diperlakukan dengan sama.

Tidak ada yang perlu ditakutkan dari pengetahuan. Pahaman yang baik tentang manusia adalah jalan menuju kebenaran dan kebaikan; bukan sebaliknya (Pinker, 2002). Siapa pun yang menolak pengetahuan adalah mereka yang takut akan kebenaran dan enggan menuju kebaikan.

Baca Juga: SUBALTERN #38: Anatomi Kekuasaan, Antara Manusia dan Ciptaannya
SUBALTERN #39: Hak Minoritas Menurut Will Kymlicka
SUBALTERN #40: Bagaimana Kekuasaan Bekerja?

Margin

Sebelum bergerak lebih jauh, pengertian dari “marginalisasi” perlu ditetapkan. Sekian banyak pemikiran yang lahir pasca perang dunia kedua, termasuk pemikiran-pemikiran yang disebut sebelumnya, melibatkan pengertian yang beragam tentang ‘marginalisasi’. Akan tetapi, keragaman pengertian tersebut tidak berarti bahwa masing-masing pengertian berdiri sendiri dan sama sekali berbeda satu sama lain. Oleh karena itu, pertama-tama, tulisan ini menetapkan satu pengertian umum ‘marginalisasi’ sebagaimana dalam Oxford Learner’s Dictionaries:

The process or result of making somebody feel as if they are not important and cannot influence decisions or events; the fact of putting somebody in a position in which they have no power (suatu proses atau akibat yang membuat seseorang merasa dirinya tidak penting dan tidak dapat memberi pengaruh atas berbagai keputusan atau kondisi; suatu keadaan yang meletakkan seseorang dalam posisi tanpa kuasa)

 Dengan memperhatikan pengertian di atas, dapat ditemukan bagaimana “marginalisasi” terkait dengan problem kekuasaan. Pengertian tersebut telah dimasuki oleh anasir politik. Istilah “marginalisasi” atau “marginalization” berakar pada kata “margin” yang bermakna:

The empty space at the side of a written or printed page (ruang kosong di sisi pinggir dari suatu halaman kertas)

Dengan memperhatikan pengertian “margin”, dapat dipahami bahwa “marginalisasi” dapat dipahami sebagai ‘upaya peletakan seseorang atau satu pihak pada posisi pinggir’.

Kekuasaan

Satu hal yang menarik dari penatapan pengertian di atas adalah bagaimana KEKUASAAN dipahami sebagai RUANG. Dalam pemahaman ini, pihak yang tidak memiliki kekuasaan dianggap berada pada posisi pinggir, sedangkan pihak yang berkuasa berada pada posisi tengah atau pusat. Anasir seperti “tengah” dan “pinggir” merupakan bagian dari konsep RUANG. Dalam pemetaan semacam ini, diketahui bagaimana posisi “utama” dalam konsep KEKUASAAN dipahami dengan posisi “tengah” dalam konsep RUANG. Dengan demikian, siapa pun yang memiliki posisi atau jabatan “utama” dalam kekuasaan, maka ia berada pada posisi “tengah”. Sebaliknya, siapa pun yang berposisi sebagai “pelengkap” dalam KEKUASAAN, maka ia berada pada posisi “pinggir”.

Bagaimana pola metaforis semacam ini terbentuk? Dalam berpikir, manusia selalu mengutamakan suatu hal dan tidak mengutamakan hal lain (Evans & Green, 2006: 198). Hal yang diutamakan tersebut menjadi pusat dari perhatian manusia. Kemudian, siapa pun yang memiliki kekuasaan pasti menjadi pusat perhatian, sebab kebijakannya bersifat menentukan kehidupan berbagai pihak lain. Dengan demikian, terjadi percampuran konseptual (conceptual blending) (Fauconnier & Turner, 2002: 47) antara konsep KEKUASAAN dan konsep RUANG.

Penjelasan di atas merupakan penerapan salah satu teori dalam linguistik kognitif, yaitu teori metafora konseptual dari George Lakoff dan Mark Johnson (1980). Dalam teori tersebut, pikiran manusia dipahami sebagai suatu hal yang memiliki pola metaforis, seperti metafora KEKUASAAN ADALAH RUANG di atas. Dengan kata lain, KEKUASAAN dipahami oleh manusia dengan konsep RUANG.

Ruang

Pada penjelasan di atas, telah ditemukan bahwa marginalisasi menyembunyikan suatu aktivitas konseptual, yaitu pemahaman bahwa KEKUASAAN ADALAH RUANG. Dari pemahaman ini, semakin berkuasa seseorang, maka semakin ia berada pada posisi tengah; semakin tidak berkuasa seseorang, maka semakin ia berada pada posisi pinggir.

Penjelasan tersebut mengimplikasikan bahwa dalam pikiran manusia sudah terdapat aktivitas peruangan dan pengutamaan. Dalam teori lain yang diutarakan oleh Mark Johnson (1987), hal ini disebut sebagai Skema Imaji (image-schemata) . Skema Imaji dapat dipahami sebagai struktur pra-pengalaman dalam proses kognisi yang memungkinkan pola-pola dalam pikiran dan pemahaman. Dalam penjelasan Johnson, struktur peruangan disebut sebagai skema pemuatan (containment schema). Sedangkan, struktur pengutamaan disebut sebagai skema pusat-pinggiran (center-peripheral schema).

Dari mana asal skema-skema tersebut? Jean Mandler (dalam Evans & Green, 2006) menjelaskan bahwa Skema Imaji berasal dari interaksi antara kognisi dengan aktivitas psikomotorik manusia. Misalnya, ketika Homo Sapiens masih hidup dengan cara berburu, kemampuan untuk mengenali posisi diri atau kelompok di suatu tempat merupakan hal yang wajib. Tanpa pemahaman tentang tempat, maka Homo sapiens tidak akan memahami arah. Dari kondisi ini, skema pemuatan lahir dalam kognisi manusia.

Skema lainnya adalah skema pusat-pinggiran. Dengan skema ini, manusia mengutamakan suatu hal dan tidak-mengutamakan hal lain. Aktivitas psikomotorik yang mendasari skema ini adalah kecenderungan manusia untuk fokus pada satu hal. Fokus pada satu hal meniscayakan ketidakfokusan pada hal lain. Tanpa kecenderungan ini, manusia tidak akan dapat bertahan hidup. Dalam aktivitas perburuan, misalnya, manusia perlu fokus pada binatang buruannya. Jika tidak, maka binatang tersebut akan lolos dari perburuan.

Dua skema ini, yaitu skema pemuatan dan skema pusat-pinggiran, mendasari tindakan marginalisasi oleh manusia sepanjang sejarah.

Metafora

Sampai sejauh mana marginalisasi ada dalam kehidupan manusia? Jawaban sederhana dari pertanyaan ini adalah ”sampai sejauh manusia mengutamakan dan meminggirkan hal-hal di dunia.” Kemudian, sampai mana manusia mengutamakan dan meminggirkan hal-hal di dunia? Pada bagian ini, pembahasan akan masuk ke dalam contoh-contoh aktivitas marginalisasi oleh manusia.

Pada bagian awal tulisan ini, telah diterapkan sebuah teori dalam linguistik kognitif, yaitu metafora konseptual. Dalam teori ini, manusia dipahami sebagai makhluk yang berpikir secara metaforis. Dengan demikian, metafora bukan sebuah peranti sastra yang bermanfaat untuk menciptakan “keindahan” dalam sebuah teks; metafora adalah cara manusia berpikir (Grady, 2007).

Pengertian dari “metafora”, dalam teori ini, adalah “pemahaman suatu konsep dengan konsep lain”. Lakoff dan Johnson memberi contoh sebagai berikut:

ARGUMENT IS WAR
Your claims are indefensible
He attacked every weak point in my argument
His criticisms were right on target
I demolished his argument
I’ve never won an argument with him
You disagree? Okay, shoot!
If you see the strategy, he’ll wipe you out
He shot down all of my arguments

Pada contoh di atas, dapat ditemukan bagaimana pembicaraan seputar argumen dilakukan dengan melibatkan istilah-istilah yang merupakan bagian dari topik perang. Hal ini dapat terjadi karena terdapat percampuran konseptual (conceptual blending) antara konsep ARGUMENT dengan konsep WAR.

Contoh lain dari metafora konseptual yang dicontohkan oleh Lakoff adalah sebagai berikut:

TIME IS A VALUABLE COMMODITY
You’re wasting my time
This gadget will save you hours
I don’t have the time to give you
How do you spend your time these days?
That flat tire cost me an hour
I’ve invested a lot of time in her
I don’t have enough time to spare for that
You’re running out of time
You need to budget your time
Put aside some time for ping pong
Is that worth your while?
Do you have much time left?
He’s living on borrowed time
You don’t use your time profitably
I lost a lot of time when I got sick
Thank you for your time

Sebagaimana metafora konseptual ARGUMENT IS WAR, metafora konseptual di atas juga menunjukkan percampuran konseptual antara dua konsep yang berbeda. Istilah-istilah yang digunakan untuk membicarakan “waktu” (TIME) adalah istilah-istilah yang sesungguhnya merupakan istilah yang terkait dengan “komoditas yang berharga” (A VALUABLE COMMODITY).

Bila diperhatikan, ketika terjadi adu argumen antara dua orang, sesungguhnya dua orang tersebut saling memberikan waktu satu sama lain untuk saling mendengarkan, menanggapi, dan membantah argumen. Dengan kata lain, ARGUMENT dapat pula dikaitkan dengan A VALUABLE COMMODITY. Misalnya, dalam korpus You’re wasting my time, si subjek merasa kesal karena beradu argumen telah membuang waktunya. Dengan kata lain, berdebat dapat dipahami sebagai memberi komoditas berharga pada orang lain.

Meski demikian, ketika dua orang sedang berdebat, sering kali mereka tidak sadar bahwa mereka sedang membuang waktu mereka. Hal ini menunjukkan bagaimana pemahaman tentang sesuatu, yang diwakili oleh metafora konseptual, hanya berlaku dalam satu konteks. Dalam konteks dua orang yang sedang berdebat, metafora konseptual ARGUMENT IS WAR memenuhi pikiran mereka. Akan tetapi, ketika mereka sudah lelah berdebat, mereka menyadari bahwa mereka telah membuang waktu. Pada konteks itu, metafora ARGUMENT IS GIVING A VALUABLE COMMODITY memenuhi pikiran mereka.

Hal yang menarik dari kondisi tersebut adalah bahwa suatu metafora konseptual tidak mencampurkan seluruh properti dari dua konsep (Talmy, 2000). Properti yang bercampur hanya properti yang relevan dengan konteks metafora konseptualnya. Ketika suatu metafora konseptual berlaku, maka properti yang tidak relevan akan ditinggalkan. Lakoff dan Johnson (1980) menyebut hal ini sebagai “penyorotan dan penyembunyian” properti (highlighting and hiding) .

Bila diperhatikan, “penyorotan dan penyembunyian” properti menunjukkan ciri marginalisasi, yaitu pengutamaan dan peminggiran. Dengan demikian, dasar dari metafora konseptual adalah skema pemuatan, karena menyediakan ruang konseptual yang terbatas konteks, dan skema pusat-pinggiran, karena mengutamakan properti tertentu dan meminggirkan properti yang lain. Karena metafora konseptual tidak lain merupakan cara manusia berpikir, maka marginalisasi merupakan cara manusia berpikir.

Sebagai cara berpikir, kecenderungan manusia untuk memarginalkan juga terwujud dalam kehidupan sehari-hari lainnya, misalnya dalam tindak kategorisasi.

Kategorisasi dapat dipahami sebagai tindak mengelompokkan hal-hal di dunia ke dalam kelompok (Evans & Green, 2006). Kategorisasi merupakan satu hal yang mendasar dalam pikiran manusia  (Lakoff, 1987). Misalnya, ketika seseorang pergi ke toko alat tulis kantor, ia melihat banyak sekali benda, seperti pensil, pulpen, penghapus, kertas, buku, dll. Upaya penamaan tersebut, menurut Lakoff, merupakan wujud paling dasar dari kategorisasi. Mengapa demikian?

Penamaan suatu benda menjadi “pulpen” melibatkan tindak pengelompokan benda tersebut ke dalam konsep “pulpen” di dalam pikiran. Pikiran melakukan pemindaian terhadap properti-properti dari benda tersebut, sehingga benda tersebut dapat disebut sebagai “pulpen” dan bukan “buku”.

Satu hal yang menarik dari kategorisasi adalah bagaimana pikiran melakukan pemindaian terhadap properti. Sebagaimana metafora konseptual, properti yang “diambil” adalah properti yang relevan. Dalam kategorisasi, sebagian properti dianggap mewakili keseluruhan objeknya. Secara umum, Pola ini disebut sebagai “metonimia”, yaitu sebagian mewakili keseluruhan.

Selanjutnya, Lakoff menjelaskan bahwa kategorisasi melibatkan tiga tingkat perangkat kategorisasi, yaitu tingkat Dasar, Superordinat, dan Subordinat. Dalam kategorisasi alat tulis kantor, terdapat nama-nama benda, seperti “pulpen”, “pensil”, dan “kertas”. Nama-nama umum ini disebut sebagai tingkat Dasar. Kemudian, dari nama-nama tersebut, terdapat banyak benda yang menjadi anggotanya, misalnya, “kertas” dengan jenis A, B, C, dst. Sekalipun bernama sama, yaitu “kertas”, namun A, B, dan C tetap memiliki perbedaan properti, baik dari segi kualitas, warna, fungsi, dll. Benda-benda yang menjadi anggota suatu nama tersebut merupakan wujud tingkat Subordinat. Akhirnya, keseluruhan benda yang bernama “pensil”, “kertas”, dan “pulpen”, berada dalam suatu kelompok besar, yaitu ALAT TULIS KANTOR. Kelompok besar ini merupakan wujud dari tingkat Superordinat.

Nama-nama yang termasuk dalam kategori ALAT TULIS KANTOR telah dipilah propertinya; relevansi properti mereka membuat mereka masuk ke dalam kategori tersebut. Sebagaimana dijelaskan sebelumnya, proses memasukkan sesuatu ke dalam suatu kategori melibatkan pola metonimia.

Dasar dari relevansi suatu properti adalah konteksnya. Dalam konteks tulis-menulis, sebuah kertas akan masuk ke dalam kategori ALAT TULIS KANTOR. Akan tetapi, misalnya, dalam konteks pelestarian lingkungan, sebuah kertas bisa saja masuk ke dalam kategori PRODUK EKSPLOITASI POHON. Properti dari ’kertas’ yang membuatnya masuk ke dalam kategori ALAT TULIS KANTOR adalah fungsinya dalam pencatatan hal-hal penting. Sedangkan, properti yang membuat ’kertas’ masuk ke dalam kategori PRODUK EKSPLOITASI POHON adalah komposisinya yang terdiri dari pulp pohon.

Sebagaimana metafora konseptual, kategorisasi juga mengimplikasikan pengutamaan properti tertentu dan peminggiran properti lainnya. Ketika suatu konteks berlaku, maka suatu kategori juga berlaku, sedemikian hingga properti tertentu diutamakan dan properti lainnya dipinggirkan.

Dengan demikian, kategorisasi, sebagai satu hal yang fundamental dalam kehidupan sehari-hari, merupakan wujud dari skema pemuatan, karena memberi ruang untuk properti tertentu, dan skema pusat-pinggiran, karena melibatkan tindak mengutamakan dan meminggirkan. Dengan demikian pula, kategorisasi didasari oleh marginalisasi.

Marginalisasi dalam Kognisi Manusia

Metafora konseptual dan kategorisasi merupakan dua hal yang bersifat fundamental dalam kehidupan manusia. Tanpa dua hal tersebut, manusia tidak dapat hidup sebagaimana saat ini manusia hidup. Hal paling dasar yang dikandung keduanya adalah skema pemuatan dan skema pusat-pinggiran dalam kognisi. Tanpa kedua skema tersebut, manusia tidak dapat mengenali ruang dan tidak dapat memiliki fokus.

Implikasi lebih lanjut dari keberadaan dua skema tersebut adalah bahwa manusia senantiasa melakukan marginalisasi. Dalam pengertian “upaya peletakan seseorang atau satu pihak pada posisi pinggir”, marginalisasi sudah selalu ada dalam kognisi manusia.

Padahal, dalam pemikiran-pemikiran yang lahir pada masa kontemporer, marginalisasi merupakan satu hal yang paling sering dituding sebagai dosa dan mesti dihindari oleh manusia. Namun, dengan kenyataan bahwa marginalisasi telah selalu ada dalam kognisi manusia, apakah tidak ada lagi harapan bagi manusia untuk hidup dengan damai dalam perbedaan?

Sebagaimana dinyatakan pada bagian awal, seks, kekuatan untuk menyakiti atau bahkan membunuh yang lain, merupakan suatu hal yang secara biologis ada dalam diri manusia. Manusia memahami bahwa hal-hal tersebut tidak dapat dipungkiri; namun keduanya mesti tetap diatur. Kunci utama dari hal ini adalah: bukan menghilangkan (karena memang tidak bisa hilang), melainkan mengatur.

Marginalisasi ada dalam kognisi manusia; ia ada secara biologis. Lalu, bagaimana cara mengatasinya?

Tulisan ini menunjukkan bahwa marginalisasi terjadi dalam konteks tertentu yang membuat properti tertentu diutamakan dan properti lainnya dipinggirkan. Marginalisasi yang buruk adalah marginalisasi yang mengkristal ke dalam nilai dan dianut secara fanatik sedemikian rupa. Tanpa menyadari bahwa marginalisasi selalu terjadi dalam konteks, penormalan marginalisasi sebagai suatu nilai yang mengatasi konteks dan universal akan terjadi. Dengan demikian, kesadaran bahwa marginalisasi tidak dapat diuniversalkan merupakan hal yang perlu ditanamkan pada setiap individu.

* Tulisan kolom SUBALTERN merupakan bagian dari kolaborasi BandungBergerak.id dan kawan-kawan Kelas Isolasi

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//