SUBALTERN #38: Anatomi Kekuasaan, Antara Manusia dan Ciptaannya
Dunia manusia memang bersifat paradoksal. Seperti halnya relasi kuasa antara manusia sebagai pencipta dan ciptaannya. Manusia menjadi subjek sekaligus objek.
Al Nino Utomo
Pegiat Kelas Isolasi
6 Februari 2024
BandungBergerak.id – Sejak jaman Plato hingga hari ini, manusia tetap mengakui bahwa dirinya adalah makhluk paling sempurna di muka bumi. Kesempurnaan manusia itu diperlihatkan melalui kemampuan kognisi dan afeksi yang jauh berada di atas makhluk-makhluk lain. Implikasinya, manusia adalah satu-satunya makhluk yang menciptakan realitasnya sendiri. Realitas yang dimaksud bukanlah apa yang sudah ada secara an sich di alam semesta. Realitas itu adalah bagaimana manusia menciptakan realitas-realitas yang konkret maupun abstrak, atau bila meminjam istilah dari Jean Baudrillard disebut dengan simulacra.
Realitas-realitas konkret contohnya adalah teknologi yang pada awalnya digunakan untuk membantu kebutuhan sehari-hari sesuai dengan era yang dihidupi, misalnya, masyarakat berburu menciptakan senjata-senjata sederhana untuk membunuh hewan buruan, masyarakat agrikultur menciptakan alat-alat pertanian, masyarakat industri yang menciptakan mesin-mesin raksasa untuk keperluan produksi dan konsumsi, hingga masyarakat digital yang menciptakan perangkat-perangkat elektronik dengan kemampuan auto-system untuk membantu pekerjaan maupun yang saat ini sedang berkembang yaitu komunikasi dan komputerisasi.
Sedangkan realitas-realitas abstrak yang dimaksud adalah segala bentuk pemikiran yang mencoba memahami apa itu alam semesta maupun manusia itu sendiri. Mulai dari bahasa, bidang-bidang ilmu, baik itu ilmu empiri maupun non-empiri, ideologi-ideologi, moralitas, humanisme, sistem politik-sosial-ekonomi, hingga abstraksi tentang pencipta agung alam semesta, atau yang biasa disebut Tuhan. Bahkan manusia menciptakan sendiri cara untuk menyembah abstraksi akan Tuhan tersebut, itulah yang disebut dengan agama.
Berkaitan dengan hal yang diungkapkan di atas, terdapat sebuah relasi yang unik antara manusia dan segala ciptaannya. Relasi pencipta dan ciptaan ini bukanlah seperti yang dibayangkan, yaitu di mana pencipta memiliki dominasi penuh atas ciptaannya, relasi antara manusia dan ciptaannya lebih mirip dengan relasi kuasa yang dicetuskan oleh Michel Foucault. Sebuah kekuasaan yang tidak lagi berbicara mengenai distingsi subjek-objek, manusia bisa menjadi subjek sekaligus objek di hadapan ciptaannya sendiri.
Selain itu, relasi kuasa ini bukanlah sesuatu yang terlihat seperti kekuasaan raja-raja Eropa di Abad Pertengahan, relasi kuasa ini bersifat hegemoni, manusia dibuat secara tidak sadar tunduk pada ciptaannya sendiri. Tetapi, tunduknya manusia terhadap ciptaannya juga bukan sesuatu yang selalu bersifat negatif. Hegemoni pencipta dan ciptaan secara langsung mempengaruhi pencipta itu sendiri baik secara internal maupun eksternal. Bahkan, hegemoni itulah yang menghasilkan peradaban-peradaban yang pernah hadir di muka bumi.
Baca Juga: SUBALTERN #35: Agensi dan Transformasi (1)
SUBALTERN #36: Agensi dan Transformasi (2)
SUBALTERN #37: Melihat Kembali Perampasan Ruang Hidup Masyarakat
Manusia dan Bahasa
Sebagai makhluk yang memiliki kemampuan berpikir, manusia pasti memikirkan sesuatu di otaknya, tetapi pemikiran itu terkadang tidak berarti apa-apa bila tidak dikomunikasikan kepada orang lain. Oleh karena itu, manusia membutuhkan sebuah medium agar orang lain bisa mengerti isi pikiran orang yang sedang berpikir tersebut. Berangkat dari kebutuhan itu, terciptalah bahasa. Sebuah bahasa pun tidak bisa secara acak digunakan begitu saja, dibutuhkan struktur-struktur yang berlaku secara komunal, agar bahasa tersebut dimengerti oleh orang banyak, bukan hanya dua orang atau satu keluarga kecil saja.
Struktur bahasa yang dimaksud bukanlah sistem rumit seperti aturan S-P-O-K dalam Bahasa Indonesia, misalnya, yang dimaksud adalah perkara sederhana seperti kesepakatan akan penamaan sebuah benda. Bahwa sebuah gelas disebut gelas karena persetujuan bersama sekelompok masyarakat untuk menyebut benda tersebut sebagai gelas. Sebagian orang mungkin bisa melakukan counter-culture dengan menyebut benda tersebut sebagai spidol, tetapi hal tersebut hanya dimengerti oleh orang-orang yang menyetujui bahwa benda itu disebut sebagai spidol, saat berada di kelompok yang lebih luas, benda itu kembali menjadi gelas. Hal tersebut tentu saja berlaku juga untuk aturan-aturan subjek, predikat, objek, dan keterangan.
Berefleksi dari penjelasan tersebut, dapat dilihat bahwa memang betul manusia adalah pencipta dari bahasa, manusia juga bisa menguasai (menggunakan) bahasa untuk berkomunikasi dalam kehidupan sehari-hari. Tetapi di lain pihak, manusia dikuasai oleh bahasa, atau lebih tepatnya, oleh struktur bahasa yang disepakati bersama oleh kelompok masyarakat tertentu, baik itu secara kultural, etnis, atau geografis.
Manusia, Tuhan, dan Agama
Rasio manusia yang tidak terbatas memungkinkan pikirannya untuk berpikir tentang hal-hal yang bersifat metafisik, salah satunya adalah tentang subjek pencipta alam semesta dan segala isinya. Sebelum pemahaman monoteis menyebar ke seluruh penjuru bumi, indigenous people mengenal konsep politeistik yang mengabstraksi kekuatan-kekuatan alam ke dalam wujud dewa-dewa yang dianggap sebagai kekuatan yang menciptakan, memelihara, sekaligus menghancurkan dunia. Sebut saja peradaban Yunani Kuno sebelum revolusi mitos menuju logos, Skandinavia dengan trio Odin, Thor, dan Loki, serta peradaban India yang masyhur bahkan hingga hari ini dengan Tridharma yakni Brahma, Shiva, Vishnu.
Di belahan bumi lain, tepatnya Timur Tengah, muncul satu pemahaman lain akan kekuatan absolut yang menguasai alam semesta. Hanya ada satu subjek yang menguasai, bukan tiga, lima, apalagi beribu-ribu dewa. Sebut saja Abraham, Moses, Jesus, dan Muhammad, mereka adalah para “pencipta” konsep Tuhan yang monoteistik. Sebetulnya, baik politeisme maupun monoteisme intinya tetap sama, sosok Tuhan hanyalah proyeksi dari ketidakmampuan manusia dalam memahami dirinya dan alam semesta. Buktinya, Tuhan selalu dikaitkan dengan kekuatan-kekuatan yang mampu membuat seperti bencana alam dan perubahan yang terjadi pada konstelasi alam semesta.
Selain itu, Tuhan juga dianggap mampu mengintervensi secara langsung hidup manusia, seperti menentukan kelahiran dan kematian, konsep takdir, serta pahala dan dosa. Bahkan, manusia seolah-olah tidak berdaya di hadapan tuhan. Terdapat satu hal yang bersifat paradoks pada bagian ini, “sosok Tuhan diciptakan karena manusia menyadari keterbatasannya, tetapi keterbatasan itu mampu menciptakan sesuatu yang tidak terbatas.”
Setelah sosok Tuhan dibuat sesempurna mungkin sehingga kemungkinan kritik seperti apa pun sangat kecil untuk dilakukan. Kesempurnaan artificial itu membuat manusia merasa perlu untuk menciptakan satu bentuk penyembahan sekaligus sebagai legitimasi dari kesempurnaan Tuhan. Oleh karena itu, diciptakanlah agama-agama untuk memenuhi dua fungsi tadi. Fungsi penyembahan sebetulnya tidak memiliki banyak masalah karena hal tersebut berkaitan dengan sesuatu yang praktis.
Fungsi legitimasilah yang menimbulkan masalah besar, agama yang pada awalnya digunakan untuk melegitimasi Tuhan, menjadi berbalik arah, Tuhanlah yang dianggap melegitimasi ajaran agama tertentu sebagai cara untuk menyembahnya. Sehingga tidak heran bila manusia yang pada awalnya menciptakan dua konsep tersebut (Tuhan dan agama), pada akhirnya dikuasai oleh dua konsep ciptaannya sendiri, karena terdapat dua kesalahan mendasar pada penciptaan dua konsep tersebut yaitu kesempurnaan dan legitimasi. Bahkan, bila diperhatikan lebih seksama, Tuhan dan agama bukan hanya menguasai manusia, dua hal itu juga menciptakan (membentuk) manusia.
Manusia dan Teknologi
Terminologi Homo Faber bukan hanya dimaksudkan untuk menggambarkan manusia sebagai makhluk pekerja, terminologi tersebut juga bisa berarti manusia sebagai makhluk yang menciptakan benda-benda yang ditujukan untuk membantu pekerjaannya. Seperti telah disinggung sebelumnya, setiap peradaban manusia selalu ditandai oleh benda-benda mulai dari yang berukuran kecil, hingga monumen-monumen megah yang masih berdiri hingga hari ini. Tetapi, perhatian lebih perlu diarahkan pada perkembangan teknologi sejak Revolusi Industri hingga teknologi abad 21.
Revolusi Industri yang menggeser peradaban masyarakat agraris menimbulkan banyak perubahan pada pola kehidupan manusia, manusia semakin dekat dengan mesin-mesin yang diciptakan untuk menunjang perputaran roda industri yang berlandaskan asas produksi-konsumsi. Pada awalnya, mesin-mesin itu masih sangat terbatas jumlahnya, masih membutuhkan manusia dalam pengoperasiannya dan tidak secara langsung menyentuh ke akar rumput kehidupan manusia. Seiring dengan perkembangan mesin-mesin industri, yang pada awalnya hanya digunakan untuk membuat produk-produk seperti tekstil, bahan pangan, dan bangunan, lama-kelamaan industri bergerak ke arah yang lebih luas, misalnya alat-alat transportasi, hingga industri elektronik dan digital seperti sekarang ini.
Sekarang, kehidupan sehari-hari manusia selalu diisi oleh produk teknologi. Sebut saja komputer personal, smartphone, dan layanan internet. Manusia abad 21 sebagian besar tidak bisa lepas dari dua contoh yang disebutkan belakangan. Menurut data yang dikeluarkan oleh Google, sebanyak 2.5juta orang menggunakan smartphone pada tahun 2019, dan 3 miliar orang menggunakan internet pada tahun yang sama.
Data tersebut menunjukkan bahwa teknologi semakin dekat dengan manusia, ada di setiap saku celana masyarakat yang sudah melek teknologi. Kedekatan tersebut sebetulnya menimbulkan pertanyaan besar, seperti apa relasi antara manusia sebagai pencipta teknologi, dan teknologi yang merupakan ciptaan manusia? Apa betul manusia sebagai pencipta masih menguasai teknologi secara penuh? Atau justru sebaliknya, terkadang manusialah yang menjadi objek kekuasaan dari teknologi?
Jawabannya bisa direfleksikan dari kehidupan sehari-hari. Apabila kita memasuki daerah baru yang asing bagi kita, apa yang akan kita lakukan, bertanya pada penduduk sekitar atau membuka layanan peta dari Google Maps? Pilihan tentu akan jatuh pada nomor 2, karena kita merasa lebih dekat dengan smartphone kita dibandingkan dengan penduduk sekitar daerah tersebut. Atau contoh yang lebih sederhana, kita pasti memilih untuk mengendarai kendaraan bermotor untuk berpergian, dibandingkan berjalan kaki! Apalagi sekarang tersedia layanan yang menggabungkan teknologi digital dan otomotif, layanan ojek dan taksi online. Transportasi umum konvensional seperti angkutan kota, bus, dan taksi tentu sudah tidak jadi preferensi dalam bepergian, bila kita tidak mengendarai kendaraan pribadi.
Berkaca dari kenyataan tersebut, tidak salah bila disebutkan bahwa manusia sering kali menjadi objek kekuasaan dari teknologi, manusia tidak bisa lepas dari segala kemudahan yang ditawarkan oleh teknologi. Teknologi yang pada awalnya digunakan untuk membantu pekerjaan manusia, lama-kelamaan berubah menjadi perpanjangan rasa malas manusia.
Teknologi membuat pekerjaan menjadi lebih sederhana dan mudah, manusia tidak perlu lagi untuk bersusah payah menyelesaikan satu pekerjaan, teknologi digital, terlebih yang sudah dilengkapi dengan sistem artificial intelligence akan melakukan semuanya secara otomatis. Manusia hanya perlu menikmati hal yang memang ditawarkan oleh teknologi, yaitu leisure. Tidak perlu kerja keras, serahkan segala kesulitan pada teknologi, dan nikmatilah satu hal yang selalu menjadi mimpi setiap manusia, bermalas-malasan.
Dunia manusia memang bersifat paradoksal, manusia tidak pernah menjadi sesuatu secara penuh, selalu ada hal lain yang seolah tidak mungkin terjadi, tetapi kenyataannya sebaliknya, seperti halnya relasi kuasa antara manusia sebagai pencipta dan ciptaannya. Manusia menjadi subjek sekaligus objek. Pada titik ini, rasionalisme a la Descartes memang perlu dikaji ulang, benarkah dengan berpikir maka manusia menguasai segala realitas di sekitarnya?
* Tulisan kolom SUBALTERN merupakan bagian dari kolaborasi BandungBergerak.id dan kawan-kawan Kelas Isolasi.