• Kolom
  • SUBALTERN #37: Melihat Kembali Perampasan Ruang Hidup Masyarakat

SUBALTERN #37: Melihat Kembali Perampasan Ruang Hidup Masyarakat

Perampasan ruang hidup dalam praksisnya telah menihilkan aspek sosial, sekaligus mengkonfirmasi terjadinya krisis pada tataran sosial-ekologi.

Muhammad Ridwan Al Faruq

Pegiat Kelas Isolasi

Warga memancing ikan di Situ Aul, lokasi yang dulunya keramat, dengan volume air yang jauh menyusut akibat kemarau panjang, Senin 14 Oktober 2023. (Foto: Akmal Firmansyah/BandungBergerak.id)

26 Januari 2024


BandungBergerak.id – “Sebulan pasca gempa bumi berkekuatan magnitudo 5,6 mengguncang Cianjur, Jawa Barat pada Senin, 21 November 2022. Warga Kecamatan Pacet dan Kecamatan Cipanas, keduanya di Kabupaten Cianjur, mendengar kabar tentang rencana pemerintah akan mengeksploitasi potensi panas bumi di Gunung Gede Pangrango. Semenjak saat itu, ketenangan warga buyar. Mereka khawatir proyek panas bumi akan merusak lingkungan dan menghilangkan mata pencaharian mereka. Secara tegas, mereka menyatakan sikap: TOLAK GEOTHERMAL!” Inilah lead untuk sebuah feature jurnalistik di website Project Multatuli, 29 November 2023.

Bersama artikel tersebut juga disuguhkan foto-foto masyarakat sekitar gunung Gede Pangrango yang tengah melakukan kegiatan sehari-hari. Kebanyakan masyarakat di sana merupakan petani, mereka menanam sayur mayur bahkan juga bunga edelweis. Sejak puluhan tahun mereka menggantungkan hidup pada sumber daya alam Gunung Gede Pangrango.

“Saya takut diusir dan enggak bisa menanam lagi di sini. Mau ke mana lagi nanti saya? Usaha? Jualan saya enggak bisa. Cuma bisanya tani,” ujar Herman kepada Project Multatuli. Herman merupakan petani asal Desa Sindangjaya sekaligus anggota Aliansi Masyarakat Gede Pangrango (AMGP). “Saya sudah nyaman di sini,” ucap Herman.

Herman sudah bertani sejak tahun 1992. Ia menanam wortel, sawi, bawang, dan sayur-mayur lainnya di area Perhutani. Ketika terjadi perluasan kawasan Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (TNGGP) dari 15.196 ha menjadi 22.851 ha, ladang Herman dan beberapa petani lainnya otomatis masuk dalam zona pemanfaatan. Kewenangan area pun beralih ke Balai Besar TNGGP. Rencananya zona pemanfaatan tersebut yang akan menjadi titik wellpad untuk tahap eksplorasi panas bumi.

Proyek pembangunan geotermal ini merupakan wacana pemerintah dalam upaya pemanfaatan energi baru dan terbarukan (EBT). Selain itu, proyek ini masuk dalam proyek strategis nasional (PSN) yang diatur pembebasan lahannya lewat UU No. 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum.

Dari rubrik berita tersebut mungkin banyak pertanyaan yang muncul di benak kita. Seperti apakah megaproyek tersebut betul-betul untuk kepentingan umum? Apa dampaknya pada lingkungan? Dan bahkan bagaimana nasib masyarakat yang tergusur dari kampung halamannya? Dari kasus Herman kita bisa melihat bagaimana kekhawatiran masyarakat yang terancam terusir dari tempat tinggalnya. Inilah yang akan kita sebut sebagai perampasan ruang hidup.

Baca Juga: SUBALTERN #34: Ruang Publik atau Ruang Borjuis?
SUBALTERN #35: Agensi dan Transformasi (1)
SUBALTERN #36: Agensi dan Transformasi (2)

Perampasan Ruang Hidup

Perampasan ruang hidup selalu berkelindan dengan kuasa, yakni melalui skenario kepentingan teritorial dan kapitalis. Dalam praksisnya, perampasan ruang hidup telah menihilkan aspek sosial, sekaligus mengkonfirmasi akan terjadinya krisis pada tataran sosial-ekologi. Krisis juga bisa dikategorikan mengarah pada kekacauan hubungan manusia dengan alam.

Henri Lefebvre, sosiolog dan filsuf Prancis beraliran neo-marxist membahas mengenai perampasan ruang hidup ini. Menurutnya pihak-pihak yang berkepentingan akan selalu berusaha mencari cara untuk mendominasi penggunaan atau pemanfaatan atas ruang tertentu dan mereproduksi berbagai macam argumen untuk mempertahankan hegemoni dan pemanfaatan atas ruang tersebut. Dalam hal ini, ruang bersama (common space) akan selalu menyesuaikan diri dengan kepentingan kapital. Tentu saja, dalam rangka menjamin hubungan produksi dan reproduksi yang bersifat kapitalistik.

Lefebvre lewat The Urban Revolution (2003), menjelaskan bagaimana urbanisasi mempengaruhi ruang bahkan bumi secara keseluruhan. Menurutnya, urbanisasi tak dapat dihindari dan akan semakin mengarah pada suatu pola produksi dan konsumsi yang bersifat kapitalistik serta seragam. Hal ini, mempengaruhi percepatan proses urbanisasi secara global. Akibat yang kita rasakan adalah kaburnya batasan-batasan ruang spasial seperti, bagaimana kita membedakan kota, perbatasan dan pedesaan.

Karakteristik khusus yang membedakan suatu kota, akhirnya hanya dimaknai sebagai wilayah padat penduduk yang produktivitasnya bergantung dari aktivitas pola konsumsi para penghuninya. Kemudian konsentrasi populasi penduduk bergantung sepenuhnya pada cara-cara produksi kapitalistik. Sehingga, kehidupan tradisional berbasis pertanian mulai lenyap. Disini pertanian tetap masih ada namun, keberadaannya hanya menyangga pola-pola konsumtif masyarakat urban.

“Di setiap sudut jalan dari kota menuju desa, kita bisa menemui ‘minimarket’ yang serupa yang kita temui di kota-kota,” ujar Lefebvre.

Kehidupan tradisional di desa-desa perlahan-lahan lenyap, kemudian berubah menjadi “kota-kota kecil industri pertanian”. Lefebvre menyebutnya fabrikasi kehidupan urban, yakni ketika pola konsumsi masyarakat desa menjadi tak berbeda dengan warga kota. Dalam hal ini, urbanisasi juga terjadi di pedesaan dikarenakan beroperasinya industri kapitalistik yang menyangga kehidupan perkotaan di desa. Bahkan mirisnya, sumber daya alam seluruhnya mengabdi pada kepentingan planetary urban.

Dengan demikian, perampasan ruang hidup mencerabut bukan hanya masyarakat bahkan juga berbagai makhluk hidup dari naturnya. Eksploitasi terhadap alam menghilangkan fungsi asali dari alam itu sendiri. Proyek-proyek besar yang digagas tidak seharusnya menjarah hak-hak orang bahkan makhluk hidup lainnya. Narasi-narasi kemajuan perlu ditelaah kembali secara kritis disertai riset yang mendalam. Sebagai faktor penting dalam kehidupan, mengembalikan ruang hidup pada posisinya sebagai fungsi sosial yang melekat pada unsur material adalah tanggung jawab yang mendesak.

* Tulisan kolom SUBALTERN merupakan bagian dari kolaborasi BandungBergerak.id dan kawan-kawan Kelas Isolasi

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//