SUBALTERN #34: Ruang Publik atau Ruang Borjuis?
Ruang publik sejatinya beranjak dari kebutuhan masyarakat untuk menyuarakan pendapatnya. Habermas memandang dalam perkembangannya ruang publik mengalami privatisasi.
Muhammad Ridwan Al Faruq
Pegiat Kelas Isolasi
5 Januari 2024
BandungBergerak.id – Pernahkah mengunjungi taman di kota anda? Atau mungkin cafe maupun kedai kopi?. Tempat di mana orang-orang bebas beraktivitas, bercengkerama, mengerjakan tugas dan mungkin diskusi filsafat. Kita pastinya sudah familier dengan tempat-tempat publik atau sekedar ruang santai semacam ini. Tempat-tempat seperti inilah yang disebut public sphere atau ruang publik.
Mengutip seorang filsuf dari Mazhab Frankfurt yang juga cukup kontroversial belakangan ini karena dukungannya terhadap agresi Israel (bahasan lain tentunya) yakni, Jurgen Habermas, ”Ruang publik adalah sphere (ruang) komunikatif yang terbentuk oleh individu-individu yang datang bersama-sama untuk membahas dan merundingkan isu-isu masyarakat dengan cara yang rasional, tanpa tekanan dari aparat pemerintah atau kekuatan ekonomi.”
Konsep ruang publik Habermas ini mirip seperti Agora di Yunani kuno. Agora merupakan ruang terbuka tempat yang menjadi pusat aktivitas sosial, politik dan budaya di mana masyarakat bebas beraktivitas baik itu berdagang bahkan berdiskusi. Agora sering kali digambarkan sebagai pusat kota di mana bangunan publik berdiri dan masyarakat senantiasa saling bercengkerama.
Habermas membagi ruang publik menjadi dua yaitu, ruang publik bermasyarakat (society) dan ruang publik bunga rampai (public sphere). Di ruang publik bermasyarakat warga dilibatkan dan berpartisipasi dalam pengambilan keputusan di lembaga-lembaga formal. Sedangkan pada public sphere merupakan ruang diskusi informal dan media pembentukan opini publik. Dalam hal ini, Habermas memandang public sphere sebagai wilayah yang penting untuk membentuk dialog rasional dan bebas bagi masyarakat demokrasi.
Baca Juga: SUBALTERN #31: Propaganda dalam Pandangan Generative Grammar Noam Chomsky
SUBALTERN #32: Dua Dunia,Teori (&/vs) Praktik
SUBALTERN #33: Dukun itu Bernama Ekonomi
Privatisasi Ruang Publik
Dalam perkembangannya, ruang publik juga mengalami privatisasi. Inilah yang Habermas sebut dengan bourgeois public sphere atau bisa kita sederhanakan menjadi ruang borjuis.
“Ruang publik borjuis dapat kita pahami sebagai (suatu) ruang di mana orang-orang (secara) privat berkumpul sebagai publik. Mereka lalu mengklaim bahwa ruang publik diatur dari atas dan bertentangan dengan otoritas publik itu sendiri. Untuk terlibat dalam perdebatan mengenai aturan umum yang mengatur hubungan di ranah pertukaran komoditas dan kerja sosial yang pada dasarnya diprivatisasi namun memiliki relevansi publik”. Ungkapan Habermas dalam bukunya The Structural Transformation of The Public Sphere - An Inquiry into a Category of Bourgeois Society.
Karya ini membahas analisis sejarah dan sosiologi terhadap perkembangan ruang publik borjuis. Hal ini didorong karena adanya kebutuhan terhadap arena komersial yang terpisah dari domain penguasa. Arena komersial ini dibutuhkan sebagai sarana pertukaran informasi terutama mengenai permasalahan aktual dan ruang diskusi bebas tanpa campur tangan “misterius” negara. Hal ini didukung dengan meningkatnya literasi dan jurnalisme kritis di masa kini.
Kemunculan ruang publik borjuis ini pada mulanya didorong oleh paham demokrasi liberal pada abad ke-18, yang menyediakan sumber daya bagi kelas politik baru. Hal ini menyebabkan berkembangnya jaringan institusi seperti penerbitan, surat kabar, forum diskusi juga pers sebagai sarana utamanya. Ruang publik borjuis dicirikan dengan adanya pemisahan diri dari kekuasaan dan pemerintahan. Hal ini karena, mereka memiliki akses terhadap berbagai sumber daya baik ekonomi maupun sosial.
Tiga Kriteria Ruang Publik
Karena itulah kita mengenal kedai kopi, kafe dan sejenisnya saat ini. Di sini Habermas menyebut adanya tiga kriteria kelembagaan untuk ruang publik. Meskipun mungkin di berbagai belahan dunia ruang seperti ini memiliki ukuran atau komposisi kultural masyarakat yang berbeda. Belum lagi dengan orientasi topik bahkan iklim perdebatan yang tentunya tak sama. Tapi melalui diskusi masyarakat yang terorganisir kita dapat menarik karakteristik kelembagaan yang sama.
Tiga kriteria yang disebut Habermas pertama, mengabaikan perbedaan status sosial. Kedua, wilayah yang menjadi perhatian bersama, terutama terkait bidang-bidang atau masalah-masalah umum yang menjadi keprihatinan bersama. Ketiga, inklusivitas, yakni semua orang berhak memanfaatkan, mengakses dan ikut berpartisipasi dalam ruang publik. Dengan demikian, ruang publik baru dapat terlahir.
Namun hal ini, juga melahirkan problem baru menurut Habermas. Di sini, kuasa media menjadi rawan dimanipulasi, sekalipun tidak melanggar kaidah publisitasnya. Ruang publik yang didominasi media massa secara bersamaan dibentuk ulang dan berkembang menjadi ruang yang disusupi oleh kekuasaan. Hal ini terlihat melalui pemilihan topik dan kontribusi serta adu pengaruh bahkan terus melaju sampai dengan upaya pengendalian arus komunikasi. Dan tentu saja dengan adanya niat strategis yang terselubung dibaliknya.
Lantas bagaimana sikap kita? Mungkin kita tidak dapat menghindari problem yang terjadi. Namun, dapat kita sadari bahwa ruang publik sejatinya beranjak dari kebutuhan masyarakat untuk menyuarakan pendapatnya. Maka, kita pulalah yang berhak dan berkewajiban untuk menjadikannya ruang yang bebas dan inklusif bagi kita semua.
* Tulisan kolom SUBALTERN merupakan bagian dari kolaborasi BandungBergerak.id dan kawan-kawan Kelas Isolasi.