SUBALTERN #33: Dukun itu Bernama Ekonomi
Ekonomi tidak hanya berdasarkan aspek prediksi-matematika, namun juga harus berangkat dari realitas sosial yang ada.
Attila Bintang Lazuardi
Pegiat Kelas Isolasi & Staf Riset Libera
29 Desember 2023
BandungBergerak.id – Pemilihan bakal calon presiden sudah di depan mata. Menjelang pemilihan presiden (pilpres), tentu para calon disibukkan dengan laga adu gagasan demi mendapat simpati di hati rakyat. Salah satu topik yang menarik untuk diamati terutama bagi saya sendiri adalah pembahasan mengenai ekonomi. Ekonomi dianggap sebagai dukun: serba bisa. Dia juga dapat memprediksi dan mengobati penyakit negara yang ada.
Topik tentang ekonomi yang kerap dibahas adalah tentang pertumbuhan ekonomi. Pertumbuhan ekonomi digadang gadang menjadi jawaban utama mengenai kesejahteraan di Indonesia. Tak ayal, para capres ingin memberikan janji pertumbuhan ekonomi sekian persen dengan jangka waktu sekian tahun. Alhasil, walaupun topik ini sangat trivial, namun pasti akan dibahas sepanjang waktu.
Selain itu, diskusi yang juga sering dibicarakan adalah bentuk ekonomi seperti apa yang ingin dilakukan di Indonesia? Apakah cenderung ekonomi pasar? Atau sentralistik? Atau campuran? Hal ini tak luput menjadi pembahasan yang kerap diperbincangkan oleh mahasiswa (atau bahkan awam) untuk menentukan calon pilihannya nanti.
Lantas, berangkat dari kedua hal tersebut. Pertanyaan utama yang akan menjadi bahan bakar tulisan ini adalah: (1) bagaimana bisa pertumbuhan ekonomi diprediksi sekian persen dalam jangka waktu tertentu? Apakah ekonomi sudah menjadi prediktor layaknya seorang teknik sipil memprediksi jumlah tulangan balok dalam sebuah bangunan? (2) Bentuk ekonomi apa yang sekiranya cocok untuk diterapkan nanti di Indonesia?
Baca Juga: SUBALTERN #30: Musik dan Suara-suara yang Dibungkam
SUBALTERN #31: Propaganda dalam Pandangan Generative Grammar Noam Chomsky
SUBALTERN #32: Dua Dunia,Teori (&/vs) Praktik
Ekonomi dan Politik
Sejak kemunculan kritik Marx terhadap ekonomi eksploitatif ala Adam Smith dan turunannya seperti David Ricardo dan Thomas Malthus, Ekonomi sebenarnya bukanlah sistem yang dapat disandingkan dengan ideologi atau isme isme lainnya. Lebih dasar lagi, ekonomi merupakan sistem basis yang mengondisikan isme isme tadi. Maksudnya adalah ekonomi pasti memengaruhi praktik politik, praktik kebudayaan, hukum pada suatu negara. Hal ini yang menjadikan ekonomi menjadi basis untuk mengondisikan semua hal tadi. Oleh karenanya, disebut ekonomi politik.
Lantas dalam praktiknya, apakah pasar (dalam ekonomi) tidak bekerja sendiri? Tentu tidak. Negara justru mempunyai andil besar untuk mempermudah adanya persaingan dan adanya pasar itu sendiri dan melindungi pasar itu. Dalam tataran negara, kebijakan yang merupakan hasil dari kerja politik tentu dibangun untuk melaksanakan agenda ekonomi. Contohnya liberalisasi pendidikan tinggi yang mencakup: penerapan Perguruan Tinggi Negeri Berbasis Hukum (PTN-BH), Program Merdeka Belajar-Kampus Merdeka(MBKM), magang dan Indonesia International Student mobility Award.
Kebijakan Itu semua berkelindan dengan agenda ekonomi, khususnya ekonomi berbasis kapitalistik, mengapa? Karena ia seolah mendorong kampus untuk mencetak tenaga kerja siap pakai dengan menggunakan instrumen pengenalan “sekrup pekerja” supaya terbiasa pada dunia kerja. Kebijakan tersebut juga memperbesar jarak pekerja terdidik dan pekerja non terdidik supaya dapat terus menciptakan kondisi surplus tenaga kerja yang nantinya akan mengurangi daya tawar pekerja kepada pemilik modal. Kembali lagi, dia ada karena ekonomi dan untuk ekonomi.
Terpisahnya Ekonomi dan Politik
Sayangnya, ilmu ekonomi yang mempelajari tentang ekonomi saat ini, lebih mengutamakan diskursus mengenai metode dari salah satu aliran ekonomi saja berupa ekonomi neoklasik atau ekonomi arus utama. Penggunaan ilmu ekonomi ini tentunya mempunyai kekurangan karena ekonomi arus utama cenderung mengedepankan prediksi dari data-data yang ada sekarang. Setidaknya, ini yang saya temukan selama menjadi mahasiswa ekonomi
Hal ini dimulai dari pemberlakuan ilmu ekonomi seolah menjadi ilmu alam. Ilmu alam bekerja melalui pengamatan-pengamatan dan eksperimen tentang struktur alam, mereka bekerja sendiri–terlepas dari manusia. Sementara ilmu ekonomi ingin menjadi seperti itu, yang mereka lupakan adalah. Manusia sendiri tidak bisa seperti struktur alam yang bekerja sendiri dan sistematis.
Lalu selanjutnya, penggunaan ekonometrika sebagai prediktor dalam ilmu ekonomi. Ekonometrika sebagai sebuah model yang digunakan untuk mereduksi variabel berupa struktur, properti atau pola sosial menjadi lebih general dan nantinya dapat diaplikasikan dengan objek dunia nyata. Hal ini tentunya bermasalah karena dalam proses pereduksian variabel itu, komponen dunia nyata berupa sosial hilang dan menjadi model matematis saja. Dari model tersebut lantas diaplikasikan pada objek realitas lagi yang belum tentu bisa.
Dengan adanya ketergantungan matematika dari ekonomi, ilmu ekonomi arus utama cenderung mengganjal perkembangan ilmu ekonomi itu sendiri karena tidak berlandaskan dunia nyata atau bersifat subjektif. Hal ini tentu berbahaya karena kalau begitu, ilmu ekonomi tumbuh di dalam kepala ekonom saja.
Selain itu, muncul gap antara model ekonomi dan realitas, metode ekonomi yang digunakan akan terus diubah sampai prediksi yang diinginkan terjadi alih-alih melakukan penyusunan ulang yang berangkat dari realitas. Maka dari itu, penggunaan ekonomi arus utama dengan menggunakan ekonometrikanya perlu ditinjau ulang karena prediksi-prediksi yang dibuat sudah terbukti banyak salahnya. Sebut saja stagflasi tahun 70an atau krisis ekonomi tahun 2008.
Model Ekonomi di Indonesia
Tidak seperti mahasiswa ilmu politik semester satu yang dengan enteng mengatakan “aku realis”, “aku poskolonial”, negara tidak bisa memilih ideologinya secara langsung, dalam konteks Indonesia setidaknya.
Pun apabila boleh memilih, ekonomi Indonesia saat ini bisa dikatakan adalah ekonomi campuran. Ekonomi yang melibatkan negara apabila terkait dengan kebutuhan masyarakat, melibatkan pasar apabila terkait kebutuhan sekunder atau tersier masyarakat.
Terdengar cukup menarik, namun yang terjadi di lapangan sangat jauh dari gagasan tersebut. Model ekonomi bukan hanya sebatas sejauh apa intervensi pemerintah, sejauh mana intervensi pasar. Tapi, bagaimana pasar dapat mengintervensi pemerintah hingga jauh ke dalam sehingga pasar ini ‘menginfeksi’ pemerintah, seperti munculnya kebijakan PTN-BH.
Sejauh ini, model ekonomi Indonesia cenderung berorientasi pada pertumbuhan. Pola ekonomi yang ada di Indonesia cenderung menekankan ekonomi lokal seperti UMKM yang berfokus pada hasil-hasil usaha domestik. Hasil dari UMKM sendiri, selain untuk mendorong perekonomian, juga untuk menambah jumlah komoditas ekspor.
Sayangnya, dengan cara seperti itu, UMKM ini hanya akan melepas tanggung jawab negara terhadap ekonomi yang ada. Pemilik UMKM mungkin bisa sedikit bernafas lega, namun pekerja UMKM itu sendiri tersengal sengal. Tidak ada jaminan apa pun terhadap hasil kerja mereka, sebut saja jaminan kesehatan, jaminan upah layak, jaminan kerja layak. Alhasil, walaupun penghasilan tinggi, kesejahteraan pekerja UMKM ini belum tentu tinggi juga.
Produktivitas UMKM ini tentunya juga sangat rendah apabila dibandingkan dengan industri. Sebut saja satu UMKM makanan, omzet yang dihasilkan per bulan pasti sedikit dengan jumlah pekerja yang sedikit pula. Coba bandingkan dengan industri manufaktur yang mempekerjakan lebih banyak orang dan hasil yang lebih banyak juga. Hal ini tentunya juga mempertanyakan efisiensi ekspor di bidang domestik alih-alih bidang industri manufaktur.
Alhasil, demarkasi kebutuhan ekonomi diberikan negara atau swasta hanyalah omong kosong belaka kalau boleh saya bilang. Percuma saja diberikan oleh negara apabila negara malah mendorong ke bentuk pasar. Dengan begini, ekonomi yang ada bukanlah ekonomi campuran, melainkan ekonomi negara yang dipasarkan.
Penutup
Hemat saya dalam tulisan ini, ekonomi yang cocok adalah ekonomi yang melibatkan kelas pekerja. Bukan ekonomi yang secara naif hanya berorientasi pada pertumbuhan ekonomi. Ekonomi juga tidak hanya berdasarkan aspek prediksi-matematika, namun juga berangkat dari realitas sosial yang ada. Dengan demikian, mendorong kegiatan industri secara formal dan dimiliki oleh negara merupakan agenda wajib yang seharusnya dihadirkan oleh negara.
Memiliki masyarakat dengan SDM tinggi yang dikombinasikan industrialisasi akan menjadi kombinasi ekonomi yang sangat potensial. Namun, apabila pola deindustrialisasi tetap dijalankan dan tetap memihak pada pemilik modal, bukan tidak mungkin prediksi matematika para ekonom yang malah menghantarkan Indonesia pada agenda revolusi.
* Tulisan kolom SUBALTERN merupakan bagian dari kolaborasi BandungBergerak.id dan kawan-kawan Kelas Isolasi.