• Kolom
  • SUBALTERN #32: Dua Dunia,Teori (&/vs) Praktik

SUBALTERN #32: Dua Dunia,Teori (&/vs) Praktik

Apabila Teori Nilai-Kerja Marx memanglah sebuah — meminjam istilah Karlina Supelli — “resep bagi tindakan” yang paling ampuh di Bumi, apakah ia sungguh benar?

Derry Sulisti Adi Putra

Mahasiswa Sastra Indonesia UGM, Lingkar Belajar Pergerakan, juga pegiat Kelas Isolasi

Berpikir analitis dan menghasilkan inovasi merupakan satu dari 10 keterampilan masa depan yang direkomendasikan oleh Forum Ekonomi Dunia (Ilustrasi: Sigit Pamungkas)

18 Desember 2023


BandungBergerak.id – Andaikan bahwa sekelompok alien dari Mars turun ke bumi dan melakukan penelitian terhadap kehidupan manusia. Di Bumi, mereka melihat ada kumpulan Homo Sapiens yang tengah membuat sesuatu dengan tangannya serta Homo Sapiens, dengan jumlah lebih sedikit, yang sedang duduk bersama saling berkomunikasi dengan beberapa angka dalam komunikasi mereka. Ketika mereka sampai di suatu tempat yang ramai, mereka melihat Homo Sapiens saling bertukar tempat. Para alien tersebut terus masuk hingga mendapatkan akses terhadap keseluruhan data dari banyak sekali “PT” (mereka tidak tahu apa itu “PT”) yang memuat sirkulasi modal, pembelian alat-alat produksi, pengupahan, serta penjualan. Mereka juga memperoleh data tentang sejarah berdirinya PT-PT tersebut. Pertanyaannya: Apakah mereka akan membuat sebuah teori tentang penyerapan nilai-lebih?

Inilah duduk perkara kita. Apabila Teori Nilai-Kerja Marx memanglah sebuah — meminjam istilah Karlina Supelli —  “resep bagi tindakan” yang paling ampuh di Bumi, apakah ia sungguh benar? Apakah Teori Nilai-Kerja Marx setara dengan tutorial membuat fish fillet dari Gordon Ramsay?

Lebih jelasnya: Apakah hubungan antara Teori dan Praktik? Dua term ini kerap digunakan untuk merujuk dua hal yang berbeda. Kondisi ini membuat kita membayangkan hubungan keduanya sebagai hubungan antara dua dunia: satu dunia sebagai medan teoretik dan satu dunia lain sebagai medan praktik.

Keterpilahan teori dan praktik memiliki implikasi yang tidak sederhana bagi pergerakan sosial. Sesaat setelah seseorang membangun sebuah teori yang dapat mendeskripsikan suatu masalah sosial, tantangan besar telah menunggunya: Bagaimanakah masalah objektif yang dijelaskan oleh teori tersebut dapat diselesaikan? Dalam kondisi terpilah ini, menjelaskan proses penyerapan nilai lebih dengan teori nilai-kerja adalah satu hal, sedang merancang satu sistem perekonomian yang tidak mengandaikan adanya penyerapan nilai lebih adalah hal lain. Dengan asumsi ini, gerakan sosial berhadapan dengan dilema: Bagaimanakah cara memastikan bahwa suatu fenomena bukan hanya konstruksi pikiran sang analis belaka, melainkan juga sebagai keadaan nyata dari fenomena tersebut.

Tulisan ini bukanlah upaya untuk menjawab masalah di atas. Apa yang saya upayakan dalam tulisan ini adalah memperjelas duduk perkara apa yang sesungguhnya perlu kita hadapi untuk menjawab masalah hubungan Teori-Praktik.'

Baca Juga: SUBALTERN #29: Globalisasi Versus Interkulturalitas
SUBALTERN #30: Musik dan Suara-suara yang Dibungkam
SUBALTERN #31: Propaganda dalam Pandangan Generative Grammar Noam Chomsky

Keterhinggaan Homo Sapiens

Mari kita mulai dengan hal yang “non-politis”. Andaikan kita memiliki dua buah kalimat sebagai berikut.

  1. Ayah membeli baju baru untuk adik
  2. Ayah membelikan adik baju baru

 Secara sekilas, tampak bahwa kalimat (1) terbedakan dengan kalimat (2) dalam hal bentuk kata kerja yang menjadi predikatnya, yaitu membeli pada (1) dan membelikan pada (2). Artinya, ada penambahan akhiran -kan pada kalimat (2). Lebih jauh, struktur kedua kalimat juga berbeda. Pada (1), ada Ayah sebagai subjek, baju baru sebagai objek, dan adik sebagai oblik. Berbeda dengan (1), pada (2) baju baru menjadi objek kedua, sedang adik menjadi objek pertama. Dapat pula diperhatikan bahwa pada (1) terdapat preposisi untuk yang berdiri sebelum unit non-objek, yang sekaligus menjadi semacam ‘jembatan’ bagi PEMBERI (yaitu Ayah) dan PENERIMA (yaitu adik). Dari titik ini, didapatkan tiga fakta formal yang membedakan kalimat (1) dan (2), yaitu (a) penggunaan akhiran -kan, (b) struktur objek, dan (c) penggunaan preposisi untuk.

Dengan berbekal tiga fakta formal tersebut, bisakah kita membuat prediksi bahwa “Jika akhiran -kan ditambahkan pada kata kerja membeli yang berfungsi sebagai predikat pada suatu kalimat dengan preposisi untuk yang berdiri sebelum PENERIMA yang berfungsi sebagai oblique, maka preposisi untuk akan hilang dan PENERIMA beralih fungsi menjadi objek pertama”? Secara intuitif, saya akan menjawab: Ya.

Perhatikan bagaimana kata saya dicetak miring. Hal ini dimaksudkan untuk menekankan peran saya sebagai subjek peneliti yang, dengan segala subjektivitas saya sebagai penutur bahasa Indonesia, membuat kesimpulan tertentu tentang bahasa Indonesia.

Apakah intuisi saya merupakan “hakim” yang sah dalam hal mendeskripsikan “aturan tata bahasa Indonesia”? Tentu saja, sebab tata bahasa, pertama-tama, merupakan persoalan mental dan, dengan demikian, intuisi, maka intuisi saya adalah “hakim” yang sah.

Barangkali, pernyataan saya perihal intuisi sebagai hakim yang sah dalam mendeskripsikan tata bahasa tidaklah kontroversial. Akan tetapi, apabila kita membawanya ke dalam persoalan “Kesatuan Teori dan Praktik”, kita akan segera menghadapi suatu pertanyaan perenial: Apabila setiap deskripsi dan, dengan demikian, Teori bersifat subjektif, maka atas dasar apakah kita menganggap bahwa suatu Teori dapat, meminjam istilah Karlina Supelli, menjadi sebuah “resep bagi tindakan”?

Kita sedang bertaruh di sini. Apabila kita sepakat bahwa segala hal, mulai dari segala entitas, relasi, dan mekanisme yang dinyatakan dalam Teori adalah sepenuhnya konstruksi subjektif seorang peneliti, maka kita bisa saja mengatakan bahwa Teori Nilai-Kerja Marx hanyalah konstruksi subjektif Marx belaka. Tidak kurang, tidak lebih. Apakah Marx adalah “hakim” yang sah?

Apabila kita bergerak lebih jauh, bukankah intuisi dapat mengandung bias sehingga kesimpulannya juga hanya benar dalam domain intuisi tersebut? Andaikan bahwa terdapat satu kesimpulan yang dihasilkan oleh intuisi I1, apakah yang menjamin bahwa kesimpulan tersebut juga akan dikonfirmasi oleh I2, I3, I4,...,In? Sepanjang sejarah, ilmu pengetahuan yang diproduksi oleh Homo Sapiens tidak pernah tetap. Perbantahan antar ilmuwan senantiasa terjadi dan perubahan pada teori tidak jarang menjadi ujungnya.

Alasan saya mengetengahkan analisis linguistik pada bagian ini adalah karena jenis analisis tersebut merupakan salah satu prototipe dari penggunaan intuisi sebagai ‘hakim’. Dalam analisis tersebut, saya berlaku layaknya Tuhan dengan Mata yang dapat menjangkau segalanya. Andaikan bahwa ada sekelompok alien yang turun dari Mars yang hendak meneliti perilaku komunikatif Homo Sapiens, apakah mereka juga akan sampai pada deskripsi saya atas penggunaan akhiran -kan pada kata kerja membeli?

Intuisi saya sudah terbantah dengan penelitian dari dua orang Linguis, Gede Primahadi Wijaya Rajeg dan I Wayan Arka, yang berjudul Usage-based perspective on argument realisation: A corpus study of Indonesian BUY verbs in applicative construction with -kan. Penelitian ini menelaah penggunaan -kan pada kata kerja membeli dalam korpus berisi 119.557.093 kata untuk kemudian membuat pemodelan statistikal atasnya. Intuisi saya yang hanya bermodal penggunaan saya sendiri jelas kalah telak di hadapan penelitian ini. Dengan peranti matematis dan komputasional—peranti buatan Homo Sapiens, penelitian ini mengalahkan Mata Tuhan saya.

Dengan peranti yang sama, dapatkah para peneliti dari Mars tersebut sampai pada kesimpulan yang sama? Dalam arti inilah saya mengetengahkan skenario peneliti dari Mars pada paragraf pertama tulisan ini. Akankah peneliti dari Mars juga dapat memahami Teori Nilai-Kerja Marx?

Peneliti dari Mars dan Hilangnya Mata Tuhan

Skenario peneliti dari Mars membawa kita pada satu fakta bahwa daya epistemik kita bersifat terhingga. Namun, apakah segenap instrumen penelitian yang kita miliki memungkinkan kita untuk mencapai kebenaran objektif? Perlu diperhatikan bahwa penelitian Rajeg dan Arka tidak dimulai dari ruang kosong. Apa yang mereka lakukan adalah pengujian hipotesis. Artinya, mereka “berdiri di atas bahu para raksasa”. Lagi pula, atas fakta bahwa penelitian Rajeg dan Arka membantah intuisi saya, bukan tidak mungkin bahwa temuan mereka akan terbantah di masa depan.

Apakah arti semua ini? Kita sudah seharusnya meninggalkan Mata Tuhan. Dengan “Mata Tuhan”, saya merujuk pada konsep kebenaran dalam arti relasi bijektif antar himpunan. Analisis linguistik yang saya tunjukkan di atas tidak dapat diakses oleh peneliti dari Mars, sebab mereka tidak memiliki pengalaman kebertubuhan penutur bahasa Indonesia. Tanpa tinjauan pustaka dari penelitian sebelumnya, Rajeg dan Arka tidak mungkin sampai pada kesimpulan mereka. Dengan kata lain, kebenaran sebuah Teori ada dalam Praktik.

Dari titik ini, kita telah melihat bagaimana pemilahan Teori dan Praktik adalah semu belaka. Tantangan yang nyata justru adalah menjawab bagaimana Teori/Praktik secara kumulatif dapat membawa kita pada kebenaran.

* Tulisan kolom SUBALTERN merupakan bagian dari kolaborasi BandungBergerak.id dan kawan-kawan Kelas Isolasi

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//