• Kolom
  • SUBALTERN #30: Musik dan Suara-suara yang Dibungkam

SUBALTERN #30: Musik dan Suara-suara yang Dibungkam

Hubungan antara politik dan musik bisa kita gambarkan dengan mitologi Yunani Odyseus dan Sirens

Muhammad Ridwan Al Faruq

Pegiat Kelas Isolasi

Pameran majalah musik di sela-sela acara Panitia Jumaahan bertajuk Musik Populer Era Orba di Kedai Jante, Jalan Garut No 2 Kota Bandung, Jumat (25/8/2023). (Foto: Daffa Primadya Maheswara/BandungBergerak.id)

5 Desember 2023


BandungBergerak.id – Musik merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan kita. Kendati demikian, upaya untuk mendefinisikan musik tidak semudah mendengarkannya. Musik dalam definisi paling umum merupakan gabungan dari melodi, ritme dan harmoni. Tetapi, banyak musik yang mungkin juga berbeda, seperti halnya suara kendaraan yang kita dengarkan di jalan atau mungkin suara obrolan orang-orang. Pada akhirnya upaya pendefinisian terhadap musik juga bukan hal yang mudah. Dalam konteks nasionalisme, kita akan melihat musik sebagai suatu ekspresi kewarganegaraan, ia merupakan cerminan masyarakat terhadap realitas faktual yang dalam hal ini berpotensi menantang dominasi narasi nasionalisme yang ada.

"Nasionalisme itu sebuah kekerdilan jiwa sebetulnya. Kita bedain dulu antara nasionalism dan patriotism. Patriotisme itu adalah janji pada hati nurani untuk membela tanah air. Tapi bukan membela tanah air secara fisik, di mana Anda terganggu dengan kebebasan, di mana keadilan dieksploitasi, jadi sebuah hak primitif manusia untuk mempertahankan eksistensinya, itu yang disebut patriotisme," ujar Rocky Gerung dalam kuliah umum bertema "Kewarganegaraan dalam Musik sebagai Ekspresi Nasionalisme" di Dreams Social Space Jl. Ir. H. Djuanda no. 286-288 Kota Bandung, Jum'at, 1 Desember 2023.

Dalam konteks ini, kita dapat membagi musik menjadi musik nasional dan musik nasionalis, walaupun mungkin upaya pendefinisian ini sangat mungkin meleset. Musik nasional merupakan musik yang diambil dari unsur-unsur kultural masyarakat yang kemudian dirangkum dan dikompilasi sedemikian rupa sehingga menjadi musik yang dianggap menggambarkan identitas masyarakat atau suatu kultur tertentu, contohnya lagu Cublak- Cublak Suweng dan Bubuy Bulan. Sedangkan musik nasionalis pasti memiliki kepentingan politis, memiliki unsur kompetisi dan menegaskan teritorialnya, contohnya lagu Sabang sampai Merauke. Dalam hal ini, musik nasionalis juga dikeluarkan oleh penguasa untuk menunjukan dan menyatukan identitas politik dan bahkan untuk melayani kepentingan penguasa.

Baca Juga: SUBALTERN #27: Psikopolitik dan Gema Neoliberalisme di Media Sosial
SUBALTERN #28: Kelas Menengah di Indonesia, Naik Segan Turun Tak Mau
SUBALTERN #29: Globalisasi Versus Interkulturalitas

Menyuarakan Suara Pinggiran

Namun, ada beberapa jenis musik yang memiliki semangat nasionalis tapi tidak diakui oleh pemerintah karena menyuarakan suara pinggiran, misalnya seperti lagu-lagu dari paduan suara Dialita. Dialita merupakan sebuah kelompok paduan suara Indonesia, berbasis di Jakarta yang terbentuk pada tahun 2011. Anggota paduan suara ini terdiri dari perempuan yang anggotanya pernah menjadi tahanan politik pada masa orde baru, serta termasuk tahanan politik dari masa itu. Gagasan terbentuknya grup paduan suara ini, dipelopori oleh Uchikowati Fauzia yang ingin membantu rekan-rekannya sesama tahanan politik pasca G30S yang mengalami kesulitan finansial. Album pertama Dialita bertajuk Dunia Milik Kita yang rilis tahun 2016, dan di antara lagunya seperti Taman Bunga Pelantungan cipta Zubaidah Nungtjik AR dan Murtiningrum.

Dalam kasus lain pun, genre musik tertentu juga kerap mendapatkan penolakan seperti musik Rap atau Hip Hop yang pada 20 tahun lalu tidak dianggap sebagai musik, yang bahkan dilarang peredarannya oleh B. J. Habibie. Dengan berjalannya waktu bahkan musik-musik yang memiliki semangat anarkistis mulai masuk ke Indonesia terutama sejak dekade 90an. Walaupun apabila kita kaji kembali, Indonesia sendiri memiliki sejarah panjang terhadap anarkisme, yang bahkan bisa dilacak pada sebelum perang kemerdekaan.

“Saya melihat hubungan musik dan politik seperti hubungan orang yang saling benci dan saling mencintai. Kita melihat saat orde baru melarang, saya ingat ketika pak Harmoko itu malem-malem, melarang musik-musik cengeng. Karena kehidupan kita dalam negara juga tidak bisa denial bahwa sehari-hari kita berurusan dengan politik dan kekuasaan dan musik juga berkaitan dengan itu. Lalu bagaimana para seniman berurusan dengan itu, mengkritik kehidupan sosial dan kehidupan politik itu,” tanggap Ester, salah satu peserta acara.

Hubungan antara politik dan musik bisa kita gambarkan dengan mitologi Yunani Odyseus dan Sirens. Dalam konteks saat ini, suara Sirens sebagai suara subaltern yakni suara nurani orang-orang pinggiran yang dibungkam dan dianggap kejahatan oleh penguasa. Sedangkan, musik publik yang diperdengarkan dan diorkestra kan oleh penguasa merupakan upaya untuk menipu dan manipulasi rakyat. Dalam hal ini, kita memerlukan integritas untuk mengatasi hal tersebut, yakni to beyond the government. Karena, duty bagi seniman adalah perlawanan terhadap kekuasaan. Maka, kita harus mencegah kematian esthetics dan berupaya melawan esthetisism yakni keangkuhan dalam mengatur “partitur” yang dilakukan penguasa.

Dengan demikian, musik bahkan jenis seni lainnya merupakan medium untuk menyuarakan suara rakyat. Ia adalah sarana perlawanan terhadap ke sewenangan dan jalan menyambung solidaritas rakyat. Oleh karena itu, kematian musik jugalah kematian nurani bangsa.

* Tulisan kolom SUBALTERN merupakan bagian dari kolaborasi BandungBergerak.id dan kawan-kawan Kelas Isolasi

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//