• Kolom
  • SUBALTERN #27: Psikopolitik dan Gema Neoliberalisme di Media Sosial

SUBALTERN #27: Psikopolitik dan Gema Neoliberalisme di Media Sosial

Masyarakat digital telah menjadi objek bagi ruang digital untuk melanggengkan kuasa neoliberalisme. Inilah tesis utama psikopolitik yang diajukan Byung Chul-Han.

Raisa Rahima

Pegiat Kelas Isolasi

Ilustrasi. Teknologi gawai memudahkan manusia untuk menyuarakan pendapatnya di media sosial, 12 September 2022. (Foto: Prima Mulia/BandungBergerak.id)

6 November 2023


BandungBergerak.id – Realitas digital telah menggeser realitas nyata. Aktivitas-aktivitas manusia dapat terselesaikan secara instan dalam genggaman tangan dan ketikan jari. Aktivitas ini termasuk berjualan, berkomunikasi, bersosialisasi sampai memperluas pertemanan lewat jejaring media sosial. Media sosial telah menjadi wadah baru bagi kita untuk menggerakkan arus sosiokultural manusia secara organik dan historis.

Sebut saja wacana feminisme. Hampir mayoritas masyarakat mengenal wacana feminisme lewat propaganda digital. Informasi-informasi propagatif berlintasan di satelit beranda masyarakat digital, menyebabkan masyarakat digital secara implisit maupun eksplisit tersetir untuk ikut memeriahkan agenda feminisme. Atau, informasi-informasi terkait Pemilu 2024 yang dikonsumsi lewat konten-konten informatif yang berlintasan di media sosial, membuat masyarakat digital tersetir untuk menentukan pilihan dan keberpihakan politisnya.

Dalam ruang digital, masyarakat seakan-akan memiliki kehendak bebasnya sendiri untuk memilih dan menentukan keputusan politisnya. Tetapi, apakah benar demikian?

Fenomena Media Sosial

Sekilas, masyarakat digital tampak memiliki kehendak bebas. Tetapi, jika kita membaca ruang digital dengan perspektif realis, ada sesuatu yang janggal tentang penyebaran informasi dalam beranda media sosial.

Tak jarang di media sosial kita menemukan figur publik yang ikut menyuarakan nilai-nilai sosiokultural secara organik dengan metode-metode variatif seperti menyebarkan kesadaran masyarakat (spreading awareness). Metode ini juga acap kali digunakan akun-akun kolektif untuk menyuarakan nilai-nilai sosiokultural, misalnya feminisme.

Meskipun demikian, terkultivasinya suatu nilai sosiokultural tidak bisa semata-mata terwujud dengan menyebarkan kesadaran masyarakat. Suatu nilai sosiokultural harus terkultivasi melalui metode pendisiplinan yang menyangkut intervensi negara seperti produksi regulasi dan kebijakan.

Selain kurang efektif, terkadang propagasi nilai sosiokultural dalam ruang digital mengakibatkan suatu bias neoliberalisme. Hal ini dapat didemonstrasikan dengan betapa, tanpa argumen yang kuat, yang disorot akun-akun digital dalam kultivasi nilai sosiokultural adalah keberpihakannya. Sehingga, apa pun itu argumennya, keberpihakan adalah yang terpenting. Sejumlah figur publik dan akun kolektif tertentu cenderung melakukan propagasi demi dirinya sendiri alih-alih untuk rakyat.

Hal ini berbenturan dengan sifat masyarakat Indonesia yang masih tunduk pada pendisiplinan budaya yang terbentuk sedemikian konvensional secara aksiologis dalam proses sejarah. Masyarakat Indonesia masih tunduk pada nilai-nilai konvensional. Hal ini dapat dilihat dengan rasio perbandingan masyarakat berpendidikan dengan yang tidak. Tidaklah mungkin seluruh masyarakat Indonesia langsung menerima ide-ide feminisme lewat penyebaran kesadaran (educate yourself).

Yang lebih penting lagi, terkadang figur publik maupun akun-akun propagatif mencoba memaksakan nilai sosiokultural mereka. Tak jarang terjadi semacam twit-war atau perang budaya di media sosial antara pihak figur publik dan masyarakat digital.

Dalam fenomena media sosial ini, ada cara kerja ruang digital yang perlu dikupas lebih lanjut.

Baca Juga: SUBALTERN #24: Simulacra Konsumerisme dan Lingkungan
SUBALTERN #25: Bagaimana Levinas Menanggapi Konflik Israel – Palestina?
SUBALTERN #26: Gilles Deleuze dan Masyarakat Kontrol

Ruang Digital dan Neoliberalisme

Ruang digital yang begitu instan dan transparan sesungguhnya bekerja secara fungsional bukan sebagai alat bagi kita semua untuk mengkultivasi nilai sosiokultural. Alih-alih digunakan sebagai alat, sesungguhnya kita sebagai masyarakat digitallah yang dipergunakan ruang digital sebagai objek untuk melanggengkan kuasa neoliberalisme. Alih-alih menjadi subjek komunikasi, masyarakat digital telah dijadikan objek bagi media sosial untuk makin mempercanggih fitur-fitur aplikasi mereka supaya makin banyak masyarakat yang melakukan log-in dan menciptakan perang kebudayaan dalam ruang digital sebagai konsekuensi. Inilah tesis utama psikopolitik yang diajukan Byung Chul-Han (2015).

Dengan demikian, sesungguhnya menyebarkan propagasi sosiokultural dalam ruang digital tidaklah begitu efektif bagi kita untuk mengondisikan sistem masyarakat yang ideal, seperti terwujudnya feminisme. Dibutuhkan langkah-langkah legislatif supaya kita dapat mengintervensi cara kerja aplikasi media sosial.

Intervensi Negara

Konotasi saran dari tulisan ini memang begitu elitis dan cenderung tertutup. Tapi, justru, jika oligark Indonesia sudah peka dengan pergerakan sosiokultural seperti diterimanya feminisme, mereka harus mengondisikan negara Indonesia supaya feminisme dapat terkultivasi. Pengondisian ini dapat berupa membuat aturan dalam bermedia sosial seperti memblokir masyarakat-masyarakat digital yang kontra dengan pemikiran feminisme. Oligark Indonesia harus meretas cara kerja ruang digital supaya tidak tunduk pada neoliberalisme.

* Tulisan kolom SUBALTERN merupakan bagian dari kolaborasi BandungBergerak.id dan kawan-kawan Kelas Isolasi

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//