• Kolom
  • SUBALTERN #24: Simulacra Konsumerisme dan Lingkungan

SUBALTERN #24: Simulacra Konsumerisme dan Lingkungan

Relasi antara industri dan pembentukan simulasi makna menghasilkan sebuah budaya baru yang disebut dengan masyarakat konsumsi.

Al Nino Utomo

Pegiat Kelas Isolasi

Warga memadati pusat belanja di kawasan Alun-Alun Bandung, 3 Mei 2021. Banyak warga yang menyerbu pusat-pusat perbelanjaan di wilayah perkotaan sejak H-10 lebaran tanpa menghiraukan protokol kesehatan. (Foto: Prima Mulia)

3 Oktober 2023


BandungBergerak.id – Terminologi Homo Faber bukan hanya dimaksudkan untuk menggambarkan manusia sebagai makhluk pekerja, terminologi tersebut juga bisa berarti manusia sebagai makhluk yang menciptakan benda-benda yang ditujukan untuk membantu pekerjaannya. Maka tidak heran bila setiap peradaban manusia selalu ditandai oleh benda-benda mulai dari yang berukuran kecil, hingga monumen-monumen megah yang masih berdiri hingga hari ini. Tetapi, perhatian lebih perlu diarahkan pada perkembangan teknologi sejak Revolusi Industri hingga teknologi abad 21.

Revolusi Industri yang menggeser peradaban masyarakat agraris menimbulkan banyak perubahan pada pola kehidupan manusia, manusia semakin dekat dengan mesin-mesin yang diciptakan untuk menunjang perputaran roda industri yang berlandaskan asas produksi-konsumsi. Pada awalnya, mesin-mesin itu masih sangat terbatas jumlahnya, masih membutuhkan manusia dalam pengoperasiannya dan tidak secara langsung menyentuh ke akar rumput kehidupan manusia. Seiring dengan perkembangan mesin-mesin industri, yang pada awalnya hanya digunakan untuk membuat produk-produk seperti tekstil, bahan pangan, dan bangunan, lama-kelamaan industri bergerak ke arah yang lebih luas, misalnya alat-alat transportasi, hingga industri elektronik dan digital seperti sekarang ini.

Perkembangan industri tentu tidak berhenti di mesin uap, berabad-abad kemudian, dikenal Revolusi Industri 2.0 yang menggunakan listrik sebagai daya utama untuk menjalankan roda ekonomi. Kemudian muncul Revolusi Industri 3.0 yang mulai menggunakan teknologi komputer untuk menciptakan produk-produk yang dibutuhkan di pasaran. Saat ini, industri telah berkembang menjadi Revolusi Industri 4.0 yang mengandalkan teknologi informasi demi memenuhi kebutuhan manusia.

Satu hal yang pasti terjadi dari berkembangnya industri adalah kecepatan. Pada awalnya, kecepatan industri ditujukan agar semakin cepat pula masyarakat untuk menikmati sebuah produk. Tetapi, yang terjadi setelah Revolusi Industri 3.0 adalah hal yang sama sekali berbeda, kecepatan produksi bukan hanya soal seberapa cepat sebuah produk dapat dinikmati masyarakat, tetapi sudah mulai mengarah pada seberapa cepat sebuah produk digantikan oleh produk lain yang dianggap lebih canggih dan lebih sesuai dengan perkembangan zaman.

Tren ini semakin terlihat saat Revolusi Industri 4.0 terjadi, dibarengi dengan kecepatan penyebaran informasi, setiap produsen di dunia berlomba-lomba untuk menciptakan produk yang baru setiap periode tertentu. Hal ini bisa dilihat dari perkembangan industri yang sangat dekat dengan teknologi.

Kultur Konsumerisme

Kecepatan roda industri membentuk sebuah kultur yang disebut dengan konsumerisme. Industri membuat masyarakat terus-menerus mengonsumsi produk-produk yang ada di pasaran. Salah satu cara yang dilakukan oleh industri adalah dengan membuat dunia simulasi yang dibentuk melalui makna-makna yang tersemat dalam sebuah produk. Konsekuensinya, masyarakat tidak lagi membeli sebuah produk karena produk tersebut, melainkan karena makna yang disematkan ke dalamnya.

Simulasi ini berdampak pada banyak aspek kehidupan manusia, termasuk lingkungan. Dampak terbesar bagi lingkungan adalah sampah yang menumpuk. Sampah yang dimaksud bukan hanya limbah industri, tetapi juga limbah konsumsi. Semakin sering orang berlomba-lomba membeli produk baru yang tersedia di pasaran, semakin banyak pula barang-barang bekas yang menumpuk. Akhirnya, alam sekitar manusia harus dipenuhi oleh sampah-sampah yang berasal dari konsumsi makna.

Sebelum membahas lebih jauh dampak dari konsumsi makna terhadap lingkungan, mari kita lihat apa itu simulasi makna. Menurut Jean Baudrillard, simulasi makna, atau yang kemudian dia sebut sebagai simulacra adalah ilusi yang terdapat pada masyarakat postmodern. Dalam kacamata Baudrillard adalah masyarakat konsumsi, yang sebetulnya berbasis pada pembedaan, bukan pada kepuasan. Pola masyarakat konsumsi ini didukung oleh industri yang menciptakan ilusi-ilusi makna akan sebuah produk. Bisa dibilang, masyarakat menghidupi ilusi-ilusi tersebut.

Bila sejak abad ke 16 hingga menjelang revolusi industri eksistensi manusia ditentukan oleh apa yang diciptakannya, maka di era modern, kepemilikan menjadi sesuatu yang sangat penting. Sebuah dialektika baru muncul karena moda kepemilikan dan ketergantungan masyarakat terhadap material. Sebuah benda diproduksi untuk kemudian dimusnahkan dan digantikan dengan yang baru.

Seperti telah disebutkan di atas, masyarakat postmodern dibentuk oleh ilusi makna yang disematkan pada sebuah produk. Lalu bagaimana cara produsen membentuk hegemoni makna? Baudrillard mengatakan bahwa iklan-lah yang berperan dalam pembentukan makna. Selain itu, pola kerja, konsumsi dan klaim kebutuhan psikologis mendorong masyarakat untuk menjadi konsumtif. Masyarakat konsumtif juga turut membantu menciptakan jarak antar kelas di masyarakat semakin melebar. Masyarakat kelas bawah dan menengah tidak akan bisa menikmati sebuah produk di saat bersamaan dengan kelas atas.

Dalam bahasannya mengenai ilusi, Baudrillard menyebutkan bahwa masyarakat saat ini hidup dalam dunia simulasi yang berbeda dari realitas. Selain itu, masyarakat juga tidak mampu membedakan antara realitas dan simulasi. Baudrillard menyebutkan ada tiga tahap simulacra. Tahap pertama adalah masyarakat pra-modern di mana citra disadari sebagai realitas palsu. Tahap kedua adalah masyarakat industri, garis batas antara citra dan realitas mulai melebur karena produksi masal dan reproduksi. Tahap ketiga adalah era postmodern di mana representasi menentukan realitas, tidak ada distingsi yang jelas antara keduanya.

Baca Juga: SUBALTERN #21: Cashless Society, Kondisi Masyarakat Terkontrol
SUBALTERN #22: Sistem Kredit dan Manipulasi Kesadaran Memilih
SUBALTERN #23: Perdamaian Sebagai Situasi yang Memungkinkan Kebahagiaan

Simulacra

Baudrillard menyebutkan beberapa fenomena yang menjelaskan hilangnya distingsi antara realitas dan simulacra. Fenomena pertama adalah media. Bagi Baudrillard, media berperan dalam menentukan makna bagi kita secara personal melalui imaji-imaji. Oleh karena itu, konsumsi bukan lagi soal benda itu sendiri, melainkan soal makna yang ditetapkan oleh media. Peranan media dalam membentuk sebuah makna sangat berpengaruh terhadap kecepatan industri dan konsumsi. Contohnya, sebuah smartphone yang pada tahun 2019 dianggap paling canggih saat itu, sudah kehilangan makna “paling canggih” karena sudah digantikan dengan produk baru yang dimaknai lebih canggih. Dampaknya, masyarakat akan terdorong untuk membeli produk baru tersebut karena makna yang dibentuk oleh media. Konsekuensinya, smartphone yang lama akan dijual, disimpan, atau bahkan dibuang karena sudah digantikan dengan yang baru. Lebih lanjut, smartphone lama tersebut akhirnya menjadi sampah yang mencemari lingkungan.

Fenomena kedua adalah nilai tukar, atau dalam arti lain uang. Konsumsi tidak lagi dinilai dari seberapa berharga sebuah produk, tetapi lebih mengarah pada nilai tukar benda tersebut. Nilai tukar yang dimaksud adalah uang, karena uang bersifat universal, maka uang menjadi alat ukur bagi segala hal, termasuk hidup manusia itu sendiri. Penetapan uang sebagai bahasa universal membuat banyak hasil produksi tidak memiliki nilai apa-apa. Dalam arti lain, dengan mudahnya makna sebuah produk digantikan oleh seberapa tinggi produk tersebut saat dinilai menggunakan uang. Sebuah fenomena yang muncul karena penggunaan uang sebagai nilai tukar sebuah produk adalah orang tidak ragu untuk membeli barang termahal di pasaran, bahkan membuat barang yang memang sudah mahal, menjadi lebih mahal lagi dengan penambahan aspek-aspek tertentu. Hal ini dikarenakan semakin besar nilai tukar sebuah benda terhadap uang, maka semakin valuable benda tersebut.

Ketiga adalah kapitalisme multi-nasional. Kapitalisme yang menyebar ke seluruh dunia dengan segala kerumitan produksinya membuat manusia kehilangan landasan dasar dari produk-produk yang dikonsumsi. Selain media, kapitalisme juga membentuk identitas manusia saat ini. Konsumen semakin dijauhkan dari buruh melalui toko-toko baik offline maupun online. Sudah menjadi hal yang disadari oleh masyarakat luas bahwa kapitalisme sangat berperan besar dalam pembuatan sampah dan perusakan alam. Kapitalisme multi-nasional bekerja dengan cara membuka sebanyak-banyaknya cabang dan pabrik di seluruh dunia dan memanfaatkan negara-negara dengan GDP rendah untuk menjadi wilayah industri karena harga buruh yang relatif lebih murah. Dengan pembangunan pabrik dan cabang di negara-negara miskin dan berkembang, alam di negara tersebut semakin terancam dengan adanya limbah pabrik dan eksploitasi.

Hal yang menjadi sangat menarik sebetulnya saat sebuah negara dijadikan destinasi utama untuk produksi sekaligus konsumsi. Indonesia adalah contoh terbesar bagi praktik kapitalisme tersebut dan hal itu bisa dilihat dari industri otomotif yang ada di Indonesia. Produk otomotif Jepang baik roda 2 dan roda 4 sangat menguasai pasar Indonesia, dan para produsen otomotif tersebut juga mendirikan pabrik di Indonesia. Bahkan untuk beberapa merek roda 2, perakitan seluruh produk yang tersebar di dunia sudah dikerjakan di Indonesia. Di sisi lain, masyarakat Indonesia adalah konsumen terbesar bagi merek-merek otomotif tersebut. Hasilnya, pencemaran lingkungan melalui gas buang yang semakin tinggi, dan penumpukan sampah produk otomotif.

Keempat adalah urbanisasi. Relasi antara manusia dengan alam semakin berkurang karena ekspansi-ekspansi dari desa ke kota yang dilakukan oleh manusia secara massive. Perpindahan masyarakat dari desa ke kota menyebabkan perubahan yang signifikan bagi landasan berpikir manusia terhadap alam sekitar. Bila pada masyarakat agrikultur, alam dimaknai sebagai sesuatu yang memelihara manusia sehingga perlu dijaga kelestariannya, maka pada masyarakat industri, alam dimaknai sebagai sumber daya yang bisa dikuasai dan dimanfaatkan demi keberlangsungan hidup manusia. Bahkan alam dinilai berdasarkan nilai tukarnya dengan uang. Tidak heran bila industri dengan bebas membuang limbahnya ke sungai-sungai karena alam sungai bisa dimanfaatkan sebagai tempat sampah. Deforestasi juga merupakan dampak dari urbanisasi. Hutan yang tadinya dimaknai sebagai sumber kehidupan, sekarang dilihat sebagai sumber pendapatan.

Persepsi, Realitas, dan Narasi

Kelima, bahasa dan ideologi. Manusia bergantung pada bahasa untuk membentuk persepsi akan realitas, dan setiap representasi dari realitas sebetulnya sudah bersifat ideologis dan dikonstruksi oleh simulacra. Modernitas, industri, uang, kemewahan, kecepatan, dan kemudahan adalah bahasa-bahasa yang diciptakan dan disematkan ke dalam kehidupan manusia. Bila menggunakan istilah dari Jurgen Habermas yaitu meta-language, manusia saat ini hidup di dalam bahasa-bahasa dan ideologi tersebut. Dengan begitu, bahasa-bahasa atau narasi-narasi kecil seperti pelestarian lingkungan menjadi tidak penting. Meminjam istilah dari Jean-Francois Lyotard, menurut Lyotard, era modern dipenuhi oleh mitos-mitos yang menjadi narasi besar (Grand Narratives). Pada titik ini, narasi besar yang dicanangkan adalah masyarakat yang terus menerus hidup dalam lingkaran produksi dan konsumsi serba cepat, dan tidak mempertimbangkan hal lain selain lingkaran tersebut.

Masalah simulacra ini tentu bukannya tanpa solusi. Dibutuhkan sebuah narasi tandingan untuk minimalnya memperlambat kecepatan produksi dan konsumsi. Narasi tandingan ini tentu tidak hanya berupa kajian-kajian atau aktivitas-aktivitas yang bersifat ekologis, dibutuhkan satu pola konsumsi baru yang lebih memiliki kesadaran terhadap kondisi lingkungan. Aksi nyata yang bisa dilakukan adalah dengan cara membeli sesuai dengan kebutuhan. Dengan membeli sesuai dengan kebutuhan, kita dapat memikirkan lebih jauh mengenai makna yang disimulasikan oleh industri. Meskipun sering kali makna-makna itu juga dibuat seolah-olah kita membutuhkannya, tetapi kesadaran akan simulacra dapat membuat manusia lebih bijak dalam menjalankan pola konsumsi.

Selain itu, pihak yang berwenang, seperti negara harus mampu membuat kebijakan industri baik bagi pelaku industri domestik maupun asing agar membuat pabrik yang jauh lebih ramah terhadap lingkungan. Dengan menaruh perhatian lebih terhadap lingkungan dan mewujudkannya dalam aturan-aturan perindustrian, setiap korporasi yang ingin menanam modal di sebuah negara harus mengikuti aturan yang ada. Dengan begitu, korporasi tidak hanya membuat CSR yang sebetulnya hanya bermain di ranah pencitraan.

Relasi antara industri dan pembentukan simulasi makna menghasilkan sebuah budaya baru yang disebut dengan masyarakat konsumsi. Para pelaku industri membuat masyarakat terus-menerus melakukan konsumsi terhadap hasil produksi tanpa melihat lagi kemungkinan lain yang bisa menyebabkan menumpuknya sampah di bumi ini. Kehidupan manusia saat ini sudah tidak bisa lepas dari peran industri, akan sangat naïve bila kita ingin keluar secara utuh dari sistem tersebut, yang dibutuhkan adalah kesadaran akan dampak-dampak simulacra yang diciptakan oleh industri, baik terhadap alam sekitar maupun terhadap manusia.

* Tulisan kolom SUBALTERN merupakan bagian dari kolaborasi BandungBergerak.id dan kawan-kawan Kelas Isolasi

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//