• Kolom
  • SUBALTERN #28: Kelas Menengah di Indonesia, Naik Segan Turun Tak Mau

SUBALTERN #28: Kelas Menengah di Indonesia, Naik Segan Turun Tak Mau

Kelas tengah di Indonesia membawa berkah sekaligus permasalahan yang keduanya sekaligus hadir di waktu bersamaan. Kelas tengah cenderung oportunistik serta reaktif.

Attila Bintang Lazuardi

Pegiat Kelas Isolasi & Staf Riset Libera

Para penumpang turun dari kereta ekonomi yang mengangkut mereka dari pinggiran untuk memulai lagi peruntungan di kota yang semakin padat dan sibuk ini. (Foto: Virliya Putricantika/BandungBergerak.id)

13 November 2023


BandungBergerak.id – Munculnya fenomena kelas menengah di Indonesia membawa daftar isi baru pembahasan stratifikasi sosial yang ada di Indonesia. Fenomena ini memunculkan pembahasan yang menarik untuk dibedah, karena kelas tengah di Indonesia membawa oksimoron; berkah maupun permasalahan yang keduanya sekaligus hadir pada waktu bersamaan. Berkah dari kelas tengah ini adalah kondisi perekonomian yang kian membaik karena tingkat konsumsi individu meningkat, namun akan semakin menjauh dari agenda jangka panjang (baca: revolusi).

Apa itu Kelas Tengah?

Apabila mengambil perspektif pembagian kelas Marxian, maka kelas tengah tidak akan terdefinisi karena Marx mengambil demarkasi sosial berdasarkan relasinya, yaitu: kelas pemodal dan buruh. Maka untuk memahami pendefinisian kelas tengah ini, pembagian kelas ala Weberian akan relevan karena Weber menggunakan variabel kelas, status dan grup kuasa. Weber juga mengemukakan analisis kelas berdasar skill personal mencakup status ekonomi, pendapatan dan apa pun yang bisa dikuantitatifkan.

Oleh karena struktur kelas ala Weberian yang cukup kompleks dan bersifat positivistik, struktur kelas tersebut juga menjadi landasan dalam stratifikasi kelas World Bank dan Indonesia. Mengacu pada World Bank, kelas tengah didefinisikan sebagai individu dengan pengeluaran 3.3-7.75 USD per hari. Mereka yang berada pada kategori tersebut di Indonesia sendiri terdapat 115 juta jiwa atau 42,001% pada tahun 2021.

Memahami Kelas tengah di Indonesia

Fenomena kelas tengah ini menciptakan iklim ekonomi yang positif karena kelas tengah ini merupakan masyarakat dengan komposisi terbanyak. Oleh karena kegiatan ekonomi terfokus kepada kelas tengah karena kemampuan mereka dalam mengonsumsi barang kebutuhan yang lebih baik daripada kelas bawah dan mempunyai jumlah individu yang lebih banyak daripada kelas atas. Tidak heran apabila kelas tengah mampu membawa iklim ekonomi Indonesia lebih baik lagi.

Kelas tengah Indonesia (atau mungkin di dunia) dikondisikan dalam agenda ekonomi, namun mereka lupa mengondisikan kelas tengah berdasarkan status politiknya. Kelas tengah yang ada di Indonesia sendiri rata-rata merupakan seorang manajer profesional, pegawai dan lainya yang bergantung kepada kelas atas. Secara kategori Marxian, mereka ini termasuk dari anggota kelas pekerja atau buruh, namun karena mereka mempunyai pendapatan yang layak dan bahkan lebih tinggi dari upah pekerja lainya, mereka seolah lupa akan kelas sosial mereka.

Kegiatan tersebut diafirmasi oleh sejarawan E. P. Thompson yang mengemukakan pendapatnya dengan mendeterminasi kelas berdasarkan simbol atau hasrat konsumsi suatu kelas individu. Seseorang dengan kelas atas bisa saja mengonsumsi musik dangdut dan mengenakan outfit yang sederhana, dan  kelas bawah bisa saja mengonsumsi barang dan makanan ala kelas atas. Dengan teori tersebut, Thompson mengonstruksi garis demarkasi kelas sosial berdasarkan relasi menjadi kabur karena individu kelas dan tengah akan merasa kelas bawah dan individu kelas bawah bisa merasa mereka kelas atas.

Dalam pola konsumsi, kelas tengah memiliki pola konsumsi yang tinggi dibanding dengan kelas bawah, termasuk pada pendidikan. Kelas tengah cenderung memikirkan pendidikan mereka sehingga banyak kelas tengah yang dapat mengakses pendidikan wajib – bahkan pendidikan tinggi. Selain memiliki latar pendidikan yang lebih baik, kelas tengah juga mendapatkan kebebasan informasi yang masif karena akses informasi yang terbuka bagi mereka. Hal tersebut mendorong mereka menjadi individu yang rasionalis, kritis dan gemar menyuarakan pendapatnya di ruang-ruang media sosial yang pada akhirnya mereka menguasai media tersebut. Mereka menjadi individu yang mempunyai concern pada isu-isu yang mereka dalami di media sosial, namun mereka tidak ingin terjun terlalu jauh karena mereka mementingkan keamanan aset mereka. Ini yang menjadikan kelas tengah menjadi sangat oportunistik serta reaktif.

Baca Juga: SUBALTERN #25: Bagaimana Levinas Menanggapi Konflik Israel – Palestina?
SUBALTERN #26: Gilles Deleuze dan Masyarakat Kontrol
SUBALTERN #27: Psikopolitik dan Gema Neoliberalisme di Media Sosial

Eksistensi Kelas Tengah dan Sifatnya

Kereaktifan mereka bisa dilihat seperti pada kasus maraknya mata elang dan debt collector (DC) ilegal yang terjadi pada awal tahun 2023 di Bandung. Terdapat konflik antara DC dengan ojek online (Ojol) yang mana pihak DC memaksa Ojol untuk menyerahkan motornya karena menunggak pembayaran pinjaman online ilegal yang berbunga tinggi. Kasus serupa juga terjadi di wilayah DIY, khususnya daerah sepanjang Selokan Mataram di Seturan. Sepanjang jalan kerap ditemui beberapa pemuda nangkring di atas motor sambil mencocok-cocokkan pelat nomor kendaraan. Fenomena ini menarik perhatian masyarakat khususnya kelas tengah. Kelas tengah ramai-ramai memviralkan aksi tersebut dan  menunjukkan rasa solidaritasnya di sosial media dengan harapan kasus DC ilegal ini dapat diselesaikan oleh pihak berwajib. Padahal, lebih dari itu, DC ilegal yang muncul di Seturan merupakan suatu fenomena sosial yang muncul akibat kurangnya lapangan kerja dengan sistem ekonomi yang masih menguntungkan kelas pemodal. Dengan demikian, kelas tengah gagal menusuk pada jantung permasalahan utamanya.

Lebih ironis lagi, fenomena oportunistik kelas menengah dapat dilihat pada kasus Riska, mahasiswi Universitas Negeri Yogyakarta (UNY) yang meninggal secara tidak langsung karena tidak mampu membayar UKT. Riuh ricuh aktivisme terdengar di ruang digital seperti Twitter untuk menuntut keringanan UKT yang ada di UNY. Namun, pada kenyataannya hanya sedikit massa aktivisme yang bergerak di dunia nyata. Keengganan mereka untuk melakukan aksi ini dikarenakan adanya ancaman yang diberikan oleh pihak Rektorat UNY kepada aksi massa. Hal ini membuktikan bahwa sikap kelas tengah yang tidak mau bergerak apabila hal tersebut mengancam keberadaan mereka, serta sifatnya yang oportunis.

What has to be done?

Pemosisian kelas yang ngeblur, serta sikap kelas tengah yang ngawur dan cenderung fatalis dapat menjadi penghambat kesadaran kelas. Ditambah kelas tengah yang sangat oportunis dan cenderung bermain aman dengan kelas atas menjadikan tidak terbentuknya kesadaran kelas. Padahal, dengan akses pendidikan yang lebih baik, serta ketertempaan informasi yang lebih masif, seharusnya menjadikan kelas tengah ini sebagai motor penggerak kesadaran kelas dalam mengawal agenda revolusi.

* Tulisan kolom SUBALTERN merupakan bagian dari kolaborasi BandungBergerak.id dan kawan-kawan Kelas Isolasi

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//