• Kolom
  • SUBALTERN #29: Globalisasi Versus Interkulturalitas

SUBALTERN #29: Globalisasi Versus Interkulturalitas

Bila kita menganggap bahwa globalisasi sebagai tesis dan interkulturalitas sebagai antitesis, maka seharusnya kita membiarkan keduanya untuk saling mendekonstruksi.

Al Nino Utomo

Pegiat Kelas Isolasi

Di bawah terik matahari, para penari ronggeng terus bergerak. Mereka semangat melestarikan budaya buhun. (Foto: Prima Mulia/BandungBergerak.id)

20 November 2023


BandungBergerak.id – Sebagai dua konsep kebudayaan di era modern, globalisasi dan interkulturalitas cukup sering dipertentangkan karena keduanya berangkat dari titik pijak yang berbeda. Globalisasi dianggap sebagai upaya hegemoni dan penyeragaman yang dilakukan oleh negara-negara maju. Sedangkan interkulturalitas adalah sebuah upaya untuk memunculkan nilai-nilai partikular yang ada di daerah-daerah yang dianggap sebagai “subordinan”.

Salah satu tulisan yang membahas tentang dua hal tersebut adalah jurnal berjudul “Philosophy of interculturality: philosophy of humanism for our time”. Di dalam teks tersebut disebutkan bahwa globalisasi adalah sebuah konsep yang berdasar pada konteks masyarakat yang sudah maju dengan basis sosio-ekonomi dan teknologis. Globalisasi juga membuat sebuah klaim bahwa model ini dapat diterapkan secara universal di seluruh masyarakat modern. Klaim ini berawal dari asumsi bahwa di dalam dunia ini, terdapat sebuah struktur hierarkis yang bekerja. Globalisasi memungkinkan kelompok masyarakat yang berada di tingkat bawah untuk naik ke level yang lebih tinggi, sehingga memiliki kesamaan dengan kelompok yang sudah berada di atas. Di saat yang bersamaan, kelompok yang sudah di atas, merasa memiliki kekuasaan untuk menanamkan nilai-nilainya terhadap kelompok yang lain. (Stevelj, 2018, p. 396)

Konsep tersebut dipertentangkan dengan interkulturalisme yang dianggap sebagai sebuah arena kontestasi nilai-nilai partikular yang dianggap sebagai fundamental di dalam konteks tertentu. Nilai-nilai fundamental ini mencakup cara berpikir, bahasa, ide, topologi diri, tindakan, rasa takut, dan harapan yang hidup di dalam keseharian mereka. Saat nilai-nilai fundamental tersebut bertemu dengan nilai fundamental lain, pada saat itulah terjadi interkulturalitas, Interkulturalitas adalah sebuah dialog harmonis antar nilai, di dalam arena dengan tujuan memunculkan pluralitas dan perbedaan yang ada, tanpa ada upaya untuk menjadi hegemoni di dalam arena tersebut. (Stevelj, 2018, p. 399)

Berdasarkan pandangan di atas, dapat dilihat bahwa terdapat dua pertentangan besar yang terjadi di dalam kehidupan masyarakat modern. Di satu sisi, ada upaya untuk membentuk sebuah kultur yang seragam, namun di sisi lain, keterbukaan menjadi sarana bagi nilai-nilai partikular untuk muncul ke permukaan. Dua oposisi ini tampak benar adanya, namun terjebak di dalam oposisi biner yang melihat bahwa satu hal, lebih tepat daripada yang lain, dalam teks ini, interkulturalitas dianggap lebih tepat dibandingkan globalisasi. Dengan cara berpikir oposisi biner seperti ini, ditemukan banyak masalah. Berikut akan diuraikan beberapa masalah tersebut.

Baca Juga: SUBALTERN #26: Gilles Deleuze dan Masyarakat Kontrol
SUBALTERN #27: Psikopolitik dan Gema Neoliberalisme di Media Sosial
SUBALTERN #28: Kelas Menengah di Indonesia, Naik Segan Turun Tak Mau

Oposisi Biner Globalisasi dan Interkulturalitas

Globalisasi bukan hanya soal hegemoni kultural, globalisasi juga berbicara tentang pembukaan terhadap cakrawala baru yang memungkinkan terjadinya arena kontestasi kultural yang justru memunculkan nilai-nilai partikular ke permukaan. Dengan begitu, globalisasi yang dilakukan oleh negara-negara maju justru memungkinkan negara-negara berkembang untuk semakin mengenali dirinya melalui pembandingan antara nilai-nilai global, yaitu ekonomi kapitalistik dengan nilai-nilai lokal yang dihidupi. Dengan kata lain, globalisasi justru membuka kesadaran identitas partikular di dalam masyarakat lokal tertentu. Bila kita menganggap bahwa globalisasi sebagai tesis, dan interkulturalitas sebagai antitesis, maka seharusnya kita membiarkan keduanya untuk saling mendekonstruksi.

Maka, arena kontestasi bukan hanya terjadi terhadap antar nilai partikular di dalam interkulturalitas, tetapi juga antara nilai-nilai partikular tersebut dengan nilai-nilai global yang menjadi dasar dari globalisasi. Sehingga proses dekonstruksi terjadi mulai dari konteks yang paling kecil hingga konteks global.

Selain itu, pada kenyataannya, globalisasi terjadi bukan tanpa resistensi dari nilai-nilai lokal. Padahal masyarakat juga memiliki kemampuan bukan hanya bertahan dari, tetapi juga memilah dan memilih nilai-nilai apa saja yang sesuai dengan kultur partikular mereka. Dengan kata lain, hegemoni globalisasi juga tidak sepenuhnya bekerja karena selalu didekonstruksi oleh antitesis-antitesis yang juga bersuara di dalam arena tersebut.

Terakhir, interkulturalitas yang melihat bahwa seluruh nilai-nilai partikular memiliki nilai yang setara bukannya tanpa masalah. Bila interkultural adalah cara yang dianggap tepat bagi kehidupan masyarakat modern, bukankah pada titik tertentu, interkultural justru dapat menjadi sebuah hegemoni baru yang justru mampu mengeliminasi nilai-nilai yang dianggap tidak sesuai dengan interkulturalitas. Bukankah hal itu yang dituduhkan oleh interkulturalitas terhadap globalisasi serta dihindari oleh interkulturalitas?

Pertentangan antara globalisasi dan interkulturalitas memang menciptakan oposisi biner yang mempertentangkan keduanya, namun oposisi biner itu bukan untuk menilai mana yang lebih tepat digunakan untuk kehidupan masyarakat modern. Keduanya harus ada secara bersamaan, saling mendekonstruksi. Karena hanya dengan dekonstruksi-lah, manusia bisa mengenali, baik itu diri sendiri maupun sesuatu yang berada di luar dirinya.

* Tulisan kolom SUBALTERN merupakan bagian dari kolaborasi BandungBergerak.id dan kawan-kawan Kelas IsolasiKawan-kawan juga bisa menyimak tulisan-tulisan lain dari Al Nino Utomo.

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//